Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
ANGGOTA parlemen tak henti menoreh sejarah. Yang menjengahkan, bukan prestasiprestasi monumental yang mereka pintal, melainkan jejak-jejak yang malah tidak jarang membuat jidat mengerut. Rakyat kesulitan memahami logika dan perilaku para wakilnya yang rata-rata kecerdasannya terlalu.
Kabar hangat belakangan ialah adanya kader parpol yang memerkarakan pemecatan dirinya dari keanggotaan partai lewat jalur hukum. Langkah itu memang haknya. Namun, yang menjadi keprihatinan ialah ia kukuh untuk masih tetap nengkreng (duduk) di kursi Wakil Ketua DPR. Itu posisi terhormat yang mestinya hanya pantas ditempati orang-orang terdepan budi pekertinya. Bukan pula yang sekadar mampu memenuhi persyaratan politik. Lalu, atas dasar apa ia masih tetap di sana? Dari sisi aturan dewan, yang berhak dan berwenang menentukan kader di posisi tersebut ialah fraksi partai di parlemen.
Padahal, fraksi partai itu telah menggantinya dengan kader lain. Jadi, harga diri sejatinya di mana? Dari aspek tata negara, politikus ialah negarawan. Karena itu, sikap memerkarakan pemecatan lewat jalur hukum, karena perbedaan sikap politik atau tidak sejalan dengan garis partai, bermakna kerdil. Ada solusi yang lebih bernilai daripada hukum, yakni dengan mengedepankan moralitas. Jangankan dipecat, kalau sudah tidak nyaman dengan perjuangan partai, mundur. Itu lebih elegan dan terhormat. Sikap itu juga bisa menepis asumsi bahwa para politikus sekadar job seeker. Itulah yang sepatutnya disemai para politikus.
Dinilai bersalah
Dalam konteks jati diri politikus, kita bisa belajar pada tokoh dunia wayang yang legawa menerima risiko akibat langkahnya. Uniknya, kisah itu terjadi pada pemerintahan zalim, bukan dalam sistem masyarakat (kelompok) yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti Pandawa. Tokoh itu bernama Aswatama, salah seorang punggawa rezim Kurawa pimpinan Duryudana yang menguasai Astina. Dia bukan anggota keluarga Kurawa para anak keturunan pasangan Destrarastra- Gendari. Aswatama merupakan anak tunggal Durna dengan Dewi Wilutama. Ia masuk 'Parpol Kurawa' karena mengikuti ayahnya yang menjadi anggota dewan sura (paranpara) pemerintahan Duryudana.
Sebagai kader Kurawa, Aswatama mengabdi dan berjuang dengan tulus. Ia dikenal tekun, rajin, dan disiplin menjalankan program partai. Tidak pernah sekali pun ia melenceng dari garis perjuangan Kurawa. Apa yang diperintahkan sang komandan lapangan (Patih Sengkuni) ia laksanakan dengan penuh dedikasi. Dalam keseharian, Aswatama tergolong pendiam. Ia tidak mau bicara bila tidak diajak atau diperintah. Mungkin, itu sikap tahu diri bahwa keberadaannya di barisan Kurawa numpang. Karena itu pulalah, ia selalu cekatan melaksanakan tugas ketimbang keluarga asli Kurawa.
Pada sisi lain, Aswatama seorang prajurit pemberani. Tidak pernah takut berhadapan dengan siapa pun yang berani mengganggu Kurawa. Ia pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, ia mendapat pusaka sangat sakti berupa keris bernama cundamanik. Dari sejarah panjang pengabdiannya, ada satu nilai yang ditunjukkan Aswatama kepada dunia, yaitu ketika ia dipecat dari 'Parpol Kurawa' oleh pemimpinnya, Duryudana. Baginya, vonis itu bak palu godam yang menghantam jiwa raganya. Betapa tidak? Ia telah bersumpah bahwa selama hidupnya jiwa-raganya demi Kurawa. Namun demikian, Aswatama tidak melawan. Ia menerima dengan lapang dada tanpa menyimpan mala.
Awal mula pemecatannya ialah ia dinilai salah dengan menuduh Prabu Salya, mertua Duryudana, sebagai pengkhianat. Aswatama menyatakan semestinya senapati Astina, Karna Basusena, tidak akan gugur di kurusetra jika Salya tidak berbuat curang dengan menggeser keretanya. Peristiwa itu terjadi di saat-saat kekuatan Astina semakin menipis dalam Perang Bharatayuda menghadapi Pandawa. Karna, sebagai senapati Kurawa, berperang melawan Arjuna di kurusetra. Karna naik kereta yang dikusiri Salya, yang juga mertuanya sendiri.
Arjuna mengendarai kereta dengan kusir Prabu Kresna. Hujan panah terjadi dalam pertempuran itu. Namun, kereta tiba-tiba terhenti akibat kereta Karna terperosok ke dalam kubangan lumpur. Karna berusaha mengentaskan keretanya. Pada saat bersamaan, Salya menggerakkan keretanya. Pada momen itulah panah pasopati, yang bedor (mata anak panah)-nya menyerupai bulan sabit, yang dilesatkan Arjuna dari gendewanya, secepat kilat memotong leher Karna dan gugurlah gu la gul (benteng utama) pertahanan Astina. Kinerja Salya yang menggerakkan kereta itulah yang dianggap Aswatama sebagai kesalahan mendasar. Jika itu tidak dilakukan, kata Aswatama, panah Arjuna diyakini meleset dari sasaran. Karna ia yakini mampu menyirnakan Arjuna. Atas dasar itulah, tanpa tedeng aling-aling ia menuduh Salya menjadi biang gugurnya Karna.
Pernyataan itu membuat Salya naik pitam. Ia minta izin kepada Duryudana untuk menghabisi Aswatana yang ia anggap mengepal kepalanya. Ia sebut Aswatama ngawur, berhalusinasi setelah bapaknya, Durna, tewas di medan laga. Namun, ketika itu, Aswatama tidak ciut nyali. Ia menyatakan siap meladeni Salya yang marah besar. Suasana jadi kacau, tanpa unggah ungguh lagi.
Duryudana lalu menghentikan pertengkaran dengan membentak. Ia kemudian mengusir Aswatama dari barisan Kurawa. Keputusan cepat itu begitu berat untuk diterima. Namun, Aswatama rela meninggalkan tempat kemudian hidup menggelandang di wana hingga Bharatayuda rampung dengan hancurnya Kurawa.
Tidak pernah membenci
Sakit hatikah Aswatama atas pemecatannya? Tidak. Hatinya masih berada di pihak Kurawa. Garis politiknya tidak bergeser dari doktrin Kurawa. Hidupnya di belantara bukan untuk menangisi diri, melainkan ia gunakan sebagai persiapan melanjutkan perjuangan, yakni membinasakan Pandawa hingga cindhil abang-nya, semua keturunannya.
Akhir riwayatnya dikisahkan dalam lakon Aswatama Nglandhak, ketika ia melakukan perang gerilya hingga ke jantung istana Astina. Peristiwanya setelah Pandawa boyongan ke Astina seusai memenangi Perang Bharatayuda. Aswatama mati tertembus pasopati saat bersiap menghabisi Parikesit, anak Abimanyu yang digadang menjadi raja baru Astina. Waktu itu, Aswatana sudah menghunus cundamanik. Namun, dalam hitungan detik, sebelum keris itu menghunjam sasaran, Parikesit yang masih bayi meronta dan secara refl eks kakinya menjejak pasopati yang berada di sampingnya.
Pasopati terpental dan langsung menghunjam jantung Aswatawa hingga terjerembap dan mati seketika. Hikmah dari kisah itu ialah perjuangan tanpa henti Aswatama meski ia telah dipecat dari barisan yang ia cintai. Ia tidak pernah membenci Kurawa. Baginya, Kurawa merupakan pilihan politiknya. Ia tidak pernah berpaling ke mana-mana. Itu ia buktikan dengan dedikasi dan integritas hingga tetes darah penghabisan. (M-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved