Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SECARA umum, masyarakat Jawa mengenal tradisi sadran sebagai satu laku ritual dengan menziarahi tempat yang dikeramatkan, misalnya makam. Begitu menurut Timothy Daniels dalam Islamic Spectrum in Java (2009). Punden yang dipercaya menjadi cikal bakal desa oleh masyarakat tempatan dijadikan sebagai titik temu para peziarah. Sadran menjadi praktik budaya kolektif yang masih dijadikan leluri oleh masyarakat Jawa.
Tidak hanya dikenal sebagai sadran, tradisi ini juga mempunyai beragam nama dengan ritual serupa. Di Bojonegoro dan Nganjuk, misalnya, sadran dikenal sebagai sedekah bumi. Masyarakat Banyumas menyebutnya dengan jaro rajab ritual. Masyarakat Wonosobo lebih sering mengenalnya sebagai tenongan.
Bagi masyarakat Dusun Pagerotan di Kabupaten Wonosobo, ada hal yang tak kalah penting di samping upaya mencari penghidupan, yakni melakukan refl eksi terhadap perputaran kehidupan yang telah berlangsung sejak lama. Di sana, tradisi sadran atau tenongan, sebuah upacara peringatan yang ditujukan bagi nenek moyang, masih sintas. Sekaligus perjamuan sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat kehidupan dari Yang Mahakuasa. Meski diterpa godaan pragmatisme dan modernitas, sadran masih teguh berjalan sesuai wasiat dari leluhur masyarakat Pagerotan.
Kembali ke Sikramat
Bagi masyarakat Wonosobo, warga Pagerotan boleh saja disebut sebagai wong gunung atau ‘orang gunung’. Dusun itu memang terletak di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl di lereng tenggara Gunung Sindoro. Kendati demikian, desa ini tidak terlalu jauh dari pusat Kecamatan Kertek sehingga hiruk pikuk keseharian khas pusat kota juga berimbas pada kehidupan mereka. Bagi mayoritas masyarakat Pagerotan yang hidup dari pertanian, Pasar Kertek, sejak masa lampau, telah menjadi tempat pertukaran hasil bumi dengan sumber penghidupan sehari-hari.
Arus mobilitas semacam ini tak banyak berubah hingga kini. Telah menjadi satu habitus, dimulai sejak pagi buta, para kadang tani Pagerotan akan bersiap dengan muatan hasil bumi. Berangkat ke pasar menjelang terbit matahari. Di perjalanan, mereka akan melintasi rimbun pohon beringin yang menjadi batas selatan dusun, tepatnya di Makam Sikramat. Kanopi dedaunan menjuntai dari area makam, memayungi jalan yang menjadi akses dusun. Di sinilah lahir sebuah kepercayaan. Dari daun beringin yang berguguran, siapa pun yang memungut dan menyimpannya barang sehelai akan mendapat per lin dungan dari Yang Mahakuasa di sepanjang perjalanan.
Seolah-olah daun itu adalah tiket yang dapat membawa mereka berangkat dan pulang dengan selamat. Ikatan batin masyarakat Pagerotan dengan kompleks Sikramat rupanya lebih dari kepercayaan tentang tuah daun beringin. Di tengah kompleks ini berdiri sebuah bangunan cungkup.
Di dalamnya terdapat sebuah makam bertuliskan nama Kiai Sunan Puger. Menurut warga, ia seorang bangsawan Mataram yang menyingkir ke lereng Gunung Sindoro aki bat konfl ik di keraton. Kiai Sunan Puger ini dipercaya oleh masyarakat Pagerotan sebagai sosok yang pertama kali ‘mbubak’ atau membuka permukiman sekaligus menanam benih kemasyarakatan di kawasan Pagerotan. Bagi mereka, sejarah Pagerotan berangkat dari kompleks Sikramat. Karena itu, mereka wajib meluangkan waktu sejenak untuk pulang ke Sikramat, mengenang jasa leluhur dan juga merayakan kehidupan yang telah berkembang sejauh ini di Pagerotan. Salah satunya melalui ziarah kubur secara berkala atau sadran.
Sadranan rong lapanan
Berbeda dari sadran yang pada umumnya merupakan ritual anual tiap bulan Ruwah, sadran di Makam Sikramat ini dilaksanakan setiap rong lapanan atau ‘dua selapan’, yakni saat hari Jumat bertemu dengan pasaran Kliwon. Siklus selapan sendiri menandai bertemunya hari tertentu dengan pasaran tertentu yang jatuh setiap 35 hari sekali. Oleh karena sadran di Makam Sikramat berlangsung pada Jumat Kliwon dan libur pada Jumat Kliwon berikutnya, jadwal sadran di sini dikatakan sebagai dua selapan atau tujuh puluh hari sekali. Dalam satu tahun Kamariah setidaknya terdapat sepuluh hari Jumat Kliwon. Jadi, dalam satu tahun, masyarakat Pagerotan dapat mengadakan hingga lima kali sadran.
Sadran di Pagerotan disebut juga sebagai laku Sikramat. Namun, tidak sedikit pula yang mengenalnya sebagai tenongan, merujuk pada wadah makanan dan sesajen yang dibuat dari anyaman bambu. Ritual ini dimulai sejak fajar. Saban dapur mulai mempersiapkan tenong berisi makanan untuk dibawa ke makam. Makanan terdiri atas tiga menu wajib berupa empat sega golong, serundeng kelapa, dan olahan udang.
Dilengkapi juga dengan beberapa menu tambahan, seperti olahan telur, tahu dan tempe, sayuran, serta kerupuk. Tiga menu wajib itu merupakan wasiat dari Kiai Sunan Puger. Hal itu juga menjadi ciri khas yang membedakannya dengan tenongan di tempat lain.
Selanjutnya, senyampang makanan diolah, beberapa perwakilan warga akan menengok cungkup Sikramat untuk membersihkan makam dan mempersiapkan lokasi sadran. Saat matahari telah naik sepenggalah, masyarakat mulai berkumpul di pelataran masjid sambil bersiap untuk mengikuti prosesi selanjutnya.
Setelah bersih-bersih makam selesai, barulah arak-arakan dimulai. Mereka menyunggi tenong menuju Sikramat. Arak-arakan ini akan makin
ramai tatkala memasuki bulan Ruwah, mengingat tradisi sadran lazim dilakukan pada bulan delapan penanggalan Kamariah ini. Atau, pada bulan Sura, manakala desa-desa lain menyelenggarakan merti dusun.
Sesampainya di Sikramat, warga segera berkumpul di pelataran cungkup. Duduk bersila bernaung tarup. Tiap keluarga berkumpul mengitari tenong masing-masing. Pada saat itu, pintu cungkup dibuka. Satu per satu sesepuh desa melangkah masuk dan duduk di sekeliling pusara.
Terlihat sisa kemenyan lama yang menggunung, ditambah, dan dikobarkan kembali. Asapnya berbaur dengan ha rum kembang setaman yang berisi mawar merah dan putih, kenanga, melati, serta kantil. Disertai pula dengan lantunan doa dari kaum atau lebai desa.
Bersamaan dengan pengiriman doa Fatihah untuk para leluhur, sadran dimulai. Tak lama, para sesepuh pun keluar dan bergabung duduk bersama masyarakat. Pemerintah desa membacakan sambutan secara bergantian. Kaum kembali memimpin doa. Kali ini, doa bukan ditujukan bagi para leluhur, melainkan untuk kemaslahatan seluruh masyarakat Pagerotan. Tidak lupa, doa agar makanan dalam tenong membawa keberkahan
bagi semua yang menyantap. Kini, tiba saatnya kembul bujana. Para warga dengan antusias menyerbu makanan yang telah tersaji. Kerap kali antarkeluarga bertukar menu andalan.
Membaca isi tenong
Sega golong merupakan istilah Jawa untuk nasi yang dipadatkan hingga berbentuk bulat. Nasi itu menjadi simbol bagi golonging tékad atau bersatunya kehendak masyarakat. Khusus untuk laku Sikramat, sega golong harus berjumlah empat, mewakili keseimbangan di antara empat jenis nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah.
Jika dipadukan dengan kelengkapan lauknya, genaplah sajian dalam tenong sesuai dengan konsep sadulur papat kalima pancer. Menu selanjutnya tak kalah menarik. Sebab, menurut penuturan warga, kelapa merupakan tumbuhan yang tidak lazim dijumpai di kawasan pegunungan seperti Pagerotan. Lantas, mengapa serundeng kelapa wajib disertakan dalam setiap tenong? Mereka mempunyai penjelasan tersendiri tentang hal ini.
Konon, serundeng merupakan makanan keraton yang menjadi klangenan Kiai Sunan Puger. Saat ia berhijrah dari keraton, makanan itu turut dibawa dan diadopsi dalam berbagai perayaan di Pagerotan. Menu serundeng juga termasuk khazanah kuliner Jawa yang banyak disebut dalam Serat Centhini yang disusun pada abad ke-19, lengkap dengan beragam varian.
Makanan wajib yang terakhir ialah udang. Dahulu, masyarakat Pagerotan sering memanfaatkan udang-udang kecil yang berkembang biak di sungai kecil dekat Sikramat, yakni Kali Code.
Namun, ekosistem kian berubah. Udang sungai makin jarang dijumpai sehingga masyarakat beralih ke udang laut yang banyak dijual di pasar. Perihal makna udang, bagi Samsul, perwakilan pemuda Pagerotan, udang seolah menjadi pengingat agar manusia selalu melangkah maju, tidak boleh mundur layaknya udang berjalan.
Istilah sadran sendiri diperkirakan berakar dari upacara Hindu, yakni śrāddha, sebuah warisan dari masa pra-Islam. Begitu menurut Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007). Sebagai satu ritual, makna śrāddha ataupun sadran tidak terlalu jauh berbeda, yakni mengirim persembahan ke arwah leluhur. Lalu, jika menengok sejarahnya, tradisi srāddha di India mengenal makanan bernama piṇḍa pradhanam, berupa bulatan nasi yang dibumbui dengan minyak samin dan biji wijen. Fungsinya sebagai persembahan kepada arwah leluhur. Secara fi sik, piṇḍa pradhanam memang memiliki kemiripan dengan sega golong dalam sadran.
Hanya saja, setelah Islam masuk ke Nusantara, fungsi bulatan nasi ikut berubah. Dari persembahan kepada leluhur menjadi menu kenduri yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Bagaimana pun perubahan itu terjadi, tujuannya tetaplah satu: tetap bergerak tanpa melupakan asal muasal. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved