Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
Film-film remaja SMA yang dibalut dengan geng motor, memang menemukan momentumnya sejak waralaba Dilan (2018) meledak di layar bioskop. Pada tahun ini, film dengan tipikal serupa kembali hadir, Balada Si Roy, karya sutradara Fajar Nugros, adaptasi dari novel karya Gol A Gong berjudul sama.
Fajar menggandeng Salman Aristo sebagai penulis skenarionya. Balada Si Roy mengikuti dinamika Roy (Abidzar Al Ghifari), siswa SMA yang pindah dari Bandung dan menetap di Serang, Banten, bersama ibunya (Lulu Tobing) yang berprofesi sebagai tukang jahit.
Sejak pertama masuk sekolah barunya, Roy sudah menyita perhatian. Tampil dengan rambut gondrong, jaket jins, sepeda, dan anjingnya yang ikut ke sekolah. Roy, digambarkan sebagai sosok siswa yang mampu memikat perhatian para siswi, bahkan seniornya, Ani (Febby Rastanty).
Roy juga kemudian segera menemukan karibnya, Andi (Jourdy Pranata) dan Toni (Omar Esteghlal). Tapi, kehadiran Roy yang kharismatik itu mengganggu Dullah (Bio One), seniornya yang merupakan anak pejabat penting di Serang. Film kemudian mengikuti seteru antara Roy dan Dullah. Mulai dari berebut pujaan hati hingga balapan motor.
Film dengan durasi 109 menit ini, terasa cukup panjang meski dengan tempo medium. Tampaknya yang membuat Balada Si Roy demikian adalah pemilihan pembabakan penceritaan yang semua topik dimasukkan ke dalam film. Memang, di satu sisi ini memperkaya gagasan terkait pencarian jati diri Roy sebagai remaja yang melewati berbagai peristiwa personal, baik di dalam keluarga maupun peristiwa yang melibatkan lingkungan sosialnya. Tapi, ini sekaligus juga menjadikan film tidak memiliki kedudukan fokus yang solid.
Dengan perpindahan konflik yang begitu ekstrem, membuat Balada Si Roy terasa seperti jahitan dari fragmen-fragmen. Ini juga kemudian cukup sulit untuk menemukan titik empati pada karakter-karakternya. Akan lebih efektif, jika sutradara dan penulis memilih bagian dari novel mana yang akan menjadi bangunan utama dalam film.
Memang, Salman Aristo menyatakan ia ingin memilih kesetiaan (fidelity) terlebih dulu dalam proses adaptasi ini, karena ia, dan juga Fajar, adalah fans dari karya Gol A Gong tersebut. Namun, kesetiaan itu yang justru membelenggu potensi-potensi yang lebih bisa dikembangkan.
Misalnya saja soal pilihan latar waktu. Jika saja Salman dan Fajar lebih berani, mungkin dunia Roy bisa diadaptasi dalam dunia yang lebih kini, dengan pemahaman-pemahaman nilai-nilai yang diyakini di masa kini juga. Namun, kalau pun tetap memilih pada latar seperti pada karya asli, artinya juga pertimbangan-pertimbangan teknis seperti desain produksi perlu dimatangkan. Salah satu yang juga mungkin mengganjal Balada Si Roy adalah sisi desain produksi yang kurang meyakinkan dalam menggambarkan Serang era 80-an. Terlihat di beberapa bagian, ada ‘bocor’ mobil keluaran baru yang menjadi latar fokus gambar utama.
Selain fragmentasi konflik, Fajar juga mencoba ‘cross-genre’ dengan memasukkan laga dan horor di antara drama. Sayangnya ini juga jadi terasa kurang optimal dengan fokus yang berpindah-pindah.
Namun, satu hal yang cukup apik di film ini, semangat Roy sebagai jiwa muda yang memberontak khas remaja, tersampaikan. Abidzar mampu mengisi karakterisasi Roy dengan baik. Idealismenya dalam memandang hal-hal yang koruptif dan praktik feodalisme juga disampaikan dengan cara pandang ideal remaja. Ini yang menjadikan Balada Si Roy adalah film remaja (coming of age). Transformasinya dalam menyikapi berbagai persoalan, juga ditebalkan dari pemeranannya serta adegan-adegan yang disusun dalam gambar.(M-3)
Dunia industri, dunia kerja, dan lembaga mitra terkait digandeng dalam skema insentif matching fund.
CCTV Wireless Network Camera yang menggunakan internet, kemudian menjadi wire-free security camera yaitu CCTV tanpa kabel.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved