Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Legenda Empu Supa di Kayangan Api

M Ahmad Yakub
13/11/2016 13:09
Legenda Empu Supa di Kayangan Api
()

KAYANGAN Api ialah salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Bojonegoro yang diharapkan mampu menarik wisatawan dari luar daerah. Kekayaan alamnya yang unik diyakini bisa menjadi magnet ampuh untuk menyedot rupiah dari kantong wisatawan.

Kayangan api merupakan objek wisata unik yang tak sembarang ada di kawasan lain di Nusantara.

Objek wisata di tengah hutan lindung itu berupa sumber api abadi yang tak pernah padam. Kayangan Api berlokasi di Desa Sendangharjo, Kecamatan Nga­sem, Bojonegoro, Jawa Timur. Tempat wisata itu juga dipergunakan sebagai destinasi wisata umum dan kerap dipakai sebagai wisata religi, tempat wisuda waranggono, dan ritual lainnya.

Terbaru, tempat wisata api abadi itu juga dimanfaatkan sebagai terapi sejumlah penyakit. Kayangan Api juga dipercaya menjadi tempat bersemayam seorang empu kenamaan pada era Kerajaan Majapahit. Yakni, Mbah Kriyo Kusumo atau yang popular disebut Empu Supa. Pada saat lampau, keberadaan api itu juga untuk membuat sejumlah peralatan perang dan pusaka kerajaan.

Sumber api abadi itu terletak di area hutan lindung seluas 42,29% dari luas desa setempat. Api yang keluar sebagai sumber abadi objek wisata itu merupakan sumber api terbesar di Asia Tenggara. Dewasa ini, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah sarana pendukung untuk meningkatkan kunjungan di Kayangan Api.

Bagi masyarakat Bojonegoro, Kayangan Api merupakan tempat yang sakral. Kobaran api abadi itu tak boleh diambil sembarangan.
Namun, itu hanya bila ada upacara-upacara penting. Itu pun terlebih dahulu harus melalui sejumlah ritual, termasuk acara selamatan tayuban dengan menggunakan gending tertentu yang merupakan gending kesukaan Mbah Kriyo Kusumo--nama lain Empu Supa.

Tempat ruwatan
Bagi masyarakat sekitar, Ka­yangan Api juga sebagai tempat untuk membuang sengkolo (sial). Proses ruwatan dilakukan pada bulan tertentu dengan sejumlah prasyarat. Warga yang diruwat mesti mengenakan busana adat Jawa, busana muslim lengkap dengan jilbab.

Prosesi ruwatan atau wisuda waranggono biasanya diikuti ratusan orang dari berbagai kawasan sekitar Bojonegoro.

Penyelenggaranya tidak lain ialah Dinas Pariwisata Pemkab Bojonegoro. Aktivitas ruwatan massal itu tentu membuat daerah yang biasanya sunyi dan tenang tersebut berubah menjadi ramai dikunjungi masyarakat sekitar.

Mereka yang telah mengikuti ruwatan meyakini nasib sial serta segala keapesan lainnya hilang. Syarat lain untuk prosesi ruwatan ialah peserta terlebih dahulu harus puasa mulai pukul 24.00 WIB pada malam sebelum ruwatan digelar. Selain tidak boleh makan dan minum, peserta dan anggota keluarganya harus patigeni (tidak boleh tidur).

“Jadi sampai sekarang kami meyakini untuk membuang sial, ya, harus diruawat,” ungkap Katijo, 54, warga Desa Tulungr­ejo, Kecamatan Trucuk.

Pada beda beberapa tahun lalu, dia bersama keluarganya mengikuti ruwatan di Kayangan Api dengan membawa istri dan enam anaknya. “Kami ingin keluarga kami jauh dari marabahaya,” ujarnya.

Menurut dia, dari enam anaknya, hanya satu yang berjenis kelamin laki-laki. Dia adalah Daru Sugiarto, 28, anak nomor tiganya. Menurut hitungan yang dianutnya, posisi anaknya tersebut tibo patok. Yakni, anak laki-laki berada di tengah dari sekian anak perempuan sehingga anaknya tersebut harus diruwat.

Atas saran orang yang ‘ngerti’, dia disarankan meruwat keluarganya. Karena itu, ia kemudian mengikuti ruwatan massal di Kayangan Api. Jika harus meruwat sendiri keluarganya, tak cukup biaya Rp25 juta.

Mengambil api harus melalui suatu prasyarat, yakni selamatan atau wilujengan yang dikemas dalam acara tayuban. Masyarakat pun meyakini gending (lagu Jawa) yang dimainkan dalam prosesi pun tak boleh sembarangan.

Kepercayaan tersebut dipegang teguh oleh masyarakat Bojonegoro. Itu terbukti pada acara ritual pengambilan api tersebut yang juga dilakukan Pemerintah Bojonegoro sewaktu PON XV 2000 hendak digelar. Terlebih, pengambilan api PON yang pertama dilakukan di Kayangan Api.

Pada prosesi pengambilan pun, diadakan ritual yang di­pimpin tetua masyarakat yang dipercaya saat itu. Prosesi itu meliputi asung sesaji (menyajikan sesaji) dan dilanjutkan dengan tumpengan (selamatan).

Lokasi wisata yang letaknya sekitar 25 kilometer ke arah selatan dari Ibu Kota Bojonegoro itu, selain dijadikan sebagai objek wisata alam, juga sebagai tempat untuk sejumlah upacara penting. Yakni, Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro, ruwatan massal, dan wisuda waranggono.

Nyadranan (upacara bersih desa) juga masih terus dilestarikan masyarakat sekitar di Kayangan Api. Tradisi itu dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Mahakuasa. Belakangan, kobaran api abadi juga dipercaya mampu menyembuhkan sejumlah penyakit. (M-2)

[email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya