DI antara ribuan orang yang sudah bersiap di sekitar gerbang start BII Maybank Bali Marathon 2015 itu sosok Mak Del cukup membuat penasaran. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, ia mengenakan atribut berwarna hijau muda mencolok. Padahal, jika melirik kumisnya yang sudah memutih, pria ini dipastikan tidak lagi muda.
Nyatanya bukan saja dalam warna atribut, pilihan jarak lombanya pun tidak kalah berani. Mak Del mantap menguji fisiknya di kelas full marathon atau berjarak 42,5 kilometer.
"Saya sudah lari dari tahun 1986. Namun, dulu cuma sekadar lomba lari biasa karena belum ada maraton seperti ini. Hampir sebagian besar lomba maraton yang ada di Indonesia saya selalu ikut," tutur Mak Del di Minggu (30/8) pagi buta di depan Bali Safari and Marine Park, Gianyar, Bali itu.
Di tahun keempat ini, Bali Marathon memang masih jadi magnet kuat para pecinta lari Tanah Air. Pesertanya beragam usia, mulai dari muda-mudi hingga yang sudah senior.
Tujuan yang dicari pun beragam. Mak Del misalnya, menjadikan ajang yang diikuti 5.000 pendaftar itu sebagai persiapan untuk ajang maraton yang di Berlin, Jerman, pada jelang akhir September 2015.
Marathon, bahkan ajang lomba jarak jauh yang melibatkan renang dan bersepeda, memang bukan baru baginya. Dengan bangga ia pun mengenang sukses menyelesaikan triatlon di Ancol, Jakarta pada 1989.
Meski begitu, lari jarak jauh memang punya tempat tersendiri di hatinya. "Karena maraton itu tidak semata hanya lari dan sehat, tapi ada juga latihan kesabaran dan disiplin yang kerap orang tidak sadari," sambungnya.
Namun, tanpa lomba maraton, Mak Del tetap rutin berlari. Saban sore, pria ramah ini selalu menyempatkan memacu kaki selama 30 menit. Hasilnya, ia merasa tubuh selalu fit tanpa berdiet.
Kenikmatan bermaraton juga dirasakan Dhiana. Perempuan berusia 40 tahun ini ambil bagian di kelas half marathon yang berjarak 21 km.
Bagi ibu yang menekuni lari sejak lima tahun lalu itu, maraton menjadi cara menguji ketahanan fisik. "Awalnya Mas, saya lari nonstop lima menit juga sudah ngos-ngosan. Lalu secara bertahap, saya mulai merasa ada peningkatan dan bisa 30 menit lari nonstop," ungkap perempuan yang mengaku menyukai lari akibat pengaruh sahabatnya.
Setelah rutin berlari, Dhiana pun mengaku menjadi jarang sakit. Kini Dhiana bahkan bisa mengajak keluarganya untuk antusias mengikuti maraton. Seperti untuk ajang di Bali ini, ia mengaku rombongannya mencapai 20 orang.
Tidak berhenti di Bali, Dhiana bahkan sudah berangan untuk ikut maraton di Tokyo dan London. Rupanya ia juga mulai kesengsem dengan tren maraton dunia yang kini banyak menjangkiti pelari Tanah Air. "Sebuah prestasi dan kebanggaan bisa ikut lomba lari di negara orang," lanjutnya. Sarana eksis Harus diakui, maraton masa kini memang tidak lagi hanya atas nama lari atau kesehatan. Seperti terlihat di Bali Marathon, banyak peserta yang bukan 'khusyuk' berlari, tetapi asyik berfoto di berbagai tempat yang dilalui.
Maka kini perlengkapan wajib bermaraton bukan hanya sepatu dan baju olahraga yang nyaman, tetapi juga gawai untuk mengabadikan diri. Bahkan tidak sedikit yang membawa tongkat selfie.
Ada pula yang menempatkan kamera Go Pro pada topi sehingga merekam dengan jelas dan lengkap berbagai tempat atau keseruan berlari yang dialami.
Beberapa orang mengaku selfie ataupun wefie dilakukan demi mempromosikan olahraga itu sendiri. "Ini merupakan momen dan salah satu cara untuk memperkenalkan bahwa maraton itu asyik, bisa tambah teman dan sehat. Jadi setelah foto ini saya akan unggah di media sosial," ujar Andre, salah satu pelari yang mengambil nomor full marathon.
Lari dan bermaraton di zaman kini memang tidak lagi semata soal kesehatan. Keseruan yang diabadikan di kamera ataupun kebanggaan berlari di berbagai daerah menjadi bumbu yang justru bisa jadi daya tarik utama. (M-3)