Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
MULANYA pengunjung dibawa berkumpul di bagian belakang pabrik. Mereka berkerumun di sekitar panggung dengan lantai plester. Susunan bata membuat tempat itu lebih tinggi daripada yang lain. Beberapa bagian tampak cuil dengan lubang-lubang bertebaran. Masih ada bus model lama rongsokan yang berlamur karat. Itulah yang membuat tempat itu menjadi tempat pertunjukan yang berarti ketika disentuh secara estetis. Tembakan proyektor dan instalasi lampu mampu menjadikan tempat ini tidak lagi seperti gedung tua mencekam dengan narasi-narasi lama tentang dunia lain. Narasi lama beralih dan berganti dengan narasi baru tentang gedung tua yang layak sentuh, dinikmati, bahkan digunakan untuk swafoto. Seni mampu melakukan itu.
Pengunjung haruslah berhati-hati, sebab ada banyak jebakan alami berupa lubang bahkan pijakan keropos. Maklumlah, tempat itu tidaklah muda. Itu pabrik gula kuno yang dibangun pada 1861. Jika dalam keseharian hanya tampak seperti bangunan tua dengan besi-besi karatan, dua hari itu bangunan tersebut seolah mempunyai nyawa-nyawa baru. Dari pabrik gula yang sepi, menjadi ruang publik yang bergairah. Bahkan masyarakat sekitar ambil bagian dalam helatan itu. Mereka tidak lagi peduli dengan bentuk yang akan mereka dapati. Kabur sudah batasan seni kontemporer, modern, ataupun tradisional.
Mereka berfokus pada dimensi estetis setiap ruang yang dijamah para seniman. Mereka merespons dan mengapresiasi proses penciptaan yang dihadapkan pada mereka. Ternyata, masyarakat sangat suka itu. Itulah kesan yang didapat dari helatan seni Fabriek Fikr 2016 di Pabrik Gula Colomadu Solo. Acara ini berlangsung selama dua hari, yakni 19-20 November 2016. Sebanyak 70 seniman turut ambil bagian dalam program yang digagas Maestro Seni Sardono W Kusumo dan didukung Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Fabriek Fikr pertama kali diadakan pada 2015. Pabrik Fikr 2016 bertujuan menggali gagasan dari tempat-tempat yang selama ini tidak berfungsi atau terabaikan. Jika Fabriek Fikr pertama mengangkat tentang seni merespons bangunan penuh dengan mesin-mesin besi baja itu, Fabriek Fikr 2016 menggagas rentang panjang sebuah seni pertunjukan. Berkolaborasi Tidak semata menawarkan material estetik, tetapi ketika banyak orang kreatif berkumpul, berproses bersama, dan berkolaborasi sehingga menghasilkan berbagai produk kreatif. Itulah kenapa tajuk Pabrik Fikr sangat sesuai. Pabrik gagasan.
Fabriek Fikr mengusung sebuah konsep pertunjukan tidak harus selalu berbentuk normatif seperti yang sudah sering dilihat penonton. Kehidupan para seniman sesungguhnya sudah menjadi daya tarik tersendiri terutama ketika melihat proses para seniman dalam mencipta karya seni. Pelibatan publik dalam proses pencipta karya seni ialah ruh dari helatan ini. Seniman tidak hanya berinteraksi dengan karya seninya, tetapi juga berelasi dengan manusia. “Jadi seni itu tidak dinikmati, ditepuktangani, dikagumi. Tapi seberapa dia mampu memberi inspirasi untuk masyarakat,” terang penggagas Pabrik Fikr, Sardono W Kusumo.
Beberapa karya seni yang bisa dinikmati publik ialah dance performance, Papua kuliner, painting performance, pantomim, video mapping, expanded cinema, dan Tony Bruer camping. Ada pula painting performance. Sebuah ruang terbuka yang memanjang, berbentuk seperti panggung, akan disulap menjadi studio-studio lukis. Para pelukis muda akan menjalani aktivitas keseharian. Mereka akan tidur, makan, melukis di area studio tersebut.
Masih ada penampilan aktor pantomim asal Jogjakarta, Jemek, yang bereksplorasi di atas roda-roda mesin berukuran besar dengan latar visual video mapping Charlie Chaplin. Pertunjukan pantomim juga berkolaborasi dengan disjoki asal Solo dan Jakarta. Ini bentuk eksplorasi pantomim yang mengkombinasikan ruang masa lalu dengan teknologi masa kini.
Tony Bruer akan merespons ruang dengan berkemah selama kurang lebih 10 hari bersama 5 orang lainnya. Tony Bruer Camping seolah menjadi alur mundur dari kemunculan Tony Bruer pada Fabriek Fikr 2015.
]
Dengan sensibilitas saraf dan persendian tubuh yang elastis sekaligus memiliki energi tubuh yang tinggi, ia melakukan respons ruang di Pabrik Gula Colomadu. Tubuh Tony Bruer melambung merayapi dinding dan langit-langit Pabrik Gula Colomadu yang sangat tinggi. Ia berjalan di antara sekat-sekat baja dan bergelayutan di kisi-kisi besi. Kali ini mendadak Tony Bruer ingin mendirikan kemah. Ia akan mengurung tubuhnya di dalam sebuah ruang, di pabrik yang dulu pernah ditaklukkan, tetapi sekarang ia justru ingin menutup diri dari keluasan tersebut dengan menciptakan ruang yang kecil. Ia menikmati prosesnya hidup di ruang yang begitu kecil.
Tony begitu bergagas pada proses. Hal penting pertama dalam berseni teater ialah proses. Kedua, proses. Ketiga, proses.“Saya mengidolakan proses, bukan pentas,” ujarnya. Tony terus mencipta gagasan dalam ruang pabrik tua itu. Tubuh, biasanya, hanya dijadikan sebagai alat penyampai gagasan ataupun media penghantar pesan. Namun, dalam gagasan Tony, tubuh ialah gagasan, tubuh ialah guru. Fabriek Fikr ialah sebuah momen kejutan yang melawan kebiasaan dengan gagasan-gagasan yang luar biasa. Jika gagasan pertunjukan ialah pentas di panggung, auditorium, dan lobi, Fabriek Fikr membalik itu dengan pertunjukan di bangunan Pabrik Gula Colomadu. Namun, itulah yang membuat Fabriek Fikr menjadi milik setiap orang. Ternyata masyarakat dengan daya imaji masyarakat bisa menjadi energi kreativitas untuk sebuah karya. “Daya imaji masyarakat itu jangan disepelekan,” tegas Sardono. Fabriek Fikr telah membuktikan tajuk itu bukan sekadar kata. Seperti munculnya gagasan-gagasan baru seperti yang dibawa Tony Bruer. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved