Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
APLIKASI pemeriksaan kulit yang sedang dikembangkan Google, sudah mendapat kritik dari ahli kesehatan. Mereka khawatir bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) itu bisa menghasilkan diagnosis berlebihan.
Pada konferensi teknologi di Amerika Serikat pada Selasa (19/5), Google mengungkapkan jika pengembangan aplikasi itu berdasarkan tingginya pencarian terkait masalah kulit. Ada hampir 10 miliar pencarian Google terkait masalah kulit, kuku, dan rambut setiap tahunnya.
Pengguna aplikasi dapat menggunakan ponsel mereka untuk mengambil tiga gambar kulit, rambut, atau kuku dari berbagai sudut. Aplikasi kemudian akan mengajukan pertanyaan kepada pengguna tentang jenis kulit mereka, sudah berapa lama mereka mengalami masalah tersebut, dan gejala lain yang membantu mempersempit kemungkinan.
"Model kecerdasan buatan menganalisis informasi ini dan mengambil dari pengetahuannya tentang 288 kondisi untuk memberi Anda daftar kemungkinan kondisi yang cocok yang kemudian dapat Anda teliti lebih lanjut," kata Google, seperti dikutip dari theguardian.com, Kamis (20/5).
"Alat ini tidak dimaksudkan untuk memberikan diagnosis atau menjadi pengganti nasihat medis, karena banyak kondisi memerlukan tinjauan dokter, pemeriksaan langsung atau pengujian tambahan seperti biopsi. Sebaliknya, kami berharap ini memberi Anda akses ke informasi otoritatif sehingga Anda dapat membuat keputusan yang lebih tepat tentang langkah Anda selanjutnya," lanjut Google.
Presiden dari Australasian College of Dermatologists, Dr Andrew Miller, mengatakan bahwa memang benar ada kekurangan dokter kulit di seluruh dunia, sehingga sulit bagi orang yang memiliki kekhawatiran untuk menemui spesialis.
"Di seluruh dunia ada sekitar 100.000 dokter kulit, dan mengingat ada hampir delapan miliar orang di dunia, itu adalah kekurangan yang luar biasa. Kami juga mengalami maldistribusi lebih banyak di kota dan daerah kaya dan lebih sedikit di daerah pedesaan dan tertinggal. Jadi saya benar-benar memahami bahwa masalah akses menjadi prioritas," jelasnya.
Namun Miller melihat bahwa jawaban dari persoalan itu adalah berkolaborasi dokter umum dengan dokter kulit, bukan kecerdasan buatan (AI). Di AS, pemerintah menjanjikan subsidi bagi program telehealth, yakni pemeriksaan kulit secara tidak langsung. Namun gambar, baik foto ataupun video, kerap berkualitas buruk sehingga dokter kulit sulit memberikan diagnosa dengan tepat.
"Yang kami inginkan adalah subsidi untuk dapat bekerja dengan dokter yang akan menghubungi kami dengan riwayat pasien, dan yang dapat mengambil foto berkualitas baik untuk kami dan mengirimkannya. Kami kemudian dapat meluangkan waktu untuk menganalisisnya dan dengan persetujuan pasien, bekerja sama dengan dokter umum mereka untuk membuat rencana perawatan," paparnya.
Selain itu, ia juga mengutarakan rasa khawatir akan aplikasi yang dibuat Google. "Saya khawatir dengan komputer, orang mungkin mengabaikan saran untuk menemui dokter, atau algoritme mungkin melewatkan sesuatu yang rumit. Saya juga khawatir mereka mungkin salah memahami pertanyaan yang diajukan oleh aplikasi," ungkapnya.
Sementara itu, asisten profesor dan rekan karier dini NHMRC dengan Institut Perawatan Kesehatan Berbasis Bukti Universitas Bond, Dr Ray Moynihan memaparkan akan kekhawatiran tsunami overdiagnosis lewat aplikasi cerdas ini.
"Ada kekhawatiran besar bahwa masuknya Big Tech ke layanan kesehatan akan membawa tsunami overdiagnosis karena ada banyak uang yang bisa dihasilkan untuk memberi tahu orang sehat bahwa mereka sakit," paparnya.
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2020 di Medical Journal of Australia menemukan 58% melanoma didiagnosis berlebihan, atau 24% dari semua diagnosis kanker.
"Sudah ada bukti kuat dari banyak overdiagnosis kanker kulit dan penerimaan alat skrining baru yang terlalu antusias dapat membuat masalah jauh lebih buruk," kata Moynihan.
"Tentu saja ada kemungkinan bahwa penggunaan beberapa teknologi baru ini secara bijaksana dapat mengurangi masalah overdiagnosis, dengan lebih baik membedakan antara masalah ganas dan jinak tetapi itu akan membutuhkan evaluasi risiko dan manfaat yang cermat oleh para peneliti dan pembuat peraturan independen," lanjutnya.
Dia juga mengungkapkan potensi kerugian terbesar dari aplikasi besutan Google tersebut. "Salah satu potensi kerugian terbesar adalah diagnosis yang tidak perlu, dan bahaya, kecemasan, dan pemborosan yang dapat ditimbulkan" tambahnya.
Namun ada beberapa bukti bahwa AI memiliki potensi diagnostik. Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam jurnal Nature menemukan jaringan kecerdasan buatan mampu mengklasifikasikan kanker kulit dengan tingkat kompetensi yang sebanding dengan ahli kulit. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved