DERETAN bilik kaca langsung memberikan isyarat adanya hal tidak biasa di rawa yang berada di Teluk Chesapeake, Maryland, Amerika Serikat. Lahan rawa (marshland) yang berada 41 km di timur Washington DC itu memang tidak biasa.
Di lahan seluas 60 hektare yang ditutupi rumput rawa, sedges, dan pepohonan itu berlangsung riset terlama di dunia soal peningkatan penyerapan karbon dioksida (CO2) di lahan basah. Kenyataannya, rawa itu pun merupakan laboratorium lahan basah milik Pusat Riset Lingkungan Smithsonian (SERC).
Dimulai pada 1987, bilik kaca digunakan para peneliti sebagai alat bantu untuk memantau efek CO2 pada tumbuhan. Sebagian besar dari 62 bilik kaca berisi tumbuhan jenis sedges yang kebanyakan dari spesies Schoenoplectus americanus dan sebagian lainnya berisi tumbuhan jenis Phragmites.
Pada dasarnya, keduanya berbentuk seperti rumput, tapi dengan ukuran yang tinggi. Phragmites lebih mencolok lagi karena memiliki semacam bunga di bagian pucuknya. Di luar bilik kaca, tumbuhan-tumbuhan yang sama juga tumbuh subur.
"Pertanyaan yang ingin dijawab ialah apakah tumbuhan akan terus tumbuh dengan penambahan karbondioksida? Sekarang, pertanyaannya berkembang menjadi apa kalau memang terus tumbuh? selanjutnya apa yang terjadi?" tutur Gary Peresta, insinyur lingkungan SERC.
Sembari berkeliling di laboratorium alam itu pada Jumat (21/8) waktu setempat, Peresta menjelaskan bahwa ke dalam bilik kaca itu, mereka memompakan CO2 dengan kadar dua kali lipat konsentrasi CO2 yang ada di lingkungan. Dengan konsentrasi CO2 dalam atmosfer saat ini yang mencapai 400 bagian persejuta bagian (ppm), Peresta dan sejawatnya memompakan sekitar 700-800 ppm CO2 ke bilik-bilik itu.
Mereka menggunakan tiga subjek yang berbeda, yakni subjek yang dinamakan C3, C4, dan campuran C3 dan C4. Subjek C3 kebanyakan terdiri atas Schoenoplectus americanus. Sementara itu, C4 terdiri atas rumput rawa yang kebanyakan dari spesies Spartina patens.
"Tanaman C3 tumbuh lebih besar, lebih banyak biomassa di dalam bilik. Pertumbuhannya mencapai sekitar 30% dengan konsentrasi CO2 yang digandakan," jelas Peresta.
Berdasarkan publikasi mereka pada 2013, dalam hitungan karbon, tumbuhan C3 menyerap sekitar 2,5 kilogram karbon per tahun per meter persegi. Hasil itu menunjukkan bahwa tanaman rawa dapat diharapkan berperan dalam penyerapan karbon, termasuk dalam kondisi tingkat emisi yang makin tinggi seperti sekarang ini.
Ancaman Meski penelitian di lahan berumur 4.000-6.000 tahun itu berjalan positif, Peresta dan rekannya, peneliti postdoctoral Meng Lu, juga khawatir apakah kemampuan penyerapan karbon itu akan tetap atau justru berkurang. Pasalnya, sebagaimana ekosistem pesisir lain di dunia, lahan itu juga terancam dengan kenaikan muka air laut.
Kenaikan itu berarti menaikkan salinitas air rawa. Padahal, telah umum diketahui bahwa stres terhadap salinitas akan menghambat pertumbuhan tanaman. Saat ini, kadar salinitas air wilayah tersebut berkisar 8-12 bagian perseribu bagian (ppt) atau masuk dalam kategori payau.
"Tren jangka panjang dari tempat penelitian kami juga menunjukkan adanya hubungan negatif antara salinitas air dan produktivitas tanaman. Ini berarti naiknya salinitas akibat kenaikan muka air laut di masa depan dapat menurunkan kemampuan tanaman untuk menyerap CO2," tutur Meng Lu dalam surelnya, Kamis (3/9).
Namun, ia menambahkan bahwa lahan rawa itu mungkin saja tetap produktif jika pertumbuhan tanaman lebih cepat daripada kenaikan muka air laut. "Dengan tingkat kenaikan muka air laut sekarang ini, penelitian kami menunjukkan penyerapan karbon. Dengan kadar kenaikannya sekarang ini, masih dapat meringankan stres atau dampak negatif akibat salinitas," tambahnya.
Ancaman lain terhadap kemampuan penyerapan karbon oleh rawa ialah kadar nitrogen dan kekeringan. Nitrogen ikut menjadi bagian penelitian karena peneliti melihat meningkatnya kadar nitrogen di lingkungan saat ini akibat polusi industri pertanian ataupun sumber lainnya.
Nyatanya, peningkatan kadar nitrogen berakibat buruk pada tanaman karena membuat mereka malas menumbuhkan akar. "Padahal, di akar itulah karbon disimpan," tukas Peresta.
Dalam kondisi kering, penelitian mereka menunjukkan adanya penurunan penyerapan karbon. Selain itu, tanah yang terekspos udara juga dapat melepas karbon dalam fase yang cepat. Jika sudah begitu, lahan rawa itu nantinya bukan lagi sebagai rosot karbon, melainkan dapat menjadi sumber karbon. (M-5)