ADANYA aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol di supermarket, sektor pariwisata tidak terganggu dengan hal tersebut. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan pihak asosiasi wisata tidak ada yang komplain dengan adanya pelarangan minuman beralkohol di minimarket.
"Begini, pelarangan itu ada untuk minimarket. Hingga saat ini dari teman-teman pariwisata secara langsung, para asosiasi tidak ada yang komplain," ujarnya di Bogor, hari ini. Arief menambahkan perlu dipahami bahwa para produsen minuman beralkohol memerlukan saluran distribusi. "Seandainya di sana tidak ada supermarket lalu seperti apa? Tapi saya rasa itu wewenang dari menteri perdagangan," jelasnya.
Arief juga mendengar berbagai penolakan akan aturan ini di Bali. Namun secara pribadi dia mengaku dirinya bukan orang yang terpengaruh dengan hal tersebut. "Karena di hotel, restoran dan cafe masih boleh, jadi jalan keluarnya memang penjualan di toko, cafe atau bar dan itu ada di bawahnya kemenpar," ujarnya.
Menurut Arief untuk hotel efeknya bagus. Sebab tamu atau wisatawan pasti akan banyak mendatangi mereka. Pada kesempatan sama Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Kemenpar I Gede Pitana menilai justru ini menguntungkan pihak hotel.
"Dengan aturan tersebut, jadinya jika turis asing ingin minum mereka harus masuk hotel," terangnya. Pitana mengakui penolakan di Bali lebih banyak berasal dari penjaja minuman beralkohol di pinggiran jalan. Namun menurutnya semua hal butuh pengaturan.
"Seperti di Australia pengaturannya pembelian minuman beralkohol dengan identitas pengenal atau KTP. Tapi yang menjadi masalah adalah mengontrolnya. Terpaksa di Indonesia menggunakan cara lain. Tujuannya untuk mengawasi itu," tandasnya. (Q-1)
"Begini, pelarangan itu ada untuk minimarket. Hingga saat ini dari teman-teman pariwisata secara langsung, para asosiasi tidak ada yang komplain," ujarnya di Bogor, hari ini. Arief menambahkan perlu dipahami bahwa para produsen minuman beralkohol memerlukan saluran distribusi. "Seandainya di sana tidak ada supermarket lalu seperti apa? Tapi saya rasa itu wewenang dari menteri perdagangan," jelasnya.
Arief juga mendengar berbagai penolakan akan aturan ini di Bali. Namun secara pribadi dia mengaku dirinya bukan orang yang terpengaruh dengan hal tersebut. "Karena di hotel, restoran dan cafe masih boleh, jadi jalan keluarnya memang penjualan di toko, cafe atau bar dan itu ada di bawahnya kemenpar," ujarnya.
Menurut Arief untuk hotel efeknya bagus. Sebab tamu atau wisatawan pasti akan banyak mendatangi mereka. Pada kesempatan sama Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Kemenpar I Gede Pitana menilai justru ini menguntungkan pihak hotel.
"Dengan aturan tersebut, jadinya jika turis asing ingin minum mereka harus masuk hotel," terangnya. Pitana mengakui penolakan di Bali lebih banyak berasal dari penjaja minuman beralkohol di pinggiran jalan. Namun menurutnya semua hal butuh pengaturan.
"Seperti di Australia pengaturannya pembelian minuman beralkohol dengan identitas pengenal atau KTP. Tapi yang menjadi masalah adalah mengontrolnya. Terpaksa di Indonesia menggunakan cara lain. Tujuannya untuk mengawasi itu," tandasnya. (Q-1)