GUNUNG Guntur yang berada di wilayah Garut, Jawa Barat, menjadi salah satu destinasi favorit para pecinta alam untuk didaki. Namun, yang menarik bagi lima sekawan, yakni Arman Nugraha, Gilang Ramadhan, Firda Tubagus Ismail, Oda Daryani, dan Amallia, ialah yang membawa keresahan bagi banyak orang. Itu tempat pembuangan akhir (TPA) yang berada di kaki gunung. Sampah yang menggunung mengakibatkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Lima mahasiswa Universitas Padjadjaran itu pun bertekad menuntaskan persoalan dengan langkah sederhana.
Mereka paham cara paling mudah untuk mengurangi sampah ialah dengan membakar. Namun, karena asap pembakaran membuat polusi, mereka menggagas ide sebuah oven sampah. Dengan alat itu, pengurangan sampah bisa tercapai sekaligus tidak menimbulkan polusi udara. "Teman dari Jurusan Kimia, Oda Daryani, memberikan saran, kalau setiap sampah itu memiliki zat perekat atau polietilen, khususnya sampah plastik," ujar Arman Nugraha di Gedung Rektorat di Jatinangor, Jawa Barat, Sabtu(20/6). Dengan didampingi tiga rekannya, Arman pun memperlihatkan alat inovasi yang diberi nama Rangunkarsa, Rancang Bangun Pembakar Sampah tanpa Asap. Alat itu juga diikutkan ke lomba Pekan Kreativitas Mahasiswa Karya Cipta (PKM-KC) se-Indonesia 2015.
Tiga komponen Alat yang berbentuk seperti peti untuk menyimpan uang itu sangat berat. Untuk memindahkannya saja, membutuhkan bantuan empat orang sekaligus. Rangunkarsa memiliki tiga komponen dengan desain bongkar pasang sehingga memudahkan proses pemeliharaan. Bagian pertama disebut rumah bakar. Firda menjelaskan sampah dibakar, tapi tidak langsung bersentuhan dengan api karena di dalam rumah bakar tersebut menggunakan kastabel (bata api) yang fungsinya seperti arang. Pemanasan kastabel melalui proses yang sama seperti pemanasan arang, yakni dengan dinyalakan hingga membara dan kemudian ditiup udara dengan kipas.
Panas yang dihasilkan mencapai 500 derajat celsius. Lalu, bagaimana kalau kastabel habis? Firda menjawab kekhawatiran itu dengan desain bongkar pasang sehingga jika habis, kastabel baru bisa dimasukkan. Panas yang berasal dari kastabel secara tidak langsung akan membuat sampah hancur. Sampah plastik akan menghasilkan gas, sementara pembakaran jenis sampah lain akan menghasilkan residu yang kemudian akan diserap batu pasir yang berada di bagian atas rumah bakar. "Asapnya masuk ke ruang kondensasi, ini bagian ketiga, yang mengubah uap menjadi bentuk cair. Percobaan kami terhadap sampah botol dan keresek, sisa pengeluarannya berupa minyak dan itu yang kami teliti lebih lanjut untuk diterapkan menjadi bahan bangunan," imbuh Gilang yang bersama Arman dan Firda berkuliah di Jurusan Geologi.
Pasir yang digunakan, kata Gilang, berasal dari pasir batuan andesit. Selain karena banyak ditemukan, penggunaan tersebut juga karena mereka bekerja sama dengan penambang pasir di Garut. Di pengembangan berikutnya, mereka berharap agar cairan perekat itu bisa serupa dengan hidrokarbon yang terkandung dalam aspal. "Katanya sih ember juga lebih bagus, kemarin mencoba botol dengan keresek saja hasilnya berbeda. Botol plastik itu lebih kental, tetapi masih kami kaji apakah lebih baik atau tidak. Iya ini menggunakan energi listrik, pemakaiannya untuk 2 jam-3 jam dan mampu menampung sampah plastik 3 kg-5 kg," tutur Oda.
Batako Lima sekawan itu memikirkan hingga tataran produksi batako. Mereka yakin, cairan minyak yang dihasilkan dari kondensasi asap dapat digunakan sebagai perekat yang biasa digunakan untuk pembuatan batako. Kerja sama, lanjut Arman, dilakukan agar apa yang mereka kerjakan dapat terukur, bukan sekadar inovasi yang kemudian tidak bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Namun, ia mengaku kerja sama pemanfaatan baru sebatas obrolan tanpa perjanjian mengikat. Hal tersebut lantaran mereka masih harus terus menyempurnakan inovasinya.
"Sebelumnya desain tidak seperti ini, sempat menggunakan tabung gas sebagai bahan bakar he he he. Banyak konsultasi dengan dosen pembimbing, dengan tukang las, dan pabrik batako, kami mendapatkan banyak ilmu dan kemudahan untuk menggarap prototipe Rangunkarsa ini. Nantinya, si cairan itu diaduk dengan batu pasir untuk bisa dijadikan batako," pungkas Arman yang akan segera menuntaskan detail penelitian Rangunkarsa.