Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Belajar Jurnalistik, dari Tangerang hingga Helsinki

Muhammad Kurniawan Jurusan Jurnalistik, Universitas Sumatera Utara
27/11/2016 03:40
Belajar Jurnalistik, dari Tangerang hingga Helsinki
(DOK. PRIBADI)

Belum menjajaki karier jurnalistik profesional, Jessica Damiana telah terpapar dengan isu-isu pers global, mulai kebebasan wartawan hingga pengaruh kepentingan pemilik media. Ia terbang ke Helsinki, Finlandia, untuk belajar dari praktisi dan berbicara dalam forum jurnalistik global di Jakarta. Salah satu hasil dari eksplorasinya itu ialah pemahaman tentang pentingnya keterampilan beragam yang dimiliki jurnalis. Muda mewawancarainya untuk mengungkap bagaimana minatnya pada dunia yang selalu dinamis ini.

Ceritakan dong gimana kamu bisa ikut World Press Forum?
Akhir Januari 2016 dosen menyebarkan poster lewat Facebook dan medsos tentang pencarian delegasi yang mewakili Indonesia dalamorld Press Freedom Day. Di situ ditulis delegasi itu akan bekerja di Youth News Room dan harus memiliki kompetensi menulis, foto, video dan audio, serta kemampuan medsos. Saya akhirnya apply dan mengikuti lima proses seleksi, mulai administratif, kompetensi jurnalistik serta IP di atas 3,5. Tahap kedua ialah membuat berita dari pidato satu menit Direktur UNESCO Irena Bukova terkait World Radio Day. Pidatonya cuma satu menit, tetapi kita ditantang membuat berita selama 30 menit. Ketiga, wawancara dengan dosen terkait teknis jurnalistik dan acara World Press Freedom Day. Portofolio kami bener-bener dibahas. Tahap keempat, wawancara dengan tim student support kampus. Kelima, wawancara dengan pihak rektorat.

Setelah lolos, apa yang kamu lakukan sebagai delegasi World Press Forum?
World Press Forum itu perayaan hari kebebasan pers sedunia UNESCO yang diselenggarakan di Helsinki, Finlandia, 2-4 Mei lalu. Jadi, saya bekerja di Youth News Room, redaksi yang isinya anak-anak SMA, S-1 jurnalistik dari seluruh dunia juga wartawan muda. Delegasi Indonesia ada empat, saya, Jennifer, Annisa sama Narendra, kami semua dari UMN.
Kehadiran kami di sana juga karena World Press Forum 2017 akan dilaksanakannya di Indonesia.

Liputan yang kalian lakukan?
Di sana kami meliput isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan pers, membahas masalah yang dihadapi delegasi Thailand yang sempat tidak diperkenankan pergi karena paspornya ditahan junta. Kami juga membahas isu kebebasan berekspresi. Semua tulisan itu dimuat di Freezine. Kami juga meliput isu-isu kebebasan berekspresi dari aspek seni, membuat laporan tentang kebebasan atau indeks kebebasan pers dunia serta menceritakan kondisi para wartawan dan jurnalis di negara berkembang misalnya, Sudan Selatan. Kebetulan ada warga Sudan di Finlandia di sana. Selain itu, kami juga membahas kekerasan terhadap jurnalis, yang baru-baru ini dialami wartawan Al-Jazeera serta CNN, serta pembahasan mengenai Guillermo Cano World Press Freedom Prize yang diberikan bagi wartawan yang memperjuangkan kebebasan pers di negara masing-masing.

Pembelajaran apa yang kalian dapat selama di Helsinki?
Jadi, karena sistemnya konferensi, jadinya kita ikut seminar paralel, topiknya mulai hate speech hingga kebebasan berekspresi di dunia seni. Di redaksi Freezine, saya di divisi medsos, jadi saya live tweet dari sesi-sesinya.

Selanjutnya, kamu ikut juga Jakarta World Forum for Media Development di Jakarta, ya?
Ya, kegitannya pada 20-22 September 2016, saya bekerja lagi di bagian Youth News Room, nama medianya ialah Maxscope. Kalau Freezine majalah fisik dan online, kalau Maxscope online saja. Temanya Decoding the Future, kita ingin melihat masa depan dunia jurnalistik. Saya berkesempatan menjadi pembicara di sesi pemetaan untuk pemilik bisnis media di Filipina, Indonesia, dan Singapura. Saya mempersiapkannya satu bulan, delapan kali bimbingan dengan dosen.

Kenapa tertarik dengan dunia jurnalistik?
Sebenarnya dari SMP pengen-nya ambil jurusan public relation karena suka ngomong di depan, percaya diri. Tapi, pilih jurnalistik karena profesi ini mulia, jadi mata dan telinganya masyarakat. Pandangan kamu tentang dunia jurnalistik di Indonesia? Kalau menurut reporter San Frontieres, kita masuk dalam rangking 130 dari 181 negara, artinya setengah bebas dan tidak bebas. Kita punya pekerjaan rumah untuk itu. Syukurnya, perkembangan digital sangat cepat, jadi wartawan dan mahasiswa Indonesia dituntut punya multiskill journalism.

Agenda kamu ke depan?
Tetap pengen jadi wartawan, di koran, majalah, atau online. Tapi pengen-nya di media yang memakai bahasa Inggris. Pengen belajar multiskill journalism, bisa membuat video, mengedit video, atau fotografi. Karena selama ini saya baru bisa nulis saja. Jadi, ingin punya kemampuan lebih. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya