Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Narik Tual, Pengetahuan Lokal, dan Identitas Komunal

Fatmawati Adnan dan Afrizal Cik
18/12/2022 05:30
Narik Tual, Pengetahuan Lokal, dan Identitas Komunal
Merakit tual sagu.(DOK AFRIZAL CIK)

Narik tual atau nunda tual bermakna pekerjaan menarik atau menunda tual (potongan batang) sagu yang dirakit dengan tali, rotan, atau lainnya menggunakan sampan, kapal, atau kendaraan air lainnya. Aktivitas itu telah menjadi tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi, dari masa ke masa, di Kepulauan Meranti, Riau.

Pada dasarnya, pekerjaan tersebut dapat dikatakan sebagai ekspresi kebudayaan yang telah menjadi kebiasaan hidup yang dilakukan masyarakat sejak lama.

Kegiatan itu mampu bertahan pada setiap masa meskipun mengalami perubahan-perubahan. Ia bukan sekadar pekerjaan yang menjadi mata pencaharian, melainkan ialah tradisi yang berkaitan dengan sistem pengetahuan yang meliputi kearifan, pengetahuan, dan kecerdasan lokal. Tradisi narik tual lahir dan tumbuh berdasarkan pengalaman dan kehidupan masyarakat yang disepakati serta dimiliki secara bersama.

Kepulauan Meranti merupakan kabupaten termuda di Provinsi Riau dari pemekaran Kabupaten Bengkalis. Secara geografis, Kepulauan Meranti terletak di pesisir timur Pulau Sumatra yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Kepulauan ini termasuk salah satu kawasan pengembangan ketahanan pangan nasional karena menjadi penghasil sagu terbesar di Indonesia selain Papua dan Maluku. Luas area tanaman sagu di Kepulauan Meranti sekitar 53.494 hektare. Sagu bagi masyarakat setempat tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga menyusup ke ranah sosial dan budaya. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dalam dunia persaguan merupakan bagian dari siklus kehidupan masyarakat Kepulauan Meranti.

 

Legenda dan sejarah

Narik tual yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Meranti tak lepas dari cerita rakyat yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Zaman ketika kekuatan gaib menjadi 'senjata' mandraguna yang dapat mengubah sesuatu. Cerita rakyat itu berkisah tentang Putri Rumbia yang diculik dan dibawa ke hutan oleh para perampok. Putri Rumbia yang mengetahui dirinya akan digagahi berdoa kepada Tuhan agar dirinya diubah menjadi pohon. Doa itu dikabulkan seketika tubuhnya yang diletakkan para perampok dengan kedua kaki di dalam lubang sebatas betis berubah menjadi pohon. Para perampok pun lari pontang-panting.

Beberapa waktu kemudian, baginda raja ayahanda Putri Rumbia sampai ke tengah hutan untuk mencari putrinya. Dia berhenti di bawah pohon kayu yang merupakan jelmaan putrinya. Putri Rumbia lalu memberi tahu ayahnya dan berpesan. Pesan pertama, siapa yang merawat dirinya, hartanya akan berlimpah ruah. Pesan kedua, jangan ada yang memikul pohon rumbia karena mereka akan jatuh sakit. Sumpah itu diucapkan Putri Rumbia karena ia merasa kesakitan ketika dipikul para perampok.

Dari cerita atau mitos itu, muncullah keyakinan masyarakat bahwa batang sagu berasal dari seorang putri raja. Mereka berkeyakinan bahwa sangat berpantang memikul pohon sagu walaupun dalam bentuk tual yang sudah dipotong. Dalam kepercayaan mereka, orang yang memikul tual sagu akan sakit sekujur tubuhnya. Konon, inilah penyebab orang yang membawa pohon rumbia atau pohon sagu dengan menggolek (menggelindingkan) di tanah. Setelah sampai di sungai, barulah diikat menjadi rakit tual sagu lalu ditarik menggunakan sampan atau kapal. Inilah asal mula dimulainya pekerjaan narik tual.

Pada awal munculnya pekerjaan narik tual sagu, alat transportasi yang digunakan ialah sampan, sedangkan pengikatnya menggunakan rotan. Sekarang alat transportasi yang digunakan kapal motor dengan tali sebagai pengikatnya.

 

Pengetahuan lokal

Narik tual dilakukan untuk membawa tual sagu dari kebun ke pabrik sagu yang disebut bangsal. Jumlah bangsal sagu tidak seimbang dengan luasnya hutan sagu di Kepulauan Meranti. Kondisi itulah yang melahirkan pekerjaan narik tual yang mengangkut sagu melalui jalur air (sungai dan selat).

Mengapa masyarakat menggunakan jalur transportasi air? Berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh dan pekerja narik tual, diperoleh penjelasan yang sarat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Ternyata penarikan tual sagu di air tidak semata-mata karena kondisi eksistensi pada masa itu yang belum memiliki jalur transportasi darat yang memadai. Alasan sebenarnya menarik tual sagu menggunakan rakit lantaran jumlah tual sagu yang dapat dibawa lebih banyak (mencapai ribuan tual) jika dibandingkan dengan memasukkannya ke dalam perahu, sampan, atau gerobak yang memiliki keterbatasan kapasitas muatan.

Selain itu, dengan ditarik atau ditunda menggunakan kapal, dapat menjamin kualitas pati dalam tual sagu. Tual sagu yang berada di dalam air tidak mengalami penyusutan kandungan patinya, sedangkan jika berada di atas darat, pati sagunya akan menyusut disebabkan panas matahari. Alasan lainnya, dengan ditarik menggunakan rakit, dapat menyelamatkan dari masuknya ulat-ulat pemakan sagu yang biasanya masuk melalui bagian tual sagu yang tidak tertutup kulitnya. Kalau berada di air, ulat-ulat ini tidak bisa masuk sehingga sagu tidak cepat membusuk.

Selain itu, cara tersebut dapat meringkas pekerjaan sebab menarik tual sagu langsung meletakkannya di tepi sungai yang berada di sekitar bangsal sagu. Sagu disimpan di sungai dalam masa menunggu untuk diolah. Alasan lainnya dengan menyimpan tual sagu di air, baik di sungai maupun laut, ialah supaya tidak dimakan kera, babi, atau binatang lain. Mengingat masa tunggu mengolah tual sagu kadang-kadang relatif lama.

Sejumlah alasan itu menunjukkan kecerdasan lokal atau pengetahuan tradisional yang bertolak dari pengalaman masyarakat dalam berinteraksi dengan alam. Sampai saat ini, narik tual di sungai dan laut masih dilakukan. Selain karena kelima alasan itu, sepertinya juga disebabkan belum ditemukannya cara yang lebih efektif dan efisien untuk membawa tual sagu ke bangsal pengolahannya.

 

Proses

Adapun rincian dari setiap pekerjaan yang dilakukan dalam proses narik tual sebagai berikut. Pertama, menebang. Kemudian memumpung, yaitu membersihkan pohon sagu dari pelepah, duri-duri, dan tumbuhan yang menjalar di batang. Setelah itu, membuat hidung, yaitu membuat lubang pada pohon sagu yang telah ditebang yang gunanya sebagai tempat memasukkan tali atau rotan ketika merakit tual sagu. Langkah berikutnya ialah menual, yaitu memotong tual sagu menjadi potongan yang lebih pendek. Setiap tual panjangnya sekitar 40 inci.

Setelah dipotong, lalu membuat jalan, yaitu menyusun pelepah daun sagu untuk dijadikan rel ketika menggolek tual sagu menuju tempat merakitnya. Kemudian dilanjutkan dengan menggolek, yaitu membawa tual sagu dari tempat penebangan ke tempat merakit atau menumpuknya sementara. Setelah itu barulah merakit, yakni menyatukan tual sagu yang satu dengan yang lainnya mengunakan alat bantu tali atau rotan yang dimasukkan ke dalam hidung tual. Berikutnya ialah mengeluar tual, yaitu mengatur posisi tual sagu yang sudah dirakit untuk dibawa ke sungai di tempat kapal motor penariknya berada. Setelah itu baru menarik atau menunda dengan kapal atau sampan tual sagu yang telah dirakit menggunakan tali atau rotan.

 

Berlari di atas tual

Kerja 'penting' lainnya yang dilakukan para penarik tual sagu ialah berlari di atas tual sagu. Berlari di atas tual sagu memiliki beberapa tujuan, yaitu menghitung jumlah tual sagu dengan berlari supaya lebih cepat karena jumlah tual sagu yang banyak; mengatur posisi tual sagu yang tak teratur sewaktu bertambat di sungai; mengamankan tual sagu dari aksi pencurian. Perjalanan narik tual sagu yang jauh (melintasi sungai dan laut) memungkinkan terjadinya pencurian yang dilakukan dengan memutus rakit tual sagu; memperbaiki tali atau rotan pengikat rakit yang putus atau lepas; ngampiyaitu menyatukan deretan rakit tual sagu yang tidak sejajar dengan rakit yang lain, misalnya bercabang dua, tiga, ataupun empat; melepaskan benda-benda yang tersangkut pada rakit tual; dan melepaskan rakit dari sangkutan pada kayu atau tunggul yang ada di tepi laut atau sungai.

Awalnya, berlari di atas sagu merupakan bagian dari pekerjaan yang harus dilakukan. Namun, kini aktivitas itu diperlombakan untuk menyemangati dan menghibur diri sendiri dalam bekerja. Lomba lari di atas tual sagu dilakukan ketika rakit tual sagu bertambat di sungai atau ketika kapal penarik tual sagu sedang berjalan. Mereka yang mahir berlari di atas tual sagu cenderung mendapat lebih banyak tawaran pekerjaan semacam itu.

Berlari di atas tual sagu mulai diperlombakan pada perayaan hari besar, misalnya, pada perayaan Hari Kemerdekaan. Lomba berlari di atas tual sagu dilakukan di bangsal-bangsal sagu, di dusun, ataupun di desa. Inisiatif mengadakan lomba tersebut bertolak dari keinginan mengangkat salah satu ciri khas Kepulauan Meranti yang tidak ada di daerah lain. Inisiatif itu disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

Lomba berlari di atas tual sagu merupakan bentuk pelindungan dan pelestarian yang bersifat mempromosikan tradisi narik tual sagu. Sejak 2011, bertepatan dengan Fiesta Bokor Rievera I, lomba berlari di atas tual sagu diselengarakan secara massal. Event yang digagas Sanggar Bathin Galang, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, itu diikuti para pelari dari berbagai daerah dan desa di Kepulauan Meranti.

Pada 2013, nama helat Fiesta Bokor Rievera akhirnya diganti menjadi Pesta Sungai Bokor. Nama baru yang lebih mengindonesia itu tidak mengurangi minat dan antusiasme masyarakat untuk menyaksikan acara tersebut.

Sebagai sebuah helat kebudayaan, sejumlah tamu yang mempunyai nama besar sebagai seniman dan budayawan dari berbagai daerah pernah juga ikut menjadi peserta yang memeriahkan perhelatan tersebut. Mereka itu antara lain Fauziah Gambus dari Malaysia, Tai Sa Wan dari Thailand, Eri Bob dengan kelompok Geliga Malay Jazz, dan Kelompok Seni Dendang Anak dari Terengganu Malaysia.

Di Kepulauan Meranti, lomba lari di atas tual sagu pertama kali diperlombakan secara massal pada Fiesta Bokor Rievera yang berlangsung pada 16-18 Juni 2011. Selanjutnya setiap tahun, pada Juni atau Juli, lomba itu terus diadakan pada Pesta Sungai Bokor. Dipilihnya bulan Juni-Juli untuk perayaan Pesta Sungai Bokor disebabkan pada bulan itu masa puncak musim buah-buahan.

Kelincahan dan kecermatan pelari di atas tual membutuhkan keahlian dan kemampuan tersendiri. Penonton melihat itu sebagai sebuah kemahiran yang layak dipertunjukkan. Lomba tersebut diharapkan dapat menjadi agenda tahunan. Selain akan menjadi potensi wisata yang diunggulkan, perhelatan itu juga sekaligus dapat melestarikan tradisi pengangkutan sagu yang telah menjadi identitas budaya masyarakat Kepulauan Meranti.

 

Identitas komunal

Masyarakat Kepulauan Meranti menganggap narik tual sebagai ikon budaya yang menjadi salah satu karakteristik daerah penghasil sagu itu. Kedekatan emosional antara masyarakat dan tradisi tersbeut memunculkan inisiatif untuk melestarikan dan melindunginya agar mampu bertahan dari masa ke masa.

Itu disebabkan adanya narik tual berawal dari pemahaman orang Melayu Kepulauan Meranti terhadap alam (tumbuhan sagu, air, sungai, laut, dan lain-lain). Pemahaman itu menghasilkan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang mereka jadikan sebagai acuan dalam melaksanakan pekerjaan narik tual sagu.

Pemahaman dan kemahiran orang Kepulauan Meranti sebagai penarik tual sagu berdampak pada keberhasilan mereka untuk dipekerjakan di perkebunan sagu yang ada di daerah lain, baik di dalam maupun di luar Provinsi Riau. Orang-orang Kepulauan Meranti itulah yang memperkenalkan cara menarik dan menggolek tual sagu di daerah lain.

Saat ini narik tual sagu telah dilakukan di beberapa daerah yang memiliki lahan tanaman sagu, yaitu Kuala Kampar (Kabupaten Pelalawan), Indragiri Hilir, dan Tanjung Batu (Kepulauan Riau). Persebaran tradisi narik tual sagu semakin meluas. Hal itu berarti bahwa persebaran pengetahuan tradisional dan kearifan lokal orang Melayu Kepulauan Meranti telah menyebar ke daerah-daerah lain. Mereka tidak hanya 'mengekspor' beragam komoditas olahan sagu, tetapi juga 'mentransmisi' pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam pengolahan sagu ke daerah lain.

Meskipun narik tual terdapat di beberapa daerah lain, kemahiran itu dianggap sebagai 'milik' masyarakat Kepulauan Meranti. Narik tual menjadi salah satu identitas komunal bagi masyarakat di kepulauan penghasil sagu yang terletak di jalur pelayaran internasional itu.

Di Kepulauan Meranti, pekerjaan narik tual ataupun yang berkenaan dengan mengolah batang sagu pada umumnya dilakukan orang Melayu yang dilakukan turun-temurun. Selain itu, pekerjaan yang mengandung pantang larang biasanya hanya dipahami puak Melayu.

Terlepas dari kebenaran pantang larang itu, etnik lain di Kepulauan Meranti tidak melakukan pekerjaan narik tual. Ada dugaan mereka khawatir melanggar pantang larang yang dapat berakibat fatal bagi diri mereka sendiri. Bahkan, suku Akit (komunitas adat terpencil) yang bertempat tinggal di kawasan perkebunan sagu juga enggan melakukan pekerjaan tersebut.

Namun, suku Akit tetap mempunyai peran yang besar dalam dunia persaguan di Kepulauan Meranti. Peran mereka ialah mengambil upah untuk mengalih abut (anak sagu yang dijadikan bibit) saat pembukaan perkebunan sagu. Suku Akit memiliki keunggulan dalam pekerjaan itu karena bertempat tinggal di pedalaman yang berdekatan dengan lokasi lahan kebun sagu serta memiliki fisik yang kuat. Mereka juga 'menguasai' hutan, memahami ritual 'menetau tanah' dalam pembukaan lahan perkebunan sagu, serta memiliki insting yang kuat adanya bahaya binatang buas dan tahu cara menghadapinya. Selain itu, para pengusaha perkebunan dan bangsal sagu senang mempekerjakan suku Akit karena mereka setia dan bertanggung jawab.

Etnik Tionghoa yang cenderung dominan dalam perekonomian lebih memilih bekerja di bangsal sagu sebagai pengurus, manajer, atau pemilik. Tidak seorang pun orang Tionghoa yang terlibat dalam pekerjaan narik tual. Etnik lainnya, seperti Jawa, hanya menjadi buruh di bangsal sagu dan tidak ada yang bekerja menebang, menggolek, ataupun narik tual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan menebang, menggolek, dan narik tual hanya dilakukan orang-orang Melayu.

Sebagai daerah penghasil sagu, kuliner di Kepulauan Meranti pun tidak terlepas dari pangan berbahan dasar sagu. Pada 2016, Riau bahkan berhasil memecahkan rekor Muri sebagai penghasil makanan berbahan dasar sagu terbanyak, yaitu 369 jenis masakan. Berbagai kuliner itu antara lain srikaye ketulang sagu, pepes sagu ikan kakap, bakso sagu rendang, antasukma sagu rendang, botok sagu rendang, penganan kerucut sagu, serta kue kelapa sagu (M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya