Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KETUA Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Lubuklinggau, Sumatra Selatan Yetti Oktarina, dikutip Senin (16/10), menceritakan kisah dan asal-usul Batik Durian yang menjadi ciri khas daerahnya.
Seperti namanya, kain Batik itu bermotif buah durian, yang kini menjadi ciri khas kota paling barat dari provinsi Sumatra Selatan, Lubuklinggau.
"Lubuklinggau memiliki salah satu durian yang paling enak, kalau tidak percaya, datang langsung ke mari," ujar Yetti sembari tertawa kecil.
Baca juga : Ini Cara Eni Joe Gaungkan Komitmen Cinta Budaya Tanah Air
Raja Buah itu, cukup banyak digemari masyarakat lokal Sumatra. Bentuknya yang unik rupanya menarik perhatian besar ketika dituangkan menjadi motif Batik. Bahkan, Batik Durian Lubuklinggau kini telah dikenal hingga pecinta fesyen dunia.
Ide itu, muncul satu dekade lalu, tepatnya pada 2013, ketika Yetti, istri Wali Kota Lubuklinggau periode 2013-2018 dan 2018-2023 Prana Putra Sohe itu, tengah mencari suatu ciri khas yang bisa dijadikan ikon kota itu.
"Ini muncul karena Lubuklinggau sebelumnya tidak punya ciri khas khusus, sementara, menurut saya, sebuah kota atau kabupaten harus punya ciri khas yang menjadi kebanggaan, atau sesuatu yang akan dicari orang ketika datang ke tempat kita," ungkap Yetti.
Baca juga : Indonesia Now Siapkan Diri Tampil pada Ajang New York Fashion Week 2024
Yetti menjelaskan, Kota Lubuklinggau dikenal dengan sebutan Kota Transit karena berada persis di persimpangan jalan lintas tengah Sumatra. Dalam perkembangannya, jasa adalah salah satu sektor penyokong ekonomi terbesar kota itu.
Alasan itulah, yang menurut Yetti, membuat Lubuklinggau tidak memiliki sesuatu yang dapat menjadi ciri khas. Ia pun akhirnya berinovasi dengan menggunakan durian sebagai motif andalan wastra dari Lubuklinggau.
"Saya tidak mau terperangkap pada yang namanya filosofi khusus, karena saya pikir Lubuklinggau adalah kota baru, kota yang baru dibekalkan, jadi, kain kita pun bisa jadi kain yang baru, tanpa harus terjebak dengan filosofi khusus," kata dia.
Baca juga : Sinopsis Film OOTD (Outfit Of The Designer), Film Pertama Bertema Fesyen
"Jadi memang saya bebaskan desainnya seperti itu, dibantu beberapa pengrajin dari Pekalongan pada awalnya," tambah Yetti.
Tahun demi tahun berlalu, dari yang awalnya tidak ada sama sekali pengrajin wastra di sana, kini sudah lebih dari 350 pengrajin lokal yang terdiri atas kebanyakan ibu rumah tangga, menuangkan kreasi pada Batik Durian Lubuklinggau. Saat ini, kreasi motif durian pada batik tersebut telah tercipta ratusan desain.
Meski baru berumur 10 tahun, batik yang sarat dengan warna-warna cerah itu cukup banyak digemari berbagai kalangan, kepopulerannya pun melesat begitu cepat hingga taraf dunia.
Baca juga : Jihane Almira Ambil Peran di Film OOTD karena Nasionalismenya pada Batik
Batik Durian Lubuklinggau berhasil menebarkan pesonanya di Milan Fashion Week 2021 dan 2022 di Milan, Italia.
Di ajang fesyen bergengsi dunia itu, jenama busana lokal, JYK, memanfaatkan batik durian untuk dijadikan koleksi bertema Revolutionary Hope bergaya punk untuk menjamah pasar generasi muda.
"Sejak selesai Milan Fashion Week, pesanan melonjak hingga lebih dari 1.500 lembar, tidak hanya orang Indonesia, tapi juga masyarakat dunia menyukainya," pungkas Yetti. (Ant/Z-1)
Bangunan ini telah bertransformasi menjadi banyak tempat di antaranya tempat tinggal dokter gigi pertama Indonesia dan sekarang hadir sebagai restoran Bunga Rampai
Melalui program Desa BRILiaN, BRI mendukung pengembangan UMKM Batik Parang Kaliurang di Sleman.
Motif Wakaroros bukan sekadar corak estetis. Ia adalah narasi visual masyarakat Dayak Basap, suku adat yang hidup berdampingan dengan rimba Karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Dengan tagline produk “When Art Meets Performance”, laptop ini tidak hanya unggul secara teknologi tetapi juga membawa identitas budaya dalam perangkat modern.
Di tengah derasnya arus modernisasi dan gempuran teknik percetakan dalam industri batik, Aisha Nadia tetap teguh menjaga warisan budaya batik tulis tradisional.
Karya-karya terpilih dari proyek ini bahkan akan ditampilkan dalam catwalk show.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved