Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
ASOSIASI Fintech Indonesia (Aftech) mengutarakan keberatan mereka terhadap pernyataan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta logo OJK dicabut dari situs perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech). Hal itu dipandang melanggar Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 mengenai layanan pinjam-meminjam uang berbasiskan teknologi.
"Dalam POJK itu, Pasal 35 ayat b, dicantumkan semua pemain yang sudah terdaftar harus mencantumkan logo OJK," ujar Wakil Ketua Aftech Adrian Gunadi di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/3), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan akan mengeluarkan aturan terbaru tentang perusahaan fintech. Salah satunya ialah perusahaan fintech tidak boleh lagi memakai logo OJK dengan tagline terdaftar dan diawasi OJK. Pasalnya, fintech bukan lembaga jasa keuangan dan hanya perusahaan biasa penyedia platform yang menghubungkan pemodal dan peminjam.
Adrian memaklumi peran regulator memang harus fokus dan memitigasi agar tidak menimbulkan risiko sistemik pada sektor keuangan. Namun, menurut dia, dengan pencabutan logo OJK itu justru akan membahayakan konsumen awam mengenai institusi tekfin yang terdaftar dan yang abal-abal.
"Karena itu, next step-nya, kami bicara soal perizinan. Poin yang mungkin harus diperhatikan ke depan yaitu harus ada aturan main, mana saja pemain fintech yang kredibel dan bisa memenuhi persyaratan OJK," tutur dia.
Ketua Bidang P2P Lending Aftech Reynold Wijaya mengutarakan, apabila OJK ingin mengeluarkan aturan baru terkait fintech, lebih baik peraturan OJK yang ada disempurnakan, antara lain menyangkut permodalan, rasio, dan penguatan.
"Akan lebih aman memang apabila permodalan lembaga fintech harus lebih tinggi dari Rp2,5 miliar untuk memastikan stabilnya keuangan mereka," tutur Reynold.
Di sisi lain, Reynold juga menyampaikan industri fintech yang bergerak pada usaha layanan pinjam-meminjam uang (peer-to-peer/P2P lending) tidak bisa disamakan dengan kegiatan rentenir.
Menurut dia, dengan bunga 19% per tahun, bila rata-rata pinjaman pada peer to peer lending hanya untuk jangka pendek selama dua bulan, bunga hanya dikenai 1%-2% per bulan, ditambah fee 1%-2%.
"Benchmark kami selalu melihat bank kategori BUKU I dan II. Bila bunga dikalkulasi terlalu mahal, tentu mereka tidak mau meminjam ke fintech. Jika dibandingkan dengan BPR dan kredit mikro pun (masih lebih murah) karena rata-rata menawarkan bunga mulai 17% sampai di atas 20% per tahun," tutur Reynold.
Alat perpajakan
Adrian Gunadi menambahkan regulator Indonesia dipandang cukup progresif untuk teknologi finansial pembiayaan ketimbang regulator negara lain.
Indonesia, lanjut dia, dinilai jelas dari sisi aturan, lisensi hingga perlindungan investor, serta syarat manajemen risiko terpenuhi. Yang kurang hanya dari sisi regulasi perpajakan untuk teknologi finansial.
"Kami sudah berdiskusi dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal agar ke depan bagaimana fintech lending ini menjadi bagian dari tools aparat perpajakan sehingga dapat menjangkau lebih banyak lagi basis pajak," tukasnya. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved