KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan biaya listrik untuk fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) di kawasan terbatas sesuai dengan biaya yang semestinya dikenakan. Kawasan terbatas yang dimaksud ialah rumah susun, apartemen, kondominium, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, pergudangan, atau bangunan dengan kepemilikan individual dan bersama.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman mengatakan selama ini biaya listrik untuk fasum dan fasos di rusun atau apartemen ditagih oleh pengelola rusun atau apartemen dengan tidak transparan. Karena itu, kata dia, pihaknya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 31/2015 tentang penyediaan tenaga listrik untuk bangunan dalam kawasan terbatas.
Menurut Jarman, aturan anyar tesebut bakal menegaskan pihak pengelola atau pihak ketiga yang menagih biaya listrik kepada penghuni rusun atau apartemen harus transparan dalam merinci biaya fasum dan fasos yang dikenakan. Biaya-biaya itu merupakan biaya listrik dari fasilitas yang digunakan bersama, seperti lift, lampu koridor, lampu jalan, dan lainnya.
"Selama ini rumah susun kan ga jelas aturannya. Ini kita atur untuk pelanggan rusun. Selama ini, di perumahan biasa ketua RT ngumpulin biaya dari rumah-rumah untuk bayar listrik ke PLN. Ini sama prinsipnya, yaitu biaya fasum dan fasos. Tapi harus dibuka kepada pemilik apartemen," terang Jarman saat sosialisasi aturan tersebut di Jakarta, Jumat (13/11).
Karena sebelumnya tidak diatur harus transparan, pengelola apartemen, rusun, atau bangunan kawasan terbatas lainnya menetapkan biaya fasum dan fasos secara sepihak. "Jadi seolah-olah biaya fasum fasos adalah biaya yang quote-unqoute biaya apa itu? Kita hanya memberikan payung hukum saja," cetus Jarman.
Di samping itu, kata Jarman, pengelola apartemen atau rusun tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari pengenaan biaya fasum dan fasos tersebut. Bila ingin mengambil keuntungan, pengelola harus memiliki izin usaha penyedia tenaga listrik (IUPTL) atau dengan kata lain, dia juga menjadi penyedia listrik di bangunan tersebut dengan membuat badan usaha penyedia listrik.
"Kalau mau ambil untung, dia harus bikin badan usaha, bayar pajak, dan lainnya. Ada aturan sendiri. Pengelola rusun atau apartemen harus terbuka dengan penghuni rusun atau apartemennya tentang pembukuannya bahwa biaya fasum dan fasus itu berapa," papar Jarman.
Kendati sudah dijelaskan, terdapat beberapa stakeholder terkait yang tidak setuju dengan hadirnya beleid tersebut. Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia Ibnu Tadjii mengatakan aturan tersebut malah membuat menjamurnya 'trader' bermodalkan kertas dalam penyediaan listrik. Dengan aturan itu, dia mengganggap para trader tersebut bisa meraup keuntungan dari biaya fasum dan fasos dengan hanya mengantongi IUPTL.
"Selama ini para pengelola juga tidak ada yang mau membuka laporan keuangan tentang pembayaran listrik. Ada gas jaminan dari ESDM?" tukas seorang perempuan yang mengaku sebagai penghuni apartemen.
Menanggapi hal-tersebut, Jarman hanya menilai hal tersebut hanya salah paham saja. Pemegang IUPTL, kata dia, harus berbadan usaha. Dia pun mengatakan masih akan memikirkan jaminan dari pemerintah untuk persoalan jaminan terkait biaya fasum dan fasos yang dibebankan kepada penghuni bangunan kawasan terbatas. (Q-1)