Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
MENYEBUT Saparua di Bandung maka orang umumnya akan merujuk pada gelanggang olahraga. Namun pada era pertengahan 60-an hingga 70-an, Saparua adalah skena bagi musik punk rock Kota Kembang.
Kisah sisi lain Saparua itulah yang diangkat ke dokumenter bertajuk Gelora Magnumentary: Saparua, yang disutradarai Alvin Yunata, gitaris band Teenage Death Star dan salah satu pendiri lembaga nirlaba arsiparis musik Irama Nusantara.
“Kami yang berada di balik pembuatan dokumenter ini sudah sepakat sejak awal, obyektifnya adalah tentang gedungnya. Jadi akhirnya perspektifnya berangkat dari GOR Saparua. Bagaimana ada pertunjukan musik sejak awal, dan dari masa ke masa,” kata Alvin dalam konferensi pers virtual, Selasa, (30/3).
Drummer Seringai Edy Khemod yang juga direktur kreatif Cerahati mengungkapkan pembuatan dokumenter itu ljuga ahir atas kesadaran dokumentasi tentang musik, khususnya skena musik keras dan independen masih masih minor. “Kenapa kami ambilnya adalah fokus di bangunannya, karena uniknya di Bandung itu punya ruang publik. Kalau di Jakarta kan mungkin kelompok musik dari kafe ke kafe. Nah, di Bandung ada ruang publik yang bisa dikuasai segerombolan anak punk rock. Jadi ingin melihat kenapa itu bisa terjadi. Bagaimana latar belakangnya, sampai sekarang,” papar Khemod dalam kesempatan sama dengan Alvin.
Aneka Nada tercatat menjadi band yang pertama kali manggung di Saparua, Bandung pada medio 1963. Aneka Nada kala itu digawangi di antaranya oleh Sam (Bimbo) dan putra presiden RI Sukarno, Guntur Sukarno Putra.
Penggalian arsip dituturkan keduanya menjadi yang paling repot. Untuk jejak era 1980-an, mereka mencari arsipnya ke beberapa media di Jawa Barat, seperti Aktuil dan Pikiran Rakyat. Sementara, meski keduanya juga sempat ikut merasakan manggung pada medio 90-an, justru arsip pada era itu lebih sulit didapatkan.
“Yang jadi nature-nya Saparua adalah kolektif. Berkoneksi satu sama lain. Etos yang dibawa dari dulu zaman Aneka Nada sampai ke belakang, adalah jiwa kolektif. Dengan etos kolektif, itu menjaga ekosistem berjejaring, bagaimana merek bertahan bersama. Solid. Itu yang perlu tetap dimiliki sampai sekarang juga sih,” papar Alvin.
Saat ini, dokumenter tersebut masih dalam proses perampungan produksi dan direncanakan rilis ke publik pada Juni tahun ini. Selain dokumenter, Alvin mengungkapkan jika nantinya juga bakal ada ide untuk film panjang dan beberapa inisiatif aktivitas dengan menggandeng Lance Mengong sebagai pengembangan produksi dan ekosistem. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved