Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
LIMA remaja putri berbaris berbanjar. Posisi mereka agak rendah dengan lutut sedikit ditekuk. Kedua kaki tidak dalam posisi sejajar. Salah satu kaki maju dengan meninggalkan kaki lain di belakang. Mereka bergerak badan maju mundur dengan menggunakan salah satu kaki sebagai tumpuan berat badan. Saat badan condong ke depan, kaki kanan bertugas menjadi pengampu berat. Sebaliknya, saat badan kembali posisi semula, giliran kaki kiri menjadi penopang. Secara bersamaan, lengan menjulur ke depan dengan posisi telapak terbuka. Jemari kedua tangan merapat, kecuali ibu jari yang berjarak dengan telunjuk. Gerakan tangan itu seolah isyarat bahwa mereka menerima dan mempersilakan tamu yang baru datang untuk masuk.
Kelima penari itu bergerak tari Ganjur. Masing-masing memakai busana yang berlainan warna. Atasan yang dipakai mirip kebaya. Kelima penari itu memakai atasan dengan warna hitam, kuning muda, kuning tua, ungu, dan kehijauan, sedangkan bawahan menggunakan kain panjang mirip seperti kain jarik. Sebagai pengikat kain bawahan, dibelitkan kain panjang mirip setagen yang biasa digunakan perempuan pascamelahirkan. Kelima penari itu ialah warga desa Tae, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Mereka menarikan tari Ganjur untuk menyambut tamu yang datang. Kebetulan, saat itu masyarakat Desa Tae tengah kedatangan tamu yang ingin melihat upaya masyarakat Tae dalam upaya merawat tanah adat.
Syukuran dan sambutan
Tari Ganjur biasa dilakukan saat upaya adat syukuran. Namun, tidak jarang pula ditampilkan sebagai pertunjukan dan penyambutan bagi tamu yang berkunjung. “Kalau untuk upacara adat ya tidak begitu, sedikit rumit,” terang Erni Liana, salah seorang relawan dari Institut Dayakologi. Sebelum tari dilakukan sebagai hiburan bagi tamu, para pemuka adat terlebih dahulu melakukan prosesi adat Nyamut Muai. Ini dimaksudkan untuk meminta keselamatan bagi tamu maupun tuan rumah. Prosesi tepat dilakukan di depan gapura penyambutan yang terbuat dari dua tiang bambu dengan kayu melintang di atasnya. Sementara itu, pelepah daun kelapa digantung berjuntai. Para tamu tidak diperbolehkan melewati batas juntaian daun kelapa itu.
Prosesi adat itu diawali dengan pembacaan mantra oleh pemuka adat. Pembacaan ini dibarengi dengan menyiratkan beras kuning ke arah rombongan tamu. Lalu salah seorang perwakilan rombongan diminta untuk menyembelih ayam jantan yang darahnya ditadahi dalam mangkuk. Darah dalam mangkuk tersebut kemudian di-calek-kan (sentuh/oles) pada tiap-tiap tamu dengan sehelai bulu ayam. Itu belum selesai. pengunjung harus mengkonsumsi salah satu yang tersaji di atas dulang. Beberapa di antaranya ada pinang, gambir, rokok daun, dan sirih yang ditempatkan dalam bokor kecil. Namun, jika tidak terbiasa mengunyah sirih atau merokok daun, para tamu cukup menyentuh bokor kecil tersebut. Seusai semua prosesi, para tamu diperbolehkan melewati gapura penyambutan. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved