Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kampanye

Ono Sarwono
06/11/2016 04:15
Kampanye
()

SEORANG pembaca rubrik ini bertanya tentang bagaimana kampanye pilkada seperti yang sedang berlangsung saat ini dalam cerita wayang. Itu pertanyaan (usulan) yang menarik, menggelitik. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperjelas terlebih dulu apa arti kampanye itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampanye ialah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Jadi, inti kampanye ialah upaya memikat pemilih agar memilihnya. Berdasar pengertian tersebut, secara filosofis ada model kampanye khusus dalam lakon wayang.

Bedanya, kalau di pilkada, para kompetitor banyak beraktivitas dan bicara di depan atau tengah publik, sedangkan kampanye dalam kisah wayang justru mengasingkan diri, menjauhi keramaian, menyepi. Bahkan, mereka mesti meminimalisasi gerakan fisik dan diam seribu bahasa. Yang ‘ramai’ ialah aktivitas jiwanya. Dalam bahasa pakeliran, kampanye demikian itu disebut semadi. Dalam laku prihatin itu, setiap kompetitor berlomba ‘memamerkan’ kualitas diri masing-masing dengan tujuan memikat para dewa sehingga penghuni kahyangan tersebut memilihnya sebagai wadah anugerah (wahyu).

Wahyu Cakraningrat
Kisah kampanye dengan model semadi ini dalam jagat wayang di antaranya tersua dalam lakon Wahyu Cakraningrat. Dalam seni pedalangan, wahyu yang dimaksud juga sering disebut Wahyu Kanarendran. Siapa pun yang mampu menggayuh wahyu tersebut, dan atau keturunannya, di kelak kemudian hari bakal menjadi narendra (raja). Ada tiga anak muda yang bersaing untuk mendapatkan wahyu itu. Mereka ialah Abimanyu alias Angkawijaya dari Kesatrian Plangkawati (Amarta), Samba alias Wisnubrata (Paranggaruda, Dwarawati), dan Lesmana Mandrakumara (Sarojabinangun, Astina).

Dalam ceritanya, Abimanyu-lah pada akhirnya yang mendapatkan wahyu. Namun, dikisahkan, sebelum ‘menikmati’ hasilnya, Abimanyu keburu gugur di kurusetra dalam perang Bharatayuda. Putra tunggalnya yang lahir dari rahim Dewi Utari, Parikesit, menjadi raja Astina (Yawastina) tidak lama pascaberakhirnya perang suci sesama trah Abiyasa tersebut.
Pertanyaannya, terkait dengan temanya, bagaimana metode ‘kampanye’ (semadi) Abimanyu sehingga ia terpilih (sebagai pemenang) oleh dewa untuk ‘mengantongi’ wahyu. Padahal, dua pesaingnya, Samba dan Lesmana, juga sama-sama melakukan kampanye di Hutan Krendawahana, tempat wahyu diturunkan.

Menurut sanggit dalang, kesuksesan Abimanyu berkat kualitas pribadinya yang memang jauh lebih baik daripada dua pesaingnya. Lalu, dalam praktik semadi (kampanye)-nya, ia dinilai tanpa cacat, benar-benar paripurna. Para dewa di Kahyangan terkagum-kagum dengan keindahan mengelola jiwanya. Mereka pun sepakat menganugerahi Abimanyu.
Bila dirunut, sebelum berkompetisi, Abimanyu telah mempersiapkan diri dengan baik. Kodratnya, ia kesatria yang--bahkan dikisahkan masih dalam kandungan ibunya (Sembadra) pun gentur menjalani laku prihatin. Ia mewarisi watak bapaknya, Arjuna, yang selama hidupnya senang menjalani tapa brata.

Menjelang turunnya Wahyu Cakraningrat, Abimanyu meminta nasihat sekaligus restu dari kakek buyutnya, Begawan Abiyasa, di pertapaan Saptaarga. Dari sini, ia tercerahkan dengan wejangan tentang bagaimana kesatria mesti menjaga amanah ketika mendapatkan anugerah. Sebaliknya, bagi Abiyasa, saat anak-cucu-buyutnya sowan, merupakan momen-momen penting sekaligus membahagiakan. Di situlah ia kemudian mentransfer berbagai ilmu, mulai tentang kepribadian, kepemimpinan, tata negara, hingga ilmu kesempurnaan hidup.

Sebelum kembali ke Saptaarga menjadi petapa, Abiyasa menjalani tugas sebagai raja di Astina bergelar Prabu Kresnadwipayana. Karenanya, Abiyasa tidak hanya menguasai ilmu teori, tetapi juga memiliki pengalaman impiris. Itulah modal berharga yang ia wariskan kepada keturunannya, termasuk Abimanyu, salah satu buyutnya yang paling sering sowan ke Saptaarga.

Karena itu, sebelum terjun ke gelanggang persaingan berlomba mendapatkan wahyu, Abimanyu sesungguhnya telah membekali diri luar-dalam. Maka, ketika bersemadi (kampanye) di belantara, ia tampak paling bersinar di antara pesaingnya. Berbagai godaan pun mampu ia enyahkan dengan mulus sehingga lulus. Ukuran kualitas kampanye Abimanyu sering dinarasikan bahwa ia piawai menutupi babahan hawa sanga. Yang dimaksud ialah berkuasa mengontrol penuh semua nafsu yang bersumber dari sembilan lubang pada diri manusia, yakni mata (dua), telinga (dua), hidung (dua), mulut, kelamin, dan dubur. Abimanyu kuasa mengendalikan hawa sanga tersebut sesuai dengan fitrahnya sebagai jalan kesucian.

Dalam sanggit dalang, ketika kembali ke Plangkawati setelah mendapat wahyu, Abimanyu berulang kali digoda perempuan secantik bidadari. Namun, berkat keberadaannya yang selalu ‘menyatu’ dengan panakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong), maka ia senantiasa terjaga. Abimanyu selalu diberkahi untuk eling dan waspada. Pesan sang kakek buyut selalu terngiang bahwa siapa saja yang mendapatkan anugerah selamanya akan dihampiri godaan. Itulah yang menjadikan Abimanyu sehari-hari bersikap rendah hati, tidak sombong, dan tidak gampang terayu oleh apa pun. Ini berbeda dengan dua pesaingnya. Selain secara kualitas pribadinya tidak lebih baik, Samba dan Lesmana gampang tergiur oleh godaan sehingga mereka gagal.

Bersama rakyat
Pesan moral cerita itu ialah yang terbaik yang mendapatkan anugerah. Selain secara pribadi unggul, Abimanyu mampu ‘berkampanye’ dengan kelas tingkat tinggi. Ia tidak perlu harus menyerang dua pesaingnya untuk meraih kemenangan. Yang ia lakukan melulu menunjukkan segala yang ada pada dirinya dengan sejujurnya, apa adanya. Belajar dari Abimanyu, untuk menjadi pemenang, setiap kontestan dalam pilkada saat ini mesti berkampanye secara kesatria. Semadi dengan menutupi babahan hawa sanga merupakan simbolisasi bersaing tanpa nafsu-nafsu hitam.

Abimanyu meraih kemenangan tanpa harus mengalahkan pesaing. Inilah yang dalam kearifan lokal disebut menang tanpa ngasorake. Dengan demikian, kemenangan itu murni karena kualitas pada dirinya. Jadi, itu bukan dari hasil rekayasa atau konspirasi apa pun. Kekuasaan yang demikian akan melahirkan kepemimpinan amanah. Gerak langkah Abimanyu yang selalu diikuti panakawan merupakan lambang kampanye yang merakyat. Pemenang (pemimpin) yang demikian ini sepak terjangnya tidak pernah lari dari urusan (aspirasi) rakyat. Kata lainnya, ia tidak akan pernah meninggalkan rakyat. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya