Sutradara Edwin Terusik Maskulinitas Era Orba

Fathurrozak
09/8/2021 19:09
Sutradara Edwin Terusik Maskulinitas Era Orba
Edwin (kemeja putih berkacamata), bersama produser dan pemain Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.(Instagram Palari Film)

Di tengah pemutaran film barunya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas di Festival Film Locarno, sutradara Edwin mengungkap akan selalu ada cara yang menarik menghadapi tantangan penyensoran.

Minggu (8/8), film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash) tayang perdana di dunia (world premiere) di Festival Film Locarno. Film yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan tersebut berkompetisi dalam Concorso Internazionale.

Dalam wawancaranya bersama Kepala Locarno Daily, Lorenzo Buccella, Edwin mengungkapkan beberapa pandangannya terkait film terbarunya itu, dan juga tanggapannya terkait sensor film dan lanskap sinema Asia Tenggara. 

Menanggapi terkait film barunya, Edwin berujar itu berupa respons atas era saat dirinya tumbuh pada medio 80-an hingga awal 90-an, ketika Indonesia berada di bawah rezim Suharto (Orde Baru/Orba). 

“Kalimat pembuka novel menyebut: “hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati…” Kekerasan terjalin dalam konstruksi maskulinitas. Dorongan Ajo Kawir berlaku brutal terkait langsung dengan impotensinya. Dia tidak bisa berhubungan seks, oleh karena itu dia berkelahi sebagai kompensasi yang berlebihan untuk menyatakan kejantanannya,” kata Edwin dalam wawancara tersebut, dikutip dari situs resmi Locarno, Senin (9/8).

Penonton akan melihatnya sebagai suatu lingkaran ketika menyadari impotensi Ajo disebabkan oleh tindakan kekerasan terhadap perempuan. 

Edwin menambahkan, setting waktu pada film ini sendiri merupakan masa ketika maskulinitas dipandang sebagai hal yang bernilai.

"Saya dibesarkan di era tersebut, dan itu membingungkan bagi saya, mengerikan sampai-sampai lucu - budaya hipermaskulin, militeristik yang dinormalisasi pada masa itu dan bagaimana hal itu menjadi lahan subur bagi ketidakadilan dan kekerasan untuk generasi mendatang," ungkapnya. 

Edwin yang pada film-film terdahulunya kerap ‘bermain’ untuk menantang prasangka konservatif terkait realitas politik-keagamaan Indonesia, juga percaya akan selalu ada cara untuk tetap mempertahankan kebebasan kreatifnya.

“Saya tidak ingin terlalu memikirkan kesulitan. Saya percaya, kita selalu bisa menemukan cara yang menyenangkan untuk menantang sensor dengan kekuatan sinema dan penceritaan,” terang sutradara peraih Piala Citra FFI itu.

Ia juga melihat, lanskap sinema Asia Tenggara yang masih tergolong muda, dan punya gairah yang semarak, tema-tema terkait sensor, kediktatoran, kolonialisme, dan pelanggaran HAM menjadi tema besar yang muncul.

“Dalam kultur Asia Tenggara yang beragam, saya mengharapkan banyak perspektif baru tentang isu-isu tersebut. Saya senang untuk belajar dari tiap suara yang muncul dan berharap akan ada lebih banyak lagi mendatang.” 

Selain berlaga di Locarno, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas pada September juga akan berlaga di Toronto International Film Festival (TIFF). Bagi Edwin, festival film selain cara untuk merayakan berbagi film dengan penonton baru, juga sebagai forum edukasi.

“Bertemu dengan komunitas internasional, saya dihadapkan pada pemikiran dan estetika baru. Sebagai pembuat film dan penonton, saya selalu menggali dan menelusuri kembali sebanyak mungkin selayaknya saya sebagai manusia." (M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya