Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Banjir Darah di Kurusetra

Ardi Teristi Hardi
18/9/2016 00:45
Banjir Darah di Kurusetra
(DOK. POSTER MAHABHARATA PART 3)

KESEDIHAN Destarasta tak terbendung. Pada hari ke-10, putra-putranya telah bertumbangan tak bernyawa di Kurusetra. Mereka tewas dalam perang Baratayuda, perang saudara antara Pandawa dengan Kurawa.

Kesedihan yang dirasakan Destarasta semakin dalam karena dia telah mengetahui akhir dari perang Baratayuda tersebut. Destarasta telah tahu, satu per satu anaknya akan mati dalam perang tersebut, termasuk putra tertuanya, Duryudana. Namun, Raja Hastinapura itu tidak dapat menghentikan petaka yang akan terjadi. "Sanjaya, di mana kau Sanjaya? Makin hari aku makin tak tahan lagi. Apakah ada cara untuk menyelamatkan mereka?" tanya Destarata dengan berlinang air mata. Sanjaya ialah keponakannya yang mampu mengetahui masa depan, yang selama ini mendampinginya. Lewat Sanjaya pula Destarasta mengetahui akhir dari Baratayuda.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pertempuran telah memasuki hari ke-10. Destarata tidak dapat berbuat apa-apa karena Duryudana tetap pada keputusannya untuk terus berperang melawan Pandawa. Duryudana yakin kemenangan akan berada di pihaknya. Keserakahan telah menutup mata hatinya. Duryudana berkukuh Pandawa tidak berhak mendapat sedikit pun tanah Hastinapura. "Mereka tidak berhak mendapatkan lima desa. Aku tak akan memberi mereka tanah secuil kuku pun," kata Duryudana dengan angkuhnya.

Demikian sekelumit cerita dari Mahabharata Part 3 yang menjadi kerja internasional pan-Asia oleh Hiroshi Koike Bridge Project (Tokyo, Jepang) dengan Direktur Artistik Hiroshi Koike. Sebelum itu ditampilkan di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta (24 dan 25 September) dan Dewan Kesenian Jakarta (28/29 September), Hiroshi sengaja mengundang awak media untuk melihat secara utuh pertunjukan Mahabarata Part 3 di Pendapa Art Space, Bantul, Selasa (13/9).

Proyek yang akan berdurasi delapan tahun ini telah dimulai sejak 2013. Mahabharata bagian pertama telah dipentaskan di Kamboja, Mahabharata bagian kedua dipentaskan di India, dan Mahabarata bagian 2,5 dipentaskan di Jepang. Rencananya bagian pamungkas dari sekuel Mahabharata akan dipentaskan pada 2018, bertepatan dengan pelaksanaan Olimpiade di Tokyo.

Destarasta
Bagian ketiga ini diberi judul Kurusetra War. Cerita berkisah tentang kekalahan Pandawa dalam Judi melawan Kurawa, masa pembuangan, hingga masa awal perang Mahabharata, hingga Bisma tumbang karena panah Arjuna. Ia menyebut, walau menampilkan banyak adegan dengan banyak lakon, fokus Mahabarata bagian ketiga ini terletak pada sosok Destarasta. Sosok Destarasta dinilai sebagai sosok vital. Sebagai seorang raja, seharusnya dia bisa bertindak tegas dan mencegah agar perang saudara tidak terjadi.

"Ya, di situlah fokusnya (saat Destarasta dikelilingi kera-kera yang liar dan sebilah anak panah besar mengarah padanya)," kata dia. Adegan tersebut ditampilkan sebanyak dua kali, yaitu di bagian awal dan akhir pertunjukan. Anak panah bisa saja dimaknai sebagai tudingan yang menyudutkan Destarasta. Destarastalah yang seharusnya bertanggung jawab atas perang Baratayuda yang terjadi. Sosok-sosok kera liar yang mengelilinginya sebagai perwujudan hawa nafsu kebinatangan yang tidak terkendalikan.

Sekira 1 jam 55 menit durasi pentas Mahabarata bagian III: Kurusetra War malam itu. Selama itu pula, para aktor tidak henti-hentinya bergerak dengan mengombinasikan gerak tari tradisional dan olah tubuh yang lentur dengan harmonis. Mereka juga menyampaikan dialog mereka dalam bahasa ibu masing-masing, paling tidak lima bahasa.

Nilai Humanis
Bagi Hiroshi, cerita Mahabharata sangat menarik dipentaskan. Banyak nilai dalam cerita yang ditulis Begawan Byasa itu masih sangat relevan dengan yang terjadi saat ini. Contohnya, pertengkaran dalam sebuah keluarga, perusahaan, atau dengan lingkungan sekitar sampai saat ini juga masih sering terjadi. Tak jarang, pertikaian tersebut mengakibatkan pertumpahan darah. "Ini tidak soal sudut pandang yang benar atau salah, tetapi soal nilai-nilai humanis di dalamnya," kata dia.

Ia mengatakan, proyek antarbudaya Mahabharata ini bermaksud menemukan cara pandang yang segar atas masa lalu. Pada saat yang sama, Mahabharata ingin menemukan kembali apa yang sedang dibagi kebudayaan-kebudayaan tersebut satu sama lain dan secara komprehensif menciptakan kisah tentang manusia, bukan kisah Dewa-dewa. Mahabharata telah mampu hidup dan dimaknai di banyak negara, tidak hanya di India, tetapi hingga Indonesia. Walau ada beberapa perbedaan, kata dia, tetap saja masih banyak kesamaan dan benang merah yang jelas dalam cerita Mahabharata.

Sebanyak lima orang aktor/penari asal Indonesia turut terlibat dalam proses yang dimulai sejak 4 Agustus tersebut. Selain mereka, ada dua aktor asal Jepang, satu aktor asal Malaysia, dan satu aktor asal Filipina. "Proyek ini juga ingin menunjukkan, dari perbedaan-perbedaan yang ada dapat dipertemukan dalam harmonisasi," kata dia.

Hiroshi Koike mampu menciptakan teater dengan mempertentangkan tarian konvensional dan teater tubuh. Ia mampu membawa gerakan tubuh manusia yang paling dasar dan esensial ke atas panggung melalui kekuatan imajinasi yang tercipta dari tubuh-tubuh dengan latar belakang disiplin dan kebudayaan yang berbeda. Ia mengibaratkan, proses kreatif dalam pertunjukan Mahabharata seperti membuat salat. Masing-masing bahan memiliki rasa yang berbeda, tetapi dapat menjadi sesuatu yang harmonis ketika dijadikan satu dalam salad. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya