Benny Benke Luncurkan Buku Mengheningkan Puisi

Retno Hemawati
21/1/2022 18:48
Benny Benke Luncurkan Buku Mengheningkan Puisi
Mengheningkan Puisi(Dok Benny Benke)

Jurnalis Benny Benke meluncurkan buku Mengheningkan Puisi pada Jumat (21/1). Buku ini sempat mondok, dan hampir setahun di meja kerja Doddi Ahmad Fauji selaku editor. Buku setebal 140 halaman ini diterbitkan oleh SituSeni Bandung, dan merangkum 49 sajak.

Benny menulis dari tahun 2004 hingga tahun 2021. Dengan berbagai latar peristiwa di sejumlah kota yang pernah disinggahinya. Dari Moskwa, St. Petersburg, Tsarkoye Selo, Tula, Berlin, Cannes, Juan Les Pains, Monaco, Madinah, Mekah, Tokyo hingga Jakarta.

Puisi prosa ini, menurut Bre Redana, kolumnis dan novelis sohor itu menjuluki bunga rampai Mengheningkan Puisi, ini ditulis Benny Benke dengan pilihan bahasa yang benderang, sebagaimana prosa acap menuturkan kisahnya, dengan liris, lirih, bahkan seringkali berderak-derak.

"Laporan perjalanan yang dilakukan oleh Benny, selaku jurnalis yang semula berasal dari kata ‘journ’ kemudian terdapat kata journey, dan akhirnya menjadi journalist atau wartawan, adalah puisi-puisi muhkamat yang perlu direnungkan, yang mengajak pembaca untuk benar," kata Doddi Ahmad Fauji, mantan penjaga halaman Sastra Harian Media Indonesia, itu.

Puisi-puisi yang ditulis Benny Benke dalam antologi ini, imbuh DAF,  demikian Doddi biasa disapa, berdiri di antara intuisi Kun dan naluri pemaparan muhkamat (transparan). Tapi, seransparan apapun puisinya, tidak semua pembaca akan mafhum, terlebih bagi mereka yang tidak pernah mengalami apa yang sudah dialami oleh Benny.

Pendapat sedikit berbeda dikatakan Bre Redana. Menurut mantan wartawan Kompas ini, meski pada awalnya ada perasaan minder menghadapi puisi,  (menjadi) agak berkurang begitu mendapati bagaimana Benny Benke menuliskan karya-karyanya. "Puisi-puisi Benny dalam cita rasa saya bersifat prosaik. Dengan seketika, saya menjadi akrab dengannya. Dinamika dibangun dengan kesadaran prosaik. Saya seperti membaca babad. Atau mungkin travelogue," kata Bre Redana.

Benny juga disebut oleh Bre Redana tidak sekadar menyebut nama tempat yang diinjaknya, "Tetapi juga memberi refleksi mengenai sejarah, kenangan, tokoh-tokoh yang pernah hidup di dalamnya, dan lain-lain. Itulah sumbangan bahasa sebagai alat komunikasi, ekspresi, imajinasi, dan kognisi."

Seperti saat Benny mengagumi metro di Moskwa. Dalam puisi berjudul, “Metro Moskwa” ia melukiskan, marmernya mengkilap, patung yang agung, mosaik yang asyik, kaca patri yang setiti. Dia memperhatikan rima. Sekaligus menggunakan kata yang menjelaskan sikap amat penting, ‘setiti’. ‘Setiti’ adalah kosa kata bahasa Jawa. Kini jarang dipakai, dan banyak orang tak tahu lagi maknanya. Lihat relasi antara bahasa dan sikap manusia.

Begitulah puisi yang memperlakukan kata sebagai azimat bekerja. Puisi Benny, menurut Bre Redana, digunakan untuk menguak cakrawala dan meruapkan daya hidup.

Bagaimana dengan timbangan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Seberapa kuat dan "bunyi" 49 puisi Benny Benke yang terangkum dalam buku puisi Mengheningkan Puisi?

Menurut SCB, demikian Sutardji Calzoum Bachri. biasa disapa, buku puisi Benny menyoroti berbagai masalah sosial, politik, cinta, serta renungan kehidupan lainnya tampil dalam buku ini. "Mengheningkan Puisi sebagian besar ditulis dengan bahasa prosa. Kiranya tidak mudah menyimpan atau menyamarkan, atau menyarankan puisi pada baris atau larik bahasa prosa, yang ditulis, saya kira, dengan lebih mengutamakan spontanitas dibanding kewaspadaan dalam memilih diksi," kata SCB.

Meski demikian, SCB tetap mengakui menyenangi sejumlah puisi dalam buku yang diedarkan secara gerilya ini.  

"Saya suka sajak berjudul "Stasiun dan Kereta Api". Bagi saya, larik-larik puisi tersebut yang prosaik, bisa menyamarkan puisi yang layak untuk direnungkan. Juga ada lagi beberapa sajak yang
saya suka, antara lain yang berjudul "Eja", “Mengheningkan Mamah, "Embun", "Katanya", “Penerimaan”", katanya.

Beberapa sajak lain, imbuh SCB, baginya, terkesan sebagai laporan "jurnalistik" atau pariwisata.

"Kiranya, hemat saya, yang dicari dalam puisi bukan kalimat berita yang tetap sekedar berita, tapi kalimat berita yang menjelma menjadi kalimat (mengandung) hikmah, seperti tertuang dalam beberapa judul puisi di buku ini," pungkas Sutardji Calzoum Bachri. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya