SUDAH seperti konsekuensi, meluasnya perkotaan akan memakan wilayah pertanian dan perdesaan. Padahal, makna pembangunan atau kemajuan zaman semestinya tidak selalu mengorbankan desa dan lingkungan khasnya. Itulah hal yang salah satu yang dibahas dalam diskusi Developing Urban Planning Tools for Green Desakota Development di auditorium Erasmus Huis, Senin (14/9). Akademikus dari Departemen Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Bakti Setiawan, menyebut identitas daerah sebenarnya bisa menjadi modal untuk mengembangkan wilayah secara mandiri dan menekan laju urbanisasi. Pemimpin perusahaan arsitektur asal Belanda, Harmen van de Wall, juga mengungkapkan sisi negatif dari tergerusnya daerah perdesaan yang ia lihat di selatan Yogyakarta.
Dari pengalamannya melihat banyaknya sawah yang dijual, Van de Wall menilai perubahan di sana tidak dibangun melalui sebuah perencanaan, tetapi oleh kesempatan. Hal ini menyebabkan masyarakat yang saling tidak peduli. "Persepsi seseorang itu lebih banyak uang yang didapat dengan menjual tanah daripada membangun usaha agrikultur. Karena itu, harus membuat rencananya yang spesifik," kata Van de Wall. Para pembicara pun mengusung konsep desakota untuk mengakomodasi tuntutan perkembangan, tapi tetap mempertahankan karakter perdesaan.
Terminologi desakota maupun peri-urban mungkin masih terasa tidak familier. Jika peri-urban berada pada lingkaran ketiga setelah kota metropolitan, desa-kota muncul di lingkaran selanjutnya. Desakota menjadi daerah transisi kota dan desa, memiliki jarak kisaran 30-50 kilometer dari pusat kota. Salah satu karakternya memiliki populasi padat penduduk dan dikembangkan untuk memudahkan perpindahan manusia ke pusat-pusat kota dengan jaringan sistem transportasi. Di Indonesia, terdapat dua daerah yang dinilai bisa menjadi contoh konsep desakota, yakni Desa Kasongan di Bantul, Yogyakarta, dan daerah Batu di Malang, Jawa timur.
Gerabah dari tanah liat beraneka bentuk dan keramik menjadi dua andalan yang dijajakan warga Desa Kasongan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir 95% penduduk yang tinggal memang memiliki mata pencaharian sebagai perajin gerabah. Letaknya dari pusat kota pun tak terlalu jauh, hanya berjarak 6 km dari alun-alun Yogyakarta, sehingga mudah bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke desa wisata tersebut. Pun dengan Agrowisata Batu di Malang yang masih menghadirkan kesan guyub meskipun sudah banyak dijejali para wisatawan domestik dan mancanegara. Direktur Perkotaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Endra Atmawijaya mengakui jika konsep desakota dapat menjadi solusi perkembangan wilayah.
"Istilah relatif baru dan belum diadopsi pemerintah. Padahal, ini bisa menjadi solusi mencegah wilayah sekitar kota metropolitan agar tidak kehilangan suasana hijau," tukas Endra. Lebih lanjut, para pembicara mengungkapkan beberapa faktor untuk mewujudkan suatu daerah menjadi desakota, di antaranya daerah itu harus terhubung dengan area pertanian/perkebunan dengan yang memiliki kondisi baik. Desakota juga harus memiliki perekonomian rural-urban dengan adanya 4-8 fasilitas yang berbeda, seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar. Kemudian, daerah itu harus memiliki pengaturan sumber daya alam yang baik.