Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
BANYAK orang mengerubungi buaya yang berukuran besar itu. Beberapa ada yang mencoba mengamatinya dari dekat, bahkan cukup dekat hingga sedepa dari mulut buaya itu. Beruntung, buaya itu seolah tahu bahwa dia sedang menjadi pusat perhatian. Tanpa gerak, buaya itu terbujur kaku di atas papan datar memanjang.
Tentu itu bukan buaya sungguhan yang hidup. Itu ukiran karya suku Kamoro, sebuah suku di pedalaman Pulau Papua. Kala itu suku Kamoro tengah berpamer karya di The American Club Jakarta pada 19-20 November 2016 dengan dukungan Freeport Indonesia. Kamoro ialah sebuah suku yang bermukim di pesisir pantai Kabupaten Mimika, Timika, Papua.
Hasil kerajinan seni yang mereka hasilkan pun bermacam-macam, seperti topeng roh, binatang, noken, tifa, hingga senjata berburu. Mereka membuat itu dengan seluruh proses pembuatan yang dipastikan menggunakan bahan alami.
Itu semua menunjuk pada khazanah kekayaan seni suku Kamoro. Ada yang menarik dari aktivitas seni Suku Kamoro, yakni alat ukir didapatkan secara turun-temurun. Seorang anak bisa mewarisi keahlian. Artinya, ada mula ketika seorang anak mulai boleh belajar untuk mengukir, yakni ketika mereka telah melewati upacara Karapao. Upacara itu biasa disebut sebagai upacara adat pendewasaan atau inisiasi seorang anak laki-laki.
Upacara Karapao dilakukan dalam sebuah bangunan sementara yang berbentuk memanjang, dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu, tiang-tiangnya saling terikat, dan atapnya terbuat dari jerami. Lebarnya kira-kira 3 meter dan panjangnya bergantung pada jumlah pintu.
Sementara itu, jumlah pintu bergantung pada jumlah anak yang akan diinisiasi. Untuk memastikan seorang anak siap melakukan upacara Karapao, hal yang dilakukan ialah dengan menyuruhnya menonjok batang pisang. Jika kesakitan, berarti ia belum siap.
Ketua Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe Herman Kiripi menjelaskan warga suku Kamoro memiliki hak warisan seni dari garis keturunan ayah (patrilineal). Ia mengatakan, jika seseorang berasal dari keturunan yang nenek moyangnya pengukir, orang itu pun memiliki fungsi secara adat sebagai pengukir. Selain pengukir, fungsi adat lainnya bisa berbentuk penari dan penabuh tifa.
Proses inisiasi
Anak-anak suku Kamoro yang berusia tujuh sampai delapan tahun akan melewati prosesi inisiasi adat yang menandakan mereka sudah memasuki usia harus membantu meringankan beban orangtua, misalnya, dengan membantu mencari kayu bakar sendiri.
Inisiasi Karapao berarti memasukkan seseorang atau beberapa orang dari anggota masyarakat atau suku ke dalam kelompoknya sehingga mereka diterima secara sah sebagai bakal calon Karapao. Melalui Karapao, seseorang atau kelompok orang Kamoro pun dimasukkan ke struktur sosial tradisional, yakni melalui tapena, tauroko, dan karapao.
Selain itu, prosesi itu menandakan anak yang telah diinisiasi akan menerima warisan seni dari ayahnya. Jika sudah menguasai bakat seni ayahnya, anak tersebut juga diperbolehkan untuk mempelajari seni yang lain. "Seperti saya, saya pengukir, pemukul tifa, dan penari. Anak saya harus mengikuti, harus turun-temurun. Moyang saya pengukir, jadi ikut menurun ke saya, sampai nanti cucu dan cicit. Jadi tidak semua warga bisa mengukir. Keterampilan bisa ditambah, tapi kalau moyangnya pengukir, ya pengukir semua," ujarnya.
Tindik hidung
Karapao ialah upacara akil balig (inisiasi) bagi anak-anak yang ditandai dengan tindik hidung. Inisiasi dilakukan di dalam rumah panjang, berdinding anyaman daun pandan, beratap daun nipah.
Rumah Karapao itu panjangnya bergantung pada jumlah anak yang akan diinisiasi menjadi akil balig. Karapao yang kami lihat ini memiliki 16 pintu, dengan panjang total sekitar 40 meter.
Setiap keluarga mendiami sebuah pintu, tetapi di dalamnya sepanjang 40 meter tidak ada sekat pemisah. Di bagian depan Karapao, persis di tengah-tengah, berdiri sebuah Mbitoro (patung-patung leluhur) yang tinggi menjulang.
Upacara yang meriah itu berlangsung beberapa hari, mirip sebuah karnaval. Tifa ditabuh, tarian-tarian dipertunjukkan dan nyanyian yang dipimpin seorang ahli (Ndikiarawe) menggema sepanjang upacara. Tubuh anak-anak yang diinisiasi dilukis dengan jelaga, kapur, dan berbagai warna alami yang terbuat dari dedaunan dan biji-bijian. Tiang-tiang besar diukir menjadi Mbitoro, dilukis, dan dibangunkan dengan mantra-mantra yang diucapkan Opakawe (tua adat yang memimpin seluruh prosesi upacara).
Selanjutnya, dengan gagah, Mbitoro diarak keliling kampung sebelum akhirnya diikat di depan Karapao. Pendirian Mbitoro bertujuan mendatangkan kembali kekuatan dan kebijaksanaan dari seorang leluhur. Semasa hidupnya ia seorang yang kuat, dihormati, dan memiliki satu kemampuan khusus. Misalnya, ahli dalam membuat ukiran yang layak untuk ditiru dan dicontoh anak laki-laki yang diinisiasi ini.
Upacara Karapao yang kedua dilakukan beberapa tahun kemudian. Anak-anak yang diinisiasi akan menukar tapena atau pakaian anak-anak dengan dedaunan sebagai pembungkus kemaluannya.
Upacara yang ketiga merupakan tambahan dan dilaksanakan apabila mereka sudah dianggap dewasa, siap untuk berkeluarga. Pada saat itu, hidung mereka akan dilubangi dan dipasangi taring babi. Sejak 1950-an, upacara pelubangan hidung ini sudah hilang dari tradisi suku Kamoro. Namun, terlepas dari tanggung jawab hak warisan seni dan usia inisiasi, Herman optimistis kebudayaan suku Kamoro akan terus lestari karena banyaknya anak muda di sukunya yang berminat untuk belajar kebudayaan asli Suku Kamoro. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved