PADA sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang dilangsungkan Rabu (16/12) terjadi kejuan selepas senja. Datang kabar bahwa Setya Novanto, si terlapor dalam kasus yang terkenal dengan sebutan 'papa minta saham' yang sedang di sidangkan itu, mengajukan pengunduran diri dari jabatan Ketua DPR.
Pers, terutama televisi, langsung mengangkat berita itu besar-besar. Bertebaranlah ucapan dan tulisan 'Setya Novanto mundur sebagai Ketua DPR' di stasiun-stasiun televisi. Ada yang menjadikannya judul laporan, ada pula yang menampilkannya di berita baris. Para narasumber yang dimintai keterangan di televisi pun memberikan pernyataan serupa, Setya Novanto mundursebagai Ketua DPR.
Saya terpaku pada pernyataan ini, Setya Novanto mundur sebagai Ketua DPR. Selama ini, yang jauh lebih familier bagi saya ialah mengundurkan diri dari jabatan atau mundur dari jabatan. Ungkapan mundur sebagai selama ini dipakai bersandingan dengan bentuk pertanggungjawaban atau pertanggungjawabannya saja, memunculkan mundur sebagai bentukpertanggungjawaban.
Untuk makna berhenti dari suatu jabatan atau menanggalkan jabatan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa memilih lema undur. Namun, kata mundur yang tidak mendapat makna yang sama dengan undur itu pun pada praksisnya dipakai juga untuk mengungkapkan hal yang serupa. Itu mungkin dipicu makna lain yang dikandung sama, yakni 'melangkah ke belakang'.
Ada perbedaan dalam hal makna untuk mengundurkan diri dari jabatan dan mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban. Yang pertama bermakna melepaskan diri dari jabatan, sedangkan mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban bermakna melekatkan arti bertanggung jawab pada kata mundur. Jadi, selamanya pengundurannya ialah pertanggungjawabannya. Tidak ada masalah dalam logika dua hal itu.
Namun, jika pemaknaan mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban diasosiasikan dengan mundur sebagai Ketua DPR, bukankah mundur sebagai Ketua DPR bermakna melekatkan Ketua DPR pada kata mundur? Jadi, selamanya seseorang berstatus Ketua DPR melalui langkah mundur. Padahal, bukan itulah yang awalnya dimaksud.
Saya tengok lagi sebagai. Kata sebagai disandingkan dengan lawan kata mundur, yakni maju. Berita-berita pemilihan seperti pemilihan kepala daerah serentak yang berlangsung awal Desember 2015, misalnya, kerap memunculkan maju sebagai, misalnya maju sebagai calon gubernur. Apakah dengan demikian susunan mundur sebagai menjadi lawan maju sebagai? Tentunya tidak.
Jadi, bagaimana bisa ada mundur sebagai? Saya pikir itu disebabkan pengaruh bahasa asing. Ada ungkapan dalam bahasa Inggris resign as yang bermakna 'berhenti dari suatu jabatan atau menanggalkan jabatan', misalnya resign as a director. Jika diterjemahkan kata per kata, resign as sama dengan mundur sebagai.
Namun, kita harus berhati-hati dalam hal pemadanan kata. Bukan sekali-dua terjadi suatu ungkapan yang menunjukkan perbedaan cara pandang dua kultur.
Ambillah contoh pernikahan. Orang Indonesia akan membedakan posisi lelaki dan perempuan dengan ungkapan menikahi dan menikah dengan. Contoh Pangeran menikahi Putri dan Putri menikah dengan Pangeran. Penutur bahasa Inggris akan biasa saja mengatakan The Princess marries the Prince (Putri menikahi Pangeran).
Dengan mengingat urusan pangeran dan putri itu, saya pikir ungkapan sejenis mundur sebagai Ketua DPR seharusnya dihindari. Selain bias makna, ungkapan itu juga merujuk pada referen yang tak sama. Berbeda!