Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Beragama dengan Santai

(H-2)
10/5/2019 04:00
 Beragama dengan Santai
MI/ADAM DWI(Ronal Surapradja)

MUNGKIN ada yang baru membaca judul di atas langsung sewot. “Agama bukan untuk dibercandain!” atau bahkan langsung memvonis saya sebagai calon penghuni neraka. Duh bro, santai dulu keleus, sedang puasa kok 'kencang' terus, he he.

Tidak menyangka, saya bisa merasakan hidup di zaman seperti ini, saat agama menjadi sesuatu yang membuat orang cepat marah dan mudah emosi. Agama yang seharusnya menyejukkan, sekarang terkesan memiliki sisi lainnya, yaitu menakutkan.

Lantas, apakah agama itu salah? Tentu tidak. Yang salah ialah manusia para penafsirnya karena manusia merupakan gudangnya kesalahan dan kekeliruan.

Oleh karena itu, sebaiknya tidak perlu hasil tafsir manusia menjadi klaim kebenaran yang ditegak-tinggikan atau dimutlakkan, dan menganggap yang lain salah.

Coba ingat-ingat lagi pengalaman beragama kita semasa kita kecil atau remaja. Rasanya begitu santai dan menyenangkan bukan? Apalagi, saat Ramadan seperti sekarang ini, rasanya sebulan penuh yang ada hanya kegembiraan. Bagi saya, dulu yang menjadi masalah bukan masjid mana yang rakaat tarawihnya 11 atau 23, Islam aliran ini atau aliran itu, tapi masjid mana yang paling banyak jemaah putri cantik, he he.

Saya kaget rasanya meliat video anak-anak zaman sekarang yang dengan lantang meneriakkan jargon ‘Islam yes, kafir no!’. Saya tidak yakin mereka mengerti sepenuhnya apa yang mereka teriakan.

Beberapa waktu lalu juga sempat viral video karnaval anak-anak mengenakan baju ala pejuang Timur Tengah plus membawa senjata mainan.

Beda banget sama zaman kecil saya dulu. Yang saya rasakan waktu kecil, beragama ialah menjalankan perintahnya tanpa harus membenci kelompok lain. Beragama dengan gembira, tanpa prasangka. Santai.

Soal tidak santainya beragama saat ini juga bisa dilihat dari ceramah yang banyak diunggah ke media sosial. Sang penceramah selalu ngegas dan marah-marah melulu. Sedikit-sedikit kafir, sedikit-sedikit haram, yang melakukan ini atau itu berdosa dan pasti masuk neraka. Kok mereka seolah bisa tahu pasti ya? Mungkin karena surga sudah dikaveling mereka yang enggak santai itu. Mungkin mereka punya kenalan orang dalam, he he.

Ah, betapa rindunya saya mendengarkan ceramah dua 'guru agama' saya yang sudah almarhum, KH Zainuddin MZ dan Kang Ibing (komedian/ustaz dari Bandung), yang isinya selalu positif, mencerahkan, mendamaikan, dan diselingi dengan bumbu komedi yang tidak mengurangi esensi ceramah maupun merendahkan statusnya sebagai penceramah. Istilah jadulnya sersan, serius tapi santai.

Ada beberapa akun media sosial yang isinya tentang agama yang serius, tetapi tetap santai. Yang saya tahu pertama kali ialah @Nugarislucu dengan bio profilnya, 'sampaikan kebenaran walaupun itu lucu'.

Setelah itu, diikuti beberapa akun dengan nama GL (Garis Lucu) di belakangnya. Ada @MuhammadiyahGL yang ingin mewujudkan Indonesia berkemajuan dan lucu, @ProtestanGL dengan bio profil 'karena Protestan, sering kali protesan', sampai @BuddhisGL yang meyakini bahwa lucu bukan berarti tak beragama, beragama tak berarti tak boleh lucu. Sering kali mereka saling me-retweet dan memberikan komentar serius, tentunya dengan cara yang lucu, he he.

Saya yakin semua agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih. Serius menjalankan apa yang diajarkan agama kita ialah keharusan, tapi santai dalam menyikapi perbedaan pun jangan dilupakan.

Jika perbedaan mau diperdebatkan, silakan dilakukan dengan argumen, bukan dengan sentimen. Mari kita mengajak, alih-alih mengejek. Mari merangkul daripada memukul. Daripada saling bantai, mari beragama dengan santai. (H-2)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya