Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
PRESIDEN Joko Widodo mengatakan bahwa setiap hari dirinya merasakan bau-bau kolonialisme karena tinggal dan berkantor di istana peninggalan Belanda. Istana yang dimaksud di Bogor serta Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta.
"Istana kita di Jakarta, di Bogor, itu istana bekas kolonial. Itu bekas istana gubernur jenderal Belanda dan sudah kita tempati 79 tahun," kata Jokowi di depan gubernur, wali kota, dan bupati se-Indonesia di Ibu Kota Nusantara belum lama ini.
Pernyataan tersebut menuai berbagai komentar dari lapisan masyarakat. Ada yang menilai itu ekspresi jiwa dan semangat antikolonialisme, tetapi ada yang menganggap pelecehan terhadap simbol keberhasilan perjuangan merebut kemerdekaan.
Baca juga : Refleksi Kemerdekaan
Dalam cerita wayang, pada suatu ketika Prabu Puntadewa pernah bimbang apakah tinggal dan berkantor di istana peninggalan ‘kolonial’ Kurawa atau menjadikannya museum. Itu terjadi seusai Pandawa membebaskan istana dari ‘penjajahan’ Kurawa.
Setelah berembuk dengan saudara serta mendengar saran penasihat dan pamong, Puntadewa berketetapan hati menempatinya. Ini juga sebagai bagian penghormatan terhadap nenek moyang yang telah mewariskan bangunan yang sarat nilai.
Namun, Puntadewa mesti membersihkan ‘bau-bau’ keangkaramurkaan yang subur di setiap sudut ruangan, karena dalam kurun waktu yang lama istana diduduki oleh penguasa ‘tagut’. Tempat berkumpulnya penggembala nafsu tamak dan serakah.
Baca juga : Kebengisan Durga
Di sisi lain, beberapa bagian istana mesti direnovasi. Kurawa sengaja merusak dan menghancurkan istana menjelang akhir Bharatayuda, saat mereka merasakan tanda-tanda kekalahan. Tujuannya agar tiada yang dikukup (dinikmati) Pandawa.
Keputusan sembrono
Baca juga : Membangun ala Pandawa
Alkisah, ‘penjajahan’ Kurawa atas istana Astina diawali ketika mereka berbuat keji jelang penyerahan kekuasaan dari raja ad interim Drestarastra kepada Pandawa. Mereka bermaksud membunuh lima anak mendiang Prabu Pandu Dewanata.
Malam sebelum upacara pergantian kekuasaan, Drestarastra memutuskan Pandawa diinapkan di pesanggrahan Bale Sigalagala. Ayah Kurawa itu tidak tahu bahwa ide Sengkuni tersebut ternyata sebagai jalan menghilangkan nyawa Pandawa.
Drestarastra berkenan menyerahkan takhta kepada Pandawa sesuai dengan wasiat sang adik sebelum mangkat. Pandu menitipkan kekuasaan hingga anak-anaknya dewasa. Berdasarkan konstitusi, Pandawa memang yang berhak atas takhta.
Baca juga : Tanggalkan Gelar
Pada dini hari ketika semua terlelap, Bale Sigalagala disulut begundal Puracona atas perintah Sengkuni. Bangunan yang terbuat dari kayu tersebut berkobar dan dalam waktu sekejap ludes jadi abu.
Kurawa yakin Pandawa dan ibunda, Kunti, yang ikut menginap, mati terlalap api. Peristiwa itu dilaporkan kepada Drestarastra. Tanpa pertimbangan matang, karena hasutan Sengkuni, Drestarastra lalu melantik Duryudana menjadi raja. Penobatan Duryudana tidak dihadiri sesepuh Astina Resi Bhisma karena memang tidak diberi tahu atau diundang.
Beberapa pekan kemudian, Duryudana didampingi patih Sengkuni sowan ke Pertapaan Talkanda mengabarkan suksesi di Astina. Bhisma marah besar karena merasa dilangkahi mengingat ia sejatinya ahli waris takhta Astina. Tapi, gejolak hatinya mampu diredam dalam-dalam. Kesabarannya yang membawa keweningan berpikir sehingga arif dalam menghadapi masalah.
Duryudana memintakan maaf bapaknya yang tidak mengundang Bhisma ketika melantik dirinya. Sengkuni menambahi bahwa sesungguhnya Drestarastra tidak sengaja alias alpa mengundang.
Bhisma berpura-pura tidak mengerti, tetapi tahu semua yang terjadi di Astina dan yang menimpa Pandawa. Ia mengatakan bahwa keputusan Drestarastra dalam suksesi itu sembrono karena tidak dilandasi kawicaksanaan (kebijaksanaan).
Pandawa dan Kunti, ungkap Bhisma, selamat dari pembakaran dan hidup dalam pengasingan. Namun, berdasarkan angger-angger (hukum), keputusan raja tidak bisa diubah. Ia menyesalkan Kurawa yang tega menjahati sepupunya sendiri.
Atas prakarsanya, Pandawa yang tidak ingin kembali ke Astina akibat perilaku Kurawa, diberi wilayah bagian Astina untuk didirikan tempat tinggal. Harapannya bisa membangun istana sebangun dengan istana Astina. Pandawa dengan berswasembada membangun istana di tempat yang semula berupa belantara Wanamarta. Berkat bantuan Bathara Indra, di tempat tersebut kemudian menjelma menjadi negara Amarta yang beribu kota Indraprastha.
Bersih dari ketamakan
Selama menguasai Astina, rezim Kurawa tamak dan rakus. Mereka kehilangan jati diri sebagai trah (berdarah) Abiyasa. Perilakunya tak sedikit pun ‘nyambung’ dengan kebesaran kakek yang kondang sebagai ‘titah mustikaning jagat’.
Tidak ada asa melestarikan serta memuliakan istana sebagai pusat pemerintahan agung. Sebaliknya, malah dijadikan tempat pesta dan foya-foya serta merancang upaya jahat, pelenyapan Pandawa dari muka bumi yang tidak pernah berhasil.
Bagi rezim Kurawa, eksistensi Pandawa ancaman bagi dinasti Duryudana. Untuk itu, berapa pun besarnya anggaran untuk membunuh klilip (pengganggu)-nya itu tidak masalah. Berulang kali Kurawa menyewa ‘agen agen’ asing, tapi selalu gagal.
Dalam siasatnya, Kurawa juga ingin mencaplok Indraprastha. Lewat cara culas yang diarsiteki Sengkuni, Duryudana sukses menggenggam istana Amarta. Pun berhasil mengusir Pandawa ke Hutan Kamyaka dengan harapan mati konyol.
Akhirnya, kodrat mengharuskan Pandawa mesti berperang melawan Kurawa di medan Kurusetra. Singkat cerita Kurawa sirna. Pandawa membebaskan Astina dan Amarta dari penguasaan Duryudana dan antek-anteknya.
Namun, Prabu Puntadewa, raja Amarta sekaligus ahli waris takhta Astina, ragu untuk menempati istana Astina, rumah kelahiran dan masa kanak-kanaknya. Menurutnya, Astina kotor dengan nafsu keserakahan dan ketamakan.
Pandawa lalu melakukan ritual pembersihan serta renovasi istana pada bagian yang rusak. Nama istana pun diubah menjadi Yawastina. Di sanalah Puntadewa memerintah negara peleburan antara Astina dan Amarta bergelar Prabu Kalimataya. (M-3)
PREMANISME kembali menggila. Berkedok sebagai ormas, tapi sepak terjang mereka bak garong yang garang melawan hukum.
ADA kata-kata bijak, ‘pemimpin itu juga guru’. Maknanya, pemimpin semestinya juga berjiwa pendidik karena ucapan, sikap, dan perilakunya harus bisa menjadi contoh.
Wayang kulit adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Seni tradisional ini bukan hanya hiburan semata, tetapi juga memiliki nilai filosofi dan sejarah mendalam
Keduanya memiliki nilai budaya yang tinggi, namun cara penyampaian cerita dan visualisasinya sangat berbeda, mencerminkan keragaman dalam tradisi wayang di Indonesia.
Di antara banyak tokoh pewayangan, Semar menempati posisi istimewa sebagai sosok yang penuh misteri namun kaya akan kebijaksanaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved