Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

UE Khawatir Bersaing soal Sawit

Andhika Prasetyo
13/4/2019 02:40
UE Khawatir Bersaing soal Sawit
Darmin Nasution(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

MENTERI Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang mengatur penggunaan energi terbarukan di Uni Eropa (UE) merupakan murni tindakan yang dilatarbelakangi ketakutan, bukan untuk niat baik menjaga lingkungan.

Ia menjelaskan metodologi dan hipotesis parlemen UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit atas perusakan hutan ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang sebenarnya dan dilakukan tanpa impact analysis.

Kenyataannya, sebagai penghasil minyak nabati, kelapa sawit memiliki tingkat penggunaan lahan paling rendah ketimbang tanaman penghasil lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan rapeseed.

Darmin menyebutkan lahan kedelai di seluruh dunia mencapai 122 juta ha atau sembilan kali lipat daripada total lahan sawit. Namun, dari segi produktivitas, sawit ialah yang terbaik karena secara rata-rata bisa menghasilkan minyak nabati hingga 3 ton per ha. Tanam­an lainnya hanya memproduksi tidak lebih dari 1 ton per ha.

Anehnya, pada RED II disebutkan kelapa sawit merupakan tanaman sumber minyak nabati dengan tingkat risiko tinggi terhadap lingkungan karena penggunaan lahan berlebihan. “Dari situ saja bisa kita lihat mereka hanya merasa kalah bersaing. Produktivitas penghasil minyak nabati mereka sangat kecil dan tanah mereka tidak bisa ditana­mi sawit. Jadi, mereka mencari-cari aturan untuk menghilangkan kelapa sawit,” ungkap Darmin di kantornya, Jakarta, kemarin.

Selain karena tidak bisa bersaing, aturan-aturan lain yang digarap parlemen UE juga disinyalir untuk melunakkan hati Amerika Serikat (AS) yang kini menerapkan bea masuk tinggi atas produk-produk Eropa seperti aluminium.

Itu terlihat dari sikap Eropa yang memasukkan kedelai ke kategori risiko rendah di RED II. Padahal, kedelai memakan lahan lebih luas dengan produktivitas amat minim. “Ini jelas politik. Ada ancaman perang dagang dengan AS sehingga mereka menawarkan hal baik kepada AS,” tutur Darmin.

Wadah komunikasi

Pada pertemuan di Brussels, Belgia, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman menjelaskan Eropa akan kesulitan jika mengurangi atau menghapus penggunaan biofuel berbahan bakar minyak sawit.

“Jika penggunaan minyak sawit dikurangi, Eropa harus menggunakan minyak kedelai (rapeseed) dalam jumlah besar. Padahal, stok mereka amat terbatas karena produktivitas minim. Jadi, mereka malah harus membuka lahan baru untuk mengimbangi kebutuhan.”

Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter Gontha menambahkan setelah melalui diskusi panjang, akhirnya parlemen Uni Eropa sepakat membentuk wadah komunikasi yang lebih baik. Mereka menawarkan diri untuk mengunjungi lokasi-lokasi industri sawit, mulai hulu hingga hilir untuk mendapatkan informasi yang lebih aktual.

“Karena selama ini ada perbedaan pemahaman antara Eropa dan produsen sawit. Ini ingin kita minimali-sasi. Kalau mereka mau buat studi, pakai data kita, bukan membuat data sendiri,” ucap Peter. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik