Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
UPACARA larung sesaji di Pantai Tambakrejo, Blitar, Jawa Timur, diselenggarakan setiap tahun sekali. Tepatnya pada awal Suro dalam penanggalan Jawa atau Muharam dalam penanggalan Islam. Upacara itu tepatnya diadakan di Pantai Tambakrejo, Desa Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar.
Penyelenggaraan upacara itu selalu dihadiri banyak pengunjung, baik penduduk sekitar Desa Tambakrejo maupun warga Kabupaten Blitar. Beberapa pengunjung bahkan ada yang datang dari luar daerah. Selain sebagai hiburan, itu diharapkan sebagian dari mereka dapat membawa manfaat berupa doa keselamatan dari ritual itu.
Pelaksana upacara larung sesaji ini ialah penduduk Desa Tambakrejo. Panitia intinya ialah jajaran pengurus desa dengan dukungan dari seluruh masyarakat. Menurut sejarahnya, upacara itu dilakukan pertama kali oleh Admowijoyo pada 1838, ketika ia mulai bermukim di kawasan Pantai Tambakrejo. Admowijoyo merupakan prajurit pasukan Diponegoro yang kalah dalam peperangan melawan Belanda pada 1830-an. Admowijoyo bersama 11 prajurit lainnya tidak mau tunduk pada Belanda dan menyingkir ke kawasan Tambakrejo, Blitar, Jawa Timur.
Upacara itu secara turun-temurun diselenggarakan keturunan Admowijoyo di Pantai Tambakrejo. Dalam perkembangannya, yang terlibat tidak hanya warga desa setempat, tetapi juga masyarakat Blitar. Mereka berbondong-bondong ke Pantai Tambakrejo malam sebelum penyelenggaraan upacara larung sesaji. Ada yang menepi (merenung) di kawasan pantai, menonton wayang kulit, hingga sekadar jalan-jalan.
Tujuan upacara
Pada saat Admowijoyo bersama 11 rekannya di kawasan itu, Tambakrejo masih berupa hutan lebat dengan pepohonan besar yang dihuni makhluk gaib yang sering mengganggu manusia. Karena itu, Admowijoyo mengadakan upacara larung sesaji agar mereka bisa tinggal di kawasan itu tanpa diganggu makhluk gaib. Upacara itu kemudian menjadi ritual wajib bagi seluruh warga Tambakrejo dan keturunannya hingga hari ini.
Namun, dalam perkembangannya, tujuan upacara larung sesaji itu merupakan simbol permohonan keselamatan kepada Tuhan dan curahan rasa syukur atas segala kenikmatan yang diterima selama setahun waktu yang telah lewat. Tujuan itu disebut mimetri dalam bahasa Jawa setempat.
Upacara itu juga merupakan bentuk komunikasi dengan Mbok Ratu Mas, yang dianggap makhluk gaib yang berdiam di kawasan Laut Selatan. Dalam kepercayaan masyarakat Tambakrejo, sebagai sesama makhluk Tuhan, mereka harus menjalin komunikasi agar terdapat saling menghormati dan bisa hidup berdampingan. Kawasan Tambakrejo sebelum Admowijoyo datang merupakan tempat angker, banyak makhluk gaib, dan tidak bisa dihuni manusia. Kedatangan Admowijoyo, selain membabat hutan, bertujuan meminta para makhluk gaib untuk menyingkir ke laut dan tidak mengganggu manusia.
Karena itu, sesajian dan proses pelarungan pada upacara larung sesaji disebut caos dalam bahasa Jawa setempat. Caos artinya menyuguhkan, menyajikan, memberikan sesuatu kepada seseorang. Caos yang disuguhkan kepada Mbok Ratu Mas ialah hasil bumi yang dihasilkan bumi Desa Tambakrejo.
Proses upacara
Upacara larung sesaji pada saat ini telah jauh berubah. Perubahan itu meliputi perlengkapan sesajiannya, rangkaian acara, dan waktu penyelenggaraan. Sesajian pada masa awal Admowiyojo berupa tumpeng emas, kepala kambing wendit, cok bakal, 4 takir plontang, dan arang-arang kambang. Sesajian ditaruh dalam sebuah tampah kemudian dilarung (dilepas) ke laut setelah dipanjatkan doa. Penyelenggaraan upacara itu dilaksanakan pada pukul 10 malam. Lantaran 1 Suro awal bulan, bisa dipastikan langit gelap tanpa cahaya bulan.
Semenjak 1984 hingga kini, upacara larung sesaji telah banyak berubah. Sesajian untuk larung yang pada awalnya hanya satu tampah berubah menjadi lebih banyak jenisnya dan ukurannya menjadi besar. Dalam larung sesaji yang baru terdapat tumpeng gunung atau tumpeng derajat unggul setinggi 1,5 meter dan diameter 1 meter. Kemudian ada tumpeng buah 1,5 meter dengan diameter 1,5 meter. Kemudian ada kepala sapi yang untuk menggantikan kepala kambing wendit. Selain itu, ada tumpeng palawija dan kemenyan. Terakhir satu pikul berisi sesaji asli dari Admowijoyo.
Sesaji itu diarak dari Kantor Desa Tambakrejo menuju pinggir Pantai Tambakrejo yang berjarak 1,5 km. Arakarakan itu diikuti 8 gadis, 2 di antaranya bertugas membawa 2 bejana berisi bunga setaman. Selain itu, ada delapan prajurit dari para pemuda. Juru kunci larung sesaji, yaitu Mbah Sangkrah, diikuti dua sinden di kanan-kirinya. Kemudian ia diikuti Kepala Desa Tambakrejo, aparat, dan warga setempat.
Sesampainya di pinggir pantai, ada banyak kegiatan digelar seperti pentas seni tari. Acara intinya ialah doa atau mantra yang dipanjatkan Mbah Sangkrah di depan sesajian. Setelah doa selesai, sesajian diarak lagi menuju bagian barat pantai Tambakrejo yang jaraknya sekitar 2 km. Di sana sudah siap beberapa kapal untuk melarung sesajian. Siapa saja boleh ikut ke tengah laut untuk melarung sesajian, kecuali Mbah Sangkrah.
Sekalipun ada perubahan dalam jenis sesajian, prosesi, dan pihak yang terlibat, ada satu yang tidak boleh berubah, yaitu seperangkat sesajian dari Admowijoyo. Apabila ada yang berubah dari sesaji asli itu, masyarakat percaya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya, sesajian yang dilarung di laut akan kembali ke Pantai Tambakrejo. Artinya, sesajian mereka belum lengkap sehingga larung belum bisa diterima. Karena itu, para sesepuh desa harus mengadakan larung sesaji lagi secara tersendiri dan dalam skala kecil.
Sebelum prosesi
Sebelum dimulai larung sesaji pada pagi hari, sorenya diselenggarakan selamatan dan pertunjukan wayang. Selamatan itu dihadiri warga Desa Tambakrejo. Pertunjukan wayang itu terdiri dari dua, yaitu wayang kulit dengan lakon tertentu dan wayang kulit sukerto atau ruwat. Penyelenggaraan selamatan dan pergelaran wayang itu ialah acara bersih desa Desa Tambakrejo.
Dalam konsep budaya Jawa, bersih desa itu bertujuan seisi desa lepas dari segala gangguan yang akan menimpa desa tersebut di tahun yang akan berjalan. Bersih desa itu merupakan sarana komunikasi dengan danyang desa untuk turut serta menjaga keselamatan seluruh warga.
Rangkaian kegiatan bersih desa dan upacara larung sesaji bisa dibilang sebagai permohonan keselamatan dan syukur atas apa yang terjadi di darat dan di laut Desa Tambakrejo. Mereka mengharapkan bisa hidup damai dengan hasil bercocok tanam serta selamat dan memperoleh ikan melimpah. Tujuan keselamatan dan kelimpahan rezeki itu mereka arahkan kepada Tuhan pencipta semesta. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved