Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Keindahan Komunikasi Simbolis dalam Pantun

RENDRA SETYADIHARJA
20/2/2022 05:20
Keindahan Komunikasi Simbolis dalam Pantun
Pantun dan adat istiadat pernikahan.(DOK RENDRA SETYADIHARJA)

 

DAHULU kuah dari bumbunya. 

Dandang pula terkena buang. 

Dahulu buah dari bunganya. 

Pokok pula terkena tebang. 

 

Pantun merupakan tradisi lisan yang turun-temurun di dalam masyarakat Melayu. William Marsden (1754-183), linguis dan orientalis berkebangsaan Inggris, di dalam bukunya, The History of Sumatera (1783), menyebutkan karakteristik pantun Melayu yang penuh dengan kiasan dan merupakan roh dari tradisi lisan tersebut. Marsden menemukan kiasan douloo booa, cadeaan boongo, dalam bahasa Indonesia menjadi dahulu buah, kemudian bunga yang diucapkan kepada gadis yang hamil sebelum menikah. Kiasan itu ialah sindiran halus dengan menggunakan kata yang manis dan sangat berbudi. Begitulah tradisi bertutur orang Melayu. Itulah pola komunikasi bangsa Melayu abad ke-18.

Andai kiasan yang ditemukan Marsden itu dibuat pantun, susunannya bisa seperti pantun gubahan di atas. Pantun itu menunjukkan suatu pola komunikasi simbolis yang disampaikan kepada sang gadis hamil. Meski maknanya memberikan pelajaran dan nasihat, pantun itu disampaikan dengan pola bahasa kiasan atau perumpamaan.

Pantun itu menggunakan metafora buah dan bunga sebagai isi atau maksud pantun, tetapi pokok atau pohon pada akhirnya terpaksa ditebang oleh orang. Metafora bunga kerap diidentikkan dengan kesucian seorang gadis dan bunga itu tidak boleh disentuh dengan sesuka hatinya atau akan ada sebuah kejadian lainnya yang kurang baik atau tak elok.

Ungkapan dahulu buah, kemudian bunga yang menjadi bahan di dalam pantun, bermaksud sesuatu peristiwa yang memalukan dan tak lazim terjadi pada situasi lingkungan sosial sehingga menimbulkan sebuah aib dan malu yang luar biasa, yang pada akhirnya sumber aib, yaitu pokok, harus menjadi korban dengan ditebang. Begitulah ungkapan itu disampaikan kepada masyarakat agar peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi karena akan menimbulkan aib sehingga ada pihak yang menanggung beban dan menjadi korban. Sebuah komunikasi yang disampaikan secara halus, tidak menyinggung orang lain, serta penuh makna. Begitulah orang Melayu bertutur dan meninggalkan pesan kepada orang lain.

Pantun yang digunakan masyarakat Melayu sebagai bagian dari komunikasi selalu berisikan kiasan yang merupakan roh dari tradisi lisan tersebut. Tulisan Marsden mengenai pantun ini telah memberikan suatu konsep yang baik tentang pantun dan menjadi sumbangsih pemikiran tentang pantun yang indah, khususnya bagi pantun Melayu.

 

Teka-teki pengertian

Peneliti lain, John Leyden dan John Crawfurd, sepakat dengan Marsden. Lebih jauh, Crawfurd (Hussain, 2019) menjelaskan pantun merupakan sebuah teka-teki pengertian dan bukan semata permainan kata. Pantun pusaka dahulu sangatlah tinggi nilainya atau mahal harganya sehingga menjadi pantun yang telah menjadi sastra rakyat. Karena bernilai tinggi dan sarat sindiran serta mengandung makna halus, pantun pusaka yang penuh simbol itu cukup sukar atau sulit dipahami maksudnya.

Orang-orang tua dahulu berpantun tidaklah bertujuan hendak berjenaka ataupun hendak mencari hadiah, tetapi menyampaikan perasaan hati mereka dengan menunjukkan kehalusan budi pekerti kepribadian orang Melayu. Kadang-kadang mereka berpantun untuk menyindir guna memperbaiki budi pekerti orang lain.

Pada pantun Melayu yang dicatat dalam sebuah kitab di sekitar abad ke-17 atau 1612 yang berjudul Sulalatus Salatin yang dikarang Tun Seri Lanang, Bendahara Kesultanan Johor, juga memiliki kiasan-kiasan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang kemudian ditulis dalam bentuk pantun berikut ini.

 

Telur itik dari Singgora.

Pandan terletak dilangkahi. 

Darahnya titik di Singapura. 

Badannya terhantar di Langkawi. 

(Ahmad, 1979; Salleh, 2009; Hashim, 2015)

 

Pantun itu mengisahkan dihukum matinya seorang ulama Pasai yang bernama Tun Jana Khatib karena murkanya Paduka Seri Maharaja atas perilaku Tun Jana Khatib yang memperlihatkan kemampuannya membelah dua pohon pinang hanya dengan tatapan mata di depan raja perempuan. Atas perilaku Tun Jana itu, Paduka Seri Maharaja menghukum mati ulama itu sehingga kemudian dituliskan dalam pantun di atas.

Namun, di dalam sebait pantun itu tecermin suatu pola komunikasi yang bersifat implisit bahwa telah terjadi suatu perilaku yang tidak baik sehingga seseorang dihukum mati dan jasadnya ditanam jauh di sebuah tempat.

Berdasarkan analisis terhadap pantun itu, yang dilakukan Hooykaas (1963), di dalam pembayang atau sampiran dan isi pantun ini memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang berkaitan dengan Tun Jana Khatib tersebut. Dengan kata lain, kejadian Tun Jana Khatib itu dapat diceritakan hanya dengan empat baris pantun.

Kiasan yang terletak pada pembayang atau sampiran pantun, yaitu telur itik dari Singgora, melambangkan suatu tempat yang sangat jauh karena Singgora merupakan sebuah tempat di Segenting Kra yang terletak di perbatasan antara Malaya dan Siam. Sementara itu, telur itik merupakan simbol yang dapat dimaknai dengan ditetas ayam, dipelihara yang lain, dibiarkan pada nasibnya, atau bisa diartikan pengembara dari jauh. Oleh karena itu, frasa telur itik dari Singgora merupakan simbol yang dapat diartikan orang jauh yang sedang mengembara pergi ke tempat yang asing, yang terdapat pemimpinnya di sana. Makna itu melambangkan sosok Tun Jana Khatib yang datang dari suatu tempat yang jauh ke Tumasik yang pada saat itu dipimpin Paduka Seri Maharaja.

Lalu, frasa pandan terletak dilangkahi. Makna tikar pandan ialah benda yang halus, harus dihematkan, kiasan bagi putri keraton yang harus diperlakukan dengan lebih banyak kehormatan. Sebuah metafora atau simbol yang diambil dari tumbuhan. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa frasa tikar pandan dilangkahi bermakna bahwa seorang ratu atau putri kerajaan telah diperlakukan tidak hormat, dalam bahasa kias dilangkahi. Hal itu menceritakan perilaku Tun Jana Khatib yang melangkahi sang ratu perempuan yang disimbolkan dengan tikar pandan, dengan menunjukkan kesaktiannya membelah pohon pinang hanya dengan tatapan yang kemudian menyebabkan Paduka Seri Maharaja marah dan menghukum mati.

Atas sebuah perilaku orang yang jauh dan berbuat yang tidak patut itulah kejadian darahnya titik di Singapura//badan terhantar di Langkawi terjadi. Paduka Seri Maharaja menghukum mati Tun Jana Khatib. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pantun yang ditulis Tun Seri Lanang itu merupakan sebuah pantun yang memiliki metafora sebab-akibat, di dalam pembayang atau sampiran memberikan makna sebab terjadinya peristiwa yang kemudian terjadi pada isi pantun.

Begitulah orang Melayu menuliskan suatu perkara yang aib ke dalam bahasa yang sangat halus: telur itik dari Singgora//tikar pandan dilangkahi, yang secara tidak langsung sebenarnya telah terjadi peristiwa yang sangat aib di kalangan kerajaan pada masa itu yang jika dilakukan bisa berakibat sangat fatal.

Pantun Melayu lainnya yang juga memiliki makna sebuah komunikasi yang disampaikan secara simbolis juga terjadi pada pantun yang dikarang Haji Ibrahim dalam bukunya, Pantun-Pantun Melayu Kuno, yang dicetak pada percetakan W Bruining Batavia pada 1877. Salah satu pantunnya berisikan metafora atau komunikasi simbolis berbunyi sebagai berikut ini.

 

Buah berembang hanyut ke lubuk. 

Anak undan meniti batang. 

Kalbu abang terlalu mabuk. 

Menentang bulan di pagar bintang. 

(Haji Ibrahim, 1877).

 

Kata bulan melambangkan sempadan waktu atau suasana dan makna yang berhubungan dengan takdir dan masa depan, juga dapat melambangkan suatu suasana romantisme kasih dan sayang di antara manusia. Maka, secara tak langsung makna pantun itu antara lain berkisah tentang seorang pemuda yang sedang dalam suasana romantisme yang kurang baik atau kurang elok yang ditandai dengan kalbu abang terlalu mabuk.

Hal itu disebabkan karena tujuan romantismenya yang dilambangkan dengan bulan dipagar bintang dapat diartikan dengan sedang terdapat sesuatu hal yang menghalanginya. Bulan dapat saja diartikan sebagai seorang gadis yang dirindukan seorang pemuda, tetapi gadis itu tak dapat ditemuinya atau dimilikinya karena dipagar bintang. Frasa itu dapat saja diartikan sebagai suatu penghalang entah itu karena dilarang orangtuanya atau sang gadis sudah dimiliki orang lain. Simbol yang dibangun pada salah satu pantun yang berada di buku Haji Ibrahim itu menggunakan simbol alam.

Menurut pandangan Zainal Abidin Borhan, setiap kejadian alam memiliki fitrahnya yang memengaruhi kehidupan manusia. Manusia mengambil iktibar (contoh atau pembelajaran) dari alam untuk mengatur dan menyusun kehidupan. Pandangan mengenai diri manusia, hidup dan mati, tentang masa lalu, sekarang, dan masa depan. Pantun tersebut tentang sesuatu di dalam diri manusia itu sendiri, yaitu cinta dan tantangan untuk mendapatkan masa depan dari cinta tersebut.

Begitulah keindahan pantun. Ia tak hanya menyajikan kata-kata berima, tetapi juga memiliki kiasan atau komunikasi simbolis. Betapa pun bebasnya orang Melayu berpantun, nilai-nilai sopan santun tetap terpelihara dan kegembiraan hidup terpantul di dalamnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya