Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PADA 20 Desember 2020, tulisan saya tentang hubungan resiprokal ritual Ulur-Ulur dan Telaga Buret dimuat dalam rubrik Tradisi Lisan Media Indonesia. Saat itu saya yang tengah melakukan penelitian takjub dengan megahnya ritual yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) pada 2020 tersebut. Namun, semakin dalam saya menyelami ritual Ulur-Ulur, semakin saya merasa was-was akan keberlanjutan ritual agraris tersebut. Terlepas dari mengularnya arak-arakan atau padatnya penonton dalam perhelatan ritual, sebetulnya ritual tersebut sedang mengalami krisis regenerasi yang hebat.
Wawancara dengan sesepuh dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap ritual itu sebetulnya semakin mengering. Kemegahan ritual yang ditampilkan selama ini ternyata bukan dibangun kesadaran masyarakat sekitar, melainkan formalitas undangan Paguyuban Sendang Tirto Mulyo yang didukung penuh oleh Pemkab Tulungagung.
Merosotnya minat masyarakat terhadap ritual Ulur-Ulur sebetulnya bisa dilacak dari sejarahnya. Secara diakronis, ritual yang dilaksanakan dengan memandikan arca Sri-Sedono tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu ritual sebelum 1965, dan ritual pasca-1996.
Sebelum 1965, ritual Ulur-Ulur merupakan bagian integral masyarakat Desa Sawo, Ngentrong, Gedangan, dan sebagian Gamping, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Keyakinan mayoritas masyarakat sekitar terhadap ritual itu masih sangat kuat. Namun, kondisi tersebut berhenti pada 1965 saat geger budaya G30S menggoncang tatanan sosial di Indonesia, termasuk Tulungagung.
Menurut penuturan para sesepuh, meletusnya G30S mengeskalasi sentimen terhadap masyarakat adat dan menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Mereka yang tidak setuju dengan keberadaan ritual melabeli para pendukung ritual dengan stigma negatif serta membenturkannya dengan kepercayaan mereka. Titik kulminasi dari hal ini ialah perusakan arca Sri Sedono yang merupakan bagian penting dari ritual Ulur-Ulur.
Memori yang rusak
Perusakan arca itu tentu saja bukan hal sederhana. Merujuk pada Assmann (2008), arca Sri-Sedono dapat dikatakan sebagai mnemonic institution atau alat bantu ingat. Hal itu ditegaskan oleh Jones (2007:1) yang berpendapat bahwa memori manusia merupakan sesuatu yang rapuh. Oleh karenanya, butuh objek material untuk mengawetkan memori tersebut agar bisa ditransmisikan ke generasi selanjutnya.
Karena fungsinya sebagai alat pengawet memori, perusakan terhadap alat bantu ingat itu bisa dimaknai sebagai upaya menghapuskan memori kultural kelompok tertentu. Memori kultural ialah salah satu pilar pembentuk identitas sosial sehingga tidak berlebihan bila vandalisme tersebut, bila diteruskan, bisa diartikan sebagai usaha penghapusan identitas masyarakat.
Lebih jauh, Kusno (2009) berpendapat bahwa perusakan terhadap objek memori tertentu merupakan salah satu jalan untuk menanamkan rasa takut. Ketakutan itu menciptakan trauma kultural yang berujung pada kematian suri ritual selama 31 tahun. Jeda waktu yang panjang ini jelas memengaruhi kesinambungan memori dalam ritual. Memori dan ritual ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Ritual dikonstruksi oleh memori, sementara memori dirawat oleh ritual (Lattu, 2019: 103). Rusaknya alat bantu ingat, arca Sri Sedono, serta jeda panjang yang melanda ritual pada giliarannya membuat memori agraris yang tersimpan dalam arca tersebut terkikis dan hilang.
Menariknya, di saat memori atau narasi agraris yang tersimpan dalam arca Sri-Sedono rusak, narasi danyangan yang juga mengonstruksi ritual bertahan hidup dan bahkan menguat. Hal itu karena mnemonic institution narasi danyangan ialah lanskap alam Desa Sawo, yakni Telaga Buret, yang tentunya bila dibandingkan dengan arca Sri-Sedono relatif lebih awet dan tidak mudah dirusak. Narasi tersebut berhasil lolos dari peristiwa G30S dan lama-kelamaan teramplifikasi. Alhasil, Telaga Buret seolah lekat dengan narasi danyangan atau yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Eyang Jigang Joyo tersebut.
Seiring waktu, narasi itu menjadi magnet bagi banyak orang, terutama bagi warga di luar Desa Sawo yang percaya pada tuah telaga yang dihuni Eyang Jigang Joyo. Bahkan, tidak sedikit kalangan yang menyandingkan Telaga Buret dengan Gunung Kawi yang tersohor sebagai tempat mencari berkah. Hal itu saya saksikan sendiri ketika berada di lokasi telaga pada malam sebelum dilaksanakannya ritual Ulur-Ulur. Beberapa kendaraan dengan pelat nomor luar daerah mengerumuni telaga. Menurut sesepuh Paguyuban Sendang Tirto Mulyo, pada malam-malam tertentu, Telaga Buret memang selalu ramai oleh orang yang datang dengan berbagai tujuan.
Kondisi tersebut pada akhirnya turut mengonstruksi kesadaran masyarakat di luar Paguyuban Sendang Tirto Mulyo terhadap Telaga Buret. Wawancara acak yang saya lakukan kepada masyarakat sekitar mengerucut pada dua hal, yaitu kuatnya asosiasi Eyang Jigang Joyo terhadap telaga dan ketidaktahuan masyarakat tentang narasi Sri-Sedono sebagai narasi agraris. Masyarakat menganggap bahwa Eyang Jigang Joyo merupakan penunggu Telaga Buret. Hal itu pula yang pada akhirnya membuat mereka enggan untuk datang atau berurusan dengan Telaga Buret karena bertentangan dengan keyakinan mereka.
Upaya revitalisasi
Kuatnya narasi danyangan (Eyang Jigang Joyo) itu membuat ritual apa pun yang dilakukan di telaga menjadi otomatis lekat dengan sosok tersebut, tidak terkecuali dengan ritual Ulur-Ulur yang merupakan ritual terbesar yang berkaitan dengan Telaga Buret. Implikasi lebih jauh dari hal ini tentu saja melekat pada komunitas penjaga ritual, yaitu Paguyuban Sendang Tirto Mulyo.
Paguyuban Sendang Tirto Mulyo sendiri merupakan kelompok masyarakat yang diam-diam masih merawat memori kolektif tentang ritual Ulur-Ulur pasca-G30S. Menurut sejarahnya, pada 1994, setelah jeda yang cukup lama, kelompok masyarakat itu mencoba merevitalisasi ritual berdasarkan memori yang mereka miliki. Mereka memodifikasi ritual dan membuat replika arca Sri-Sedono. Akan tetapi, usaha mereka tidak berjalan mudah. Memori yang hilang serta komposisi dan kepercayaan masyarakat yang telah berubah membuat proses revitalisasi menjadi tertatih-tatih.
Hal itu pulalah yang pada gilirannya mendorong Paguyuban Sendang Tirto Mulyo membangun relasi vertikal dengan bergabung menjadi anggota dari Yayasan Kasepuhan Handono Warih yang beranggotakan pejabat Pemkab Tulungagung. Selain nama besar, Handono Warih juga mempunyai payung hukum yang sah sehingga dengan bergabung dengan Handono Warih, Paguyuban Sendang Tirto Mulyo lebih mempunyai kuasa dalam melakukan ritual Ulur-Ulur di tengah masyarakat desa yang semakin apatis.
Tepat pada 1996, Paguyuban Sendang Tirto Mulyo disahkan sebagai cabang dari Kasepuhan Handono Warih. Peristiwa tersebut merupakan pintu gerbang bagi Paguyuban Sendang Tirto Mulyo untuk membangun kedekatan dengan pemerintah kabupaten. Kedekatan tersebut bisa dibilang berhasil mengingat telah ditetapkannya ritual ini sebagai agenda tahunan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dan sebagai WBTb oleh Kemendikbud RI. Hal itu berujung pada dukungan finansial dari pemerintah daerah untuk perhelatan ritual. Ritual yang dulunya sederhana kini kian bersolek karena tuntutan kepentingan pariwisata. Kemesraan paguyuban dengan pemerintah kabupaten inilah yang membuat ritual tersebut tampak gagah. Kehadiran Bupati dalam setiap perhelatan ritual seolah turut melegitimasi kekukuhan ritual tersebut.
Namun, di tengah ritual yang makin gemerlap, pemerintah dan paguyuban masih mempunyai pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Suka atau tidak mereka harus mengakui bahwa antusiasme masyarakat terhadap ritual terus memudar. Penelitian menunjukkan bahwa anggota Paguyuban Sendang Tirto Mulyo masih didominasi orang tua yang sama. Para pemuda dan masyarakat sekitar seolah menjaga jarak dari ritual dan paguyuban. Hal itu membuat keberlangsungan ritual yang menjadi ikon kebudayaan Tulungagung ini masih diliputi pertanyaan. Bila anomali ini tidak diobati, dalam waktu dekat, bisa jadi ritual ini hanya akan menjadi sebuah memori. (M-4)
Tentang Penulis.
Luqman Hakim, anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang saat ini bekerja sebagai dosen di FISIP UPN Veteran Jakarta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved