WAJAH-WAJAH nan lesu dengan tatapan kosong hanya berdiri mematung. Ada rona berukuran besar dan sedang. Di tengah-tengah arsiran, ada wajah mirip manusia. Plus tertera kalimat berbunyi, 'wajah hitam' dan 'kotak mimpi'.
Kotak-kotak berupa meja pun tampak sekali. Warna kekelaman seakan menandakan ada pergelutan batin. Karya mirip gaya kubisme ini memberikan simbol tentang kaum pribumi yang setia pada negara.
Gambaran itu terlihat jelas dalam karya pelukis Adikara Rachman. Judulnya Wajah Hitam dan Kotak Mimpi (75 cm x 60 cm, 2015). Dipamerkan pada Watercolor Exhibition 2015 bertema LovEarth di Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan ini.
Puluhan seniman dari 23 negara, termasuk, Indonesia, mengikuti ajang ini. Pameran berlangsung hingga Senin (14/9) mendatang. Tema pameran LovEarth pun cukup klise. Ini diambil dari kata love earth (cinta bumi).
Adikara hadir sebagai peserta. Ia merupakan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Trisakti, Jakarta. Ia menyajikan deformasi abstrak. Ia apik menghilangkan keaslian asli sebagai gaya khasnya kali ini.
Karya lain juga menarik perhatian pengunjung. Baik kalangan ekspatriat, diplomat, maupun seniman. William Robert, misalnya, menyajikan karya berupa fragmen. Ia menghadirkan unsur alam begitu kuat. Terutama, bentuk dan komposisi.
Karya mengandung unsur pewayangan itu ia juduli Fragmen Alam: Seribu Tanda Tak Terbaca (75 cm x 56 cm, 2015). Menengok karya ini memang tak begitu kuat. Namun, William mampu menghadirkan unsur hubungan antara manusia dan alam.
Tema bumi bukan isapan jempol semata. Para peserta pun berjibaku menyajikan karya terbaik. Unsur kehidupan petani sebagai objek yang dekat dengan dunia pertanian pun tak luput diabadikan mayoritas peserta.
Tengok saja Bulir-Bulir Kehidupan (56 cm x 76 cm, 2015) karya Hermanto Gandasasmita. Ia menghadirkan lima petani. Mereka sedang bekerja di sawah. Ada yang menanam bibit padi. Ada yang membajak dengan bantuan kerbau. Ada pula yang menyemaikan bibit.
Di balik pemandangan alam serupa lukisan realisme itu, pelukis asal Bandung, Jawa Barat, ini menyajikan untaian padi menguning dan siap panen. ''Ini gambaran tema sosial yang saya angkat kali ini. Petani ialah orang-orang hebat yang bekerja demi sebuah kesejahteraan,'' tutur Hermanto di sela-sela pemeran.
Hermanto bukan menyajikan ketidaksejahteraan. Namun, ia mengingatkan peran kaum buruh yang sangat penting dalam menopang kesejahteraan. Terutama, penyuplai beras ke pasar-pasar bagi kebutuhan masyarakat.
Pembukaan malam itu memang menyita perhatian. Namun, sebagian undangan sempat tidak mendapatkan katalog pameran lantaran tidak kebagian kupon yang dibagikan panitia secara terbatas. Serbacat air Terlepas dari kekecewaan itu, ada hal menarik untuk kita cermati. Terutama, tentang penggunaan cat air dalam lukisan. Pameran ini memang bukanlah baru. Pasalnya, banyak seniman dunia yang juga telah menggunakan cat air sebagai media berkarya selain cat minyak.
Dalam sejarah seni lukis, terutama pada era Renaissance, penggunaan cat air sudah jadi kebutuhan. Pelukis Jerman Albrecht Durer (1471-1528), contohnya, telah mengerjakan karya yang memukau di zamannya.
Salah satunya, Wing of a Roller (Watercolor and gouche on vellum, 20 x 20 cm, 1512). Ia membuat karya fenomenal itu 16 tahun sebelum kematiannya. Tentu saja, Durer memberikan pengaruh tentang pentingnya cat air sebagai media di atas kanvasnya kala itu.
Begitu pula dengan konteks sekarang. Para peserta pada pameran LovEarth menyajikan serbacat air. Itu menunjukkan bahwa ada ikatan dan emosi sehingga lewat wadah cat air itulah mereka bisa berkumpul di sini.
Keberadaan nelayan di Sungai Mekong yang mengalir melewati beberapa negara pun mampu ditangkap peserta dari Vietnam, Thu Huong Nguyen. Nguyen menghadirkan Boats at the Mekong Delta (56 cm x 38 cm, 2015).
Sungai sebagai sumber kehidupan dan 'penghidupan' telah membuat seniman tersebut menyajikan unsur alam negaranya. Tentu saja, Sungai Mekong bukan saja di mengalir melewati negara Vietnam semata. Alur airnya juga sampai ke Laos dan Thailand.
Objek perahu juga menjadi sajian dua seniman asal Lithuania. Pertama, Sergiy Lysyy lewat karya berjudul Boats (56 cm x 76 cm, 2015). Kedua ialah Jurate Bucmyte berjudul Curonian Lagoon Regatta (56 cm x 70 cm, 2015).
Lewat kehadiran seniman asing, pameran ini menunjukkan pesan. Keberadaan seniman menggunakan cat air kerap mendatangkan decak kagum. Pasalnya, ada teknik dan kemampuan khusus untuk bisa menghasilkan karya nan memesona.
Tiga seniman Meksiko, Patricia Guzman, Alfredo Ravelo, dan Cuauhtemoc Velazquez, misalnya, juga apik. Mereka menghadirkan karya yang realis yang kuat. Tengok saja karya Velazquez yang mengangkat tema petani secara kuat. Itu memberikan sinyal tentang kaum buruh menjadi sajian pada karyanya.
Kurator pameran, Eddy Soetriyono, menilai pelukis cat air biasanya hanya mengeksploitasi segi kejernihan dan kebeningan cat air. Namun, pameran ini ialah hal unik yang disuguhkan para peserta. ''Ada citra bahwa seni lukis cat air itu hanyalah dunia hobi dan bukan dunia untuk pencarian-pencarian estetika anyar atau kreativitas-kreativitas baru. Di sini, seniman menyajikan hal berbeda,'' tuturnya.
Lewat pameran LovEarth ini, ada jalan seni yang perlu diingat. Yaitu, mencari dan mencari terus jalan kreatif tanpa henti. Itu berguna demi memajukan peradaban manusia yang tinggal di bumi. (M-6)