Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Menyusuri Kerajaan Tulang Bawang

ABDILLAH M MARZUQI
06/11/2016 05:30
Menyusuri Kerajaan Tulang Bawang
(MI/ABDILLAH M)

AGAKNYA pepatah jalan tiada berujung tidak lagi berlaku di sini. Jalan itu ternyata punya buntuan juga. Ada bangunan mirip pendopo di ujung jalan. Bangunan menjadi pembatas dari jalanan yang membelah kampung Pagardewa, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Jalanan separuh aspal membelah kampung yang masyarakat sekitar lebih suka menyebutnya dengan istilah tiyuh pagardewa. Tiyuh ialah sebutan untuk kampung menurut bahasa Lampung. Tepat di kedua sisi, kanan dan kiri, cukup mudah untuk mendapati rumah kuno yang berbentuk panggung. Beberapa rumah masih menyisakan aroma kuatnya masa lampau.

Itu masih dengan penopang dan tiang yang terbuat dari kayu meski banyak pula yang sudah menggeser tiang penyangga rumah dengan bangunan beton. Seusai ditemani pemandangan rumah panggung di kedua sisi jalan, pandangan akan berakhir pada sebuah bangunan mirip pendopo. Bangunan itu punya bentuk persegi dengan empat tiang di setiap sudutnya. Kelilingnya tidak ditutup utuh, hanya beberapa kayu yang disusun melintang dan membujur serupa pagar. Rombongan angin pun bisa dengan leluasa menerobos masuk tanpa permisi. Oleh masyarakat sekitar, bangunan itu disebut sebagai Tangga Raja.

Bangunan itu mirip sebagai tempat labuh. Banyak perahu-perahu kecil yang menambat tali di situ. Menurut cerita setempat, dulunya banggunan itu digunakan para bangsawan dari Kerajaan Tulang Bawang. Sisi sebelah kanan bangunan terdapat tangga kecil menuju bibir sungai. Mengalir tenang sungai yang cukup lebar. Airnya berwarna kecokelatan. Sungai itu akrab disebut sebagai Way Kiri. Tiyuh pagardewa itu memang diapit dua Sungai Tulangbawang, yakni Way Kanan dan Way Kiri. Tiyuh tua itu juga disebut sebagai kampung etnik, sebab dihuni mayoritas etnik Lampung.

Nama pagardewa pun punya artian tersendiri. Dalam bahasa Lampung disebut pager dewou. Nama itu berasal dari pagar yang berarti dikelilingi, dilingkari, atau dipagari, sedangkan dewa bisa berarti dewa atau orang sakti. Artinya, kampung itu dikelilingi para dewa atau orang sakti. Begitu seperti yang diungkapkan Hermani yang bergelar Minak Bangsawan Diraja.

Kampung Pagardewa ialah kampung yang terletak di dekat pertemuan dua sungai, Way Kanan dan Way Kiri. Dulunya, di Kampung Pagar pertama yang dipijak orang Lampung, sekelumit jejak masih bisa didapati saat menyusuri Kerajaan Tulang Bawang di Lampung. Kerajaan Tulang Bawang berdiri pada abad 5 Masehi hingga abad 7 Masehi. Pusat kerajaan terletak di hulu Way Tulang Bawang, antara Menggala dan Pagardewa.

Menyisakan tanda tanya
Lokasi persis pusat kerajaan memang masih menyisakan tanda tanya. Meskipun demikian, diperkirakan pusat Kerajaan Tulang Bawang berada di Betul Bujung (pertemuan dua sungai, yakni Way Kanan dan Way Kiri). Dikisahkan Hermani, salah satu pemangku adat di Pagardewa, Kerajaan Tulang Bawang berpusat di Kampung Pagardewa. Kerajaan ini mempunyai beberapa arti ketika disusur dari nama. Pertama, sifat kerajaan sama dengan bawang yang tidak bertutang. Menyusur lapisan bawang sampai habis, tidak mendapatkan tulang bawang.

Kedua, setiap musuh yang terbunuh di buang ke bawang (lebak-lebak). Timbunan mayat menyisakan banyak timbunan tulang. Bawang juga berarti rawa. Raja pertama dari Kerajaan Tulang Bawang bernama Mulonou yang kemudian memiliki keturunan: Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit Minak Se-bala Kuwang. Pada abad ke-9 Masehi, kerajaan ini dipimpin Runjung atau yang lebih dikenal dengan Minak Tabu Gayaw. Runjung (Minak Tabu Gayaw) punya tiga putra: Tuan Rio Mangku Bumi (Pagardewa), Tuan Rio Tengah (Menggala), dan Tuan Rio Sanak (Panaragan).

Minak Kemalabumi yang bergelar Haji Pejurit keturunan Tuan Rio Mangku Bumi pada awal penyebaran Islam di Tulang Bawang (abad ke-16). Pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang dijalankan sesuai dengan adat marga (buay), komunal, dipimpin anggota keluarga tertua disebut punyimbang. Punyimbang memegang status sosial tertinggi di kelompoknya.

Salah satu prasasti Sriwijaya, Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, sebelah barat daya Kota Palembang, tahun 683, berisi tentang kekuasaan Sriwijaya. Diperkirakan, sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai Sriwijaya atau daerah itu tidak berperan lagi di pantai timur Lampung. Setelah punahnya Kerajaan Tulang Bawang di Lampung tidak dikenal adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan, tetapi yang berkembang ialah sistem pemerintahan demokratis. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya