SORE itu Darel Rahadian, 7, dan adiknya, Gerald Rahadian, 5, sedang asyik bermain sepeda di sisi timur rumah. Keceriaan mereka seolah 'mengesahkan' bahwa bangunan beton yang kaku itu benar sebuah rumah.
Berdiri di lahan seluas 120 meter persegi, rumah milik Bobby Rahadian itu sekilas memang mirip kantor atau bahkan bangunan fungsional tambahan dari rumah di sebelahnya. Dinding beton menjulang menutupi bagian muka lantai dua dan atap rumah.
Sebagian pagar rumah juga terbuat dari beton dengan detail lubang-lubang. Maka jadilah tampilan depan rumah di kawasan Meruya Selatan, Jakarta, itu kaku dan keras.
Namun, bagi Bobby, dominasi unsur beton tidak jadi soal bagi sebuah hunian. Itu tidak pula menghadirkan kesan monoton.
"Monoton itu karena bukan bangunannya, melainkan kehidupan yang ada di dalamnya," ujar pria berusia 41 tahun itu kepada Media Indonesia di kediamannya, Sabtu (29/8).
Untuk mendukung kehidupan itu pula, area bermain dibuat. Luasnya memang tidak seberapa, hanya 2,5 x 15 meter. Namun, nyatanya selain cukup memadai untuk bermain sepeda, keluarga kecil itu pun bisa punya kolam sebagai rumah kura-kura peliharaan mereka.
Bobby yang bekerja mengelola sebuah majalah arsitektur internasional mengaku terinspirasi oleh rumah Playhouse milik arsitek Ary Indra (Aboday). Ary pula yang digandeng Bobby untuk mewujudkan rumah idamannya.
"Saya ingin memiliki rumah yang membuat anak-anak betah bermain di dalam. Kawasan perumahan ini tidak ideal untuk anak bermain di rumah karena banyak motor berseliweran," jelas Bobby soal rumah yang dibangun dua tahun lalu itu.
Tidak hanya di areal terbuka di sisi timur, anak-anak juga bisa puas bermain di dalam rumah karena ruang-ruang yang tidak bersekat.
Ruang keluarga, ruang tamu, dan ruang makan menyambung tanpa sekat.
"Rumah ini sengaja saya buat terasa luas agar semua bisa beraktivitas bersama," tambah Bobby yang juga kerap mengundang keluarga dan kerabatnya main ke rumah.
Kesan lapang makin kuat dengan atap plafon setinggi 2,7 meter. Di antara ruang makan dan ruang tamu, plafon ditembuskan hingga puncak bangunan setinggi 7 meter dengan celah cahaya sekitar 4,5 meter persegi.
Sinar matahari pagi dan sore yang jatuh di sisi kanan dan kiri rumah lewat bukaan-bukaan besar membuat bayangan tersendiri ke dalam rumah. Hasilnya sungguh unik.
Agar tidak terasa panas, atap rumah tersebut dilapisi dengan material penahan panas. Penggunaan bahan pelapis dan bukaan besar menjadikan lantai bawah tidak lagi membutuhkan pendingin udara.
Hemat listrik Tidak hanya konsisten dengan bentuk kaku, Bobby juga membiarkan warna natural beton. Hampir seluruh bagian rumah tidak dicat, hanya bagian plafon yang dicat putih. Bahkan di dinding terluar dan sisi tangga menuju lantai dua, beton tersebut tidak diperhalus dan menimbulkan nilai estetika tersendiri.
Nyatanya pilihan tersebut membantu pencahayaan alami. Hingga sore hari, bagian dalam rumah tetap terang dengan sinar matahari.
Hal itu berdampak pada konsumsi listrik yang bisa dihemat setengahnya dari pengeluaran pada rumah sebelumnya. "Dulu waktu saya tinggal di Bandengan, Jakarta Utara, listrik bisa habis Rp1,5 juta. Sekarang paling hanya Rp800 ribu karena sampai sore tidak perlu lampu. Selain itu, lampu yang saya gunakan juga LED yang hemat listrik," ungkap Bobby.
Lantai atas kapasitas ruangan dimaksimalkan untuk mengisi tiga buah kamar tidur dan sebuah kamar mandi. Hanya ada lemari buku panjang yang mengisi lorong lantai dua.
Nantinya Bobby berencana menambahkan unsur hijau dengan tanaman-tanaman yang ia letakkan di bagian depan dan tempat bermain anak-anak. "Saya tetap harus menyeimbangkan efek keras yang berasal dari beton dengan tanaman. Untungnya tetangga punya pohon kamboja yang batangnya melintang di depan rumah, jadi tertolong untuk sementara," pungkasnya. (M-3)