Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Pandemi covid-19 telah membuat rasa takut, kecemasan, dan kesepian meningkat sepanjang tahun lalu. Sebuah laporan yang diterbitkan Kementerian Kesehatan Inggris pada September 2020 menyebutkan jika keluhan kecemasan dan rasa takut meningkat di kalangan warga mereka.
Rasa takut memang sebuah hal wajar yang dialami manusia. Namun rasa takut yang berkepanjangan dan berlebihan juga harus diwaspadai karena bisa berpengaruh buruk pada kehidupan sosial.
Dilansir dari Psychologytoday, Rabu (6/1) Profesor Psikologi Sosial dan Organisasi di University of Exeter,Inggris, Manuela Barreto, Ph.D., mengingatkan bahwa rasa takut bisa membuat perpecahan sosial.
"Yang paling jelas, orang akan berusaha menjauhkan diri dari orang yang mereka takuti, dan mereka sering takut pada orang yang tidak mereka kenal," ungkap profesor ahli bidang marginalisasi, stigma, identitas, dan hubungan sosial.
Contohnya, kata dia, orang-orang dari kelompok ras, agama, atau bangsa yang berbeda sering kali takut satu sama lain. Rasa takut bahkan dapat menyebabkan orang merendahkan orang lain yang biasanya tidak ditakuti, hanya karena berbeda atau tidak dikenal.
"Seperti ketika serangan terhadap individu penyandang disabilitas yang meningkat di Inggris setelah serangkaian serangan teroris," kata dia.
Bahkan ketakutan insidental atau ketakutan yang tidak secara langsung terkait dengan penilaian yang dibuat dapat meningkatkan jarak sosial atau mengurangi empati terhadap orang lain.
Misalnya, mendengar suara yang menakutkan, melihat gambar yang menakutkan, atau memikirkan tentang ancaman Covid-19, dapat mengurangi empati yang dirasakan seseorang atas rasa sakit yang dialami oleh anggota luar kelompok, yang disebut bias empati.
"Artinya, kemampuan kita untuk bersatu dengan orang lain dalam menghadapi ancaman berakar pada rasa kesamaan nasib dan identitas dan dibatasi oleh batasan kelompok," tambahnya.
Dia menyebut, banyak politisi yang secara intuitif mengetahui hal ini dan membangun ketakutan ke dalam retorika mereka untuk mendorong sentimen kesukuan.
Bagi para politisi, memicu ketakutan memjadi dua kali lebih efektif dalam mempolarisasi suara daripada pesan tanpa rasa takut. Namun, implikasi dari bias empati terhadap kebijakan sosial tidak selalu signifikan, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan mengandalkan niat baik masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial.
"Untuk itu, sangat menggembirakan melihat begitu banyak pekerjaan baik dan sukarela yang dilakukan oleh komunitas selama pandemi Covid-19 dan orang mungkin tergoda untuk melihat ini sebagai demonstrasi murni kebaikan manusia," pungkasnya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved