Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Joget Dangkong dan Mak Dara

Sita Rohana
18/9/2022 05:25
Joget Dangkong dan Mak Dara
(DOK NURANDIKA PUTERA, 2020)

HINGGA dasawarsa 70-an, kesenian joget dangkung (dangkong) di Kepulauan Riau menjadi penghubung satu kampung dengan kampung lainnya, satu pulau dengan pulau lain. Dengan sampan dayung, kelompok joget ini mengunjungi kampung-kampung untuk berpentas. Pukulan gong menandai kedatangan mereka. Segenap warga, terutama anak-anak, akan berlarian menuju pelantar--dermaga--menunggu sampan mereka merapat.

Setelah sempat meredup pada 80-an, joget dangkong bangkit lagi pada dasawarsa 90-an seiring dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap pelestarian seni tradisi. Kini, joget dangkong menjadi kebanggaan Kepulauan Riau dan warisan budaya tak benda Indonesia sejak 2015.

Salah satu tokoh kesenian itu ialah Mak Dara. Ia bukan yang pertama, bukan pula yang terlama menekuni kesenian tersebut di Kepulauan Riau, melainkan ia ‘mak joget’ (ketua kelompok joget) yang hingga kini masih menghidupkan kesenian itu di Tanjungpinang.

 

Merayakan kehidupan

Dangkong berasal dari onomatope bunyi gendang ‘dang’ dan bunyi gong ‘kung’. Dalam masyarakat Melayu, joget dangkung merupakan permainan. Itu diekspresikan secara verbal dengan istilah ‘main joget’ untuk kata berjoget dan penyebutan untuk anggota kelompok joget sebagai ‘pemain joget’.

Pada masa lalu, joget dangkong tidak memerlukan panggung khusus. Bagi pemain kesenian ini (pejoget), panggung ialah ruang sejauh suara gendang dan gong terdengar. Episentrumnya di tanah lapang, tak perlu luas, sekadar tempat para pemain joget memainkan musik, menyanyikan lagu, dan menari.

Setiap tampil, Mak Dara membawa anggota sekurang-kurangnya 11 orang, terdiri atas empat orang pemusik (gong, gendang, tamborin, dan biola), enam orang penari atau ‘putri joget’, dan seorang penyanyi laki-laki. Ia sendiri menjadi penyanyi dan kadang turut menari bersama putri joget. Meski diakuinya suaranya ‘tak bagus’, ia terpaksa melakukannya karena kini sulit mencari penyanyi. Lagu joget hanya menandai irama. Liriknya berupa pantun sehingga penguasaan pantun menjadi syarat penting dalam menyanyikan lagu joget agar lebih bervariasi.

Penampilan joget dibuka dengan betabik berupa iringan musik sebagai pembuka. Kemudian pemusik memainkan lagu Dondang Sayang dengan nyanyian dan putri joget mulai menari. Setelah itu, lagu-lagu Melayu dengan irama riang dimainkan, seperti Serampang Laut, Tanjung Katung, Johor Siput Kelapa, Gunung Banang, Tandak Udang Gantung, Jambu Merah, Kancing Suasa, Nona Singapura, Tarik Rawai, dan lain-lain. Lagu-lagu riang tersebut menandai bahwa khalayak dapat ikut berjoget bersama putri joget. Atmosfer riang menjadikan joget dangkong senantiasa dimainkan laiknya perayaan atau pesta. Selain mengundang orang untuk berjoget di arenanya, suara musiknya juga menghibur siapa pun yang mendengarnya.

 

Mak Dara

Namanya Dara Duka, dalam KTP ditulis Dara D. Duka ialah nama ayahnya. Lahir di Dompak pada 1 Juli 1953. Setelah menikah dan memiliki anak, ia lalu dipanggil Mak Dara, dilafalkan Mak Dare dalam dialek Melayu Kepulauan Riau.

Mak Dara menikah pada usia muda. Ketika suaminya meninggal, ia bekerja sebagai nelayan untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil. Dengan sampan kolek, ia menjala, memancing, dan merawai di perairan Dompak. Kadang ia mencari siput gonggong di pantai saat air surut. Masa itu, ia satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai nelayan dengan sampan kolek. Pekerjaan yang berat karena harus berhadapan dengan alam yang sulit ditebak. Ia pernah dihempas gelombang yang membuat sampannya terbalik dan ia terhisap arus ke dalam laut. Puji Tuhan, nyawanya selamat dan sampan koleknya utuh. Malangnya, telinga kirinya kehilangan pendengaran.

Mak Dara bukan seniman tradisi yang sedari kecil menggeluti joget dangkong meski pamannya memiliki kelompok joget. Namun, diakuinya, sejak kecil ia suka menonton joget. Ia baru memasuki panggung joget sebagai penari ketika usianya menginjak 40 tahun, sekitar dekade 90-an awal. Saat itu ia merasa tubuhnya tak kuat lagi bekerja di laut. Ia bergabung dengan kelompok joget di Dompak, milik salah satu kerabatnya. Mula-mula sebagai putri joget. Kemudian dia belajar menjadi penyanyi dengan bimbingan Nahar, seorang penyanyi joget dari Senggarang.

Memasuki panggung joget pada usianya saat itu sangat tak lazim. Terlebih lagi ia telah berjarak dengan joget semenjak menikah. Namun, Nahar selalu mencambuk semangatnya dengan kata-kata, “Kalau aku mati, siapa lagi yang akan meneruskan joget ini kalau bukan kakak.” Darah yang mengalir di nadinya telah merekam ingatan rentak joget. Hanya perlu sedikit waktu untuk membangkitkannya lagi.

Mak Dara mulai bermain ke kampung-kampung nelayan di Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya, seperti Numbing dan Mantang. Ketika kelompok joget tempat ia bergabung tidak aktif lagi, ia pun mulai merintis kelompok jogetnya sendiri. Ia menjadi ketua kelompok joget perempuan pertama di Tanjungpinang. Biasanya, perempuan dalam kelompok joget hanya putri joget.

Tantangan terberat dalam mengelola kelompok joget ialah mencari pemain musik, terutama pemain biola tradisi yang semakin langka. Biola memegang peran penting sebagai melodi yang memberi kekhasan joget dangkong. Mula-mula Mak Dara menggantikan biola dengan gitar yang dimainkan Nahar. Lalu ia bertemu Pak Odong ketika bermain joget di Tembeling. Pak Odong merupakan pemain biola untuk joget dan makyong. Sejak itu, Pak Odong menjadi pemain biola tetap kelompok joget Mak Dara. Pada 2002, keduanya menikah. Bersama Pak Odong, kelompok joget Mak Dara tampil pada helat-helat kampung di Tanjungpinang dan Bintan, seperti Tembeling, Gisi, Bengku, Mantang, Senggarang, dan Dompak, serta tampil di panggung-panggung kebudayaan yang ditaja pemerintah. Kebersamaan ini berakhir ketika pada awal 2021 Pak Odong meninggal.

Dalam kelompok joget Mak Dara, hampir semua anggotanya berkerabat karena hubungan darah atau pernikahan. Atan, pemain gong, ialah sepupu Mak Dara. Adiknya, Rusni, ialah penari. Suami Rusni, Alek (Ahli), pemain tamborin. Anak dan menantu Mak Dara, Jamaliyah dan Cika (Nuraini), keduanya penari. Pemain gendang, Satimin, merupakan adik kandung Pak Odong. Mereka juga tinggal berdekatan di Dompak. Dalam lingkungan seperti ini, pewarisan dapat berjalan alami karena pengalaman melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan joget. Itu juga yang membuat Mak Dara tidak memerlukan waktu lama untuk memasuki kesenian ini. Namun, sekarang proses pewarisan tidak mudah karena sedikit anak muda mau menekuni joget. Inilah yang menyebabkan anggota kelompok joget Mak Dara sebagian besar sudah separuh baya.

Tarik Rawai yang menjadi lagu wajib setiap penampilan kelompok joget Mak Dara tidak hanya menjadi pengingat kehidupannya semasa menjadi nelayan, tetapi juga mengajarkan bahwa hidup harus ‘tarik ulur’ untuk mendapatkan keseimbangan demi kelangsungan hidup. Seperti halnya joget dan kehidupan. Joget tidak menghidupi karena tidak dapat dipastikan kapan akan tampil dan mendapatkan bayaran berapa. Namun, meski tidak dapat menjadi penghidupan, Mak Dara ingin dapat berjoget sampai akhir hayat karena ia senang melakukannya.

Di atas panggung, Mak Dara memang seorang seniman, berada di bawah lampu sorot, mendapatkan tepuk tangan, dan penghargaan sebagai pelestari seni tradisi. Begitu musik berhenti, alat-alat musik dikemas, kostum ditanggalkan, riasan dihapus, lampu-lampu dimatikan, panggung pun menghilang. Para pemain joget kembali menjadi diri mereka sehari-hari. Mak Dara kembali ke onggokan daun kelapa untuk diraut menjadi lidi dan dijual guna melengkapi kebutuhannya. Sesekali ia mencari siput gonggong saat air surut atau memancing. Begitu juga para pemain joget lainnya, kembali ke keseharian mereka.

Program pelestarian kebudayaan telah memperpanjang napas joget. Namun, tanpa pelapis/penerus, kesenian joget dangkong ini berada di ambang senja. (M-4)

 

Sita Rohana

Anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan pamong budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya