Hobi di Masa Pandemi

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
25/10/2020 03:35
Hobi di Masa Pandemi
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

SAYA senyum-senyum sendiri ketika membaca salah satu laporan di New York Times yang diunggah pada 19 Oktober 2020. Judul artikelnya cukup menggelitik dan bikin penasaran Got Crystals? Gem Mining Could Be Your Full-Time Job. Inti ceritanya, di ‘Negeri Paman Sam’, salah satunya di daerah Montana, Carolina Utara, orang kini gandrung mencari berbagai jenis batu. Mulai batu bulan, kecubung, zamrud, hingga kristal.

Mereka, bahkan rela membayar US$10-US$15 per hari untuk menyewa lahan tambang guna mencari batu-batu tersebut. Kegiatan ini tentunya menguntungkan bagi si pemilik lahan dan juga para penambang (jika mereka beruntung menemukan batu berharga yang dicari). Konon harganya bisa mencapai ribuan dolar. Sebagian dari mereka ialah wisatawan mancanegara. Biasanya mereka datang pada April hingga November.

Merebaknya wabah korona, memang sempat mengkhawatirkan pemilik penyewaan lahan ini lantaran minimnya wisatawan. Namun, kenyataannya, ada saja yang datang, terutama warga lokal. “Akhir-akhir ini, setiap hari malah seperti akhir pekan,’ kata Renee Sciado Shevat, salah seorang pemilik lahan. Dia pun bingung memikirkan bagaimana mengatur para penambang amatiran ini agar tidak berkerumun.

Meski ceritanya tidak sama persis, fenomena ini mengingatkan saya pada ‘zaman batu’. Era ketika orang di sejumlah kota besar di negeri gemah ripah loh jinawi ini dilanda demam batu akik. Bagaimana fenomena sosial yang merebak sekitar lima atau enam tahun silam itu bermula, tak jelas. Konon dari jejak digital yang saya baca di salah satu media daring, gara-garanya seorang pejabat mengenakan salah satu jenis batu cincin yang harganya jutaan rupiah.

Entah benar atau tidak, yang pasti sejak saat itu banyak orang, tua-muda di berbagai kota, dari pagi hingga malam, jadi sibuk menggosok akik. Sebuah rumah di Cilandak, Jakarta Selatan, bahkan pernah digeruduk orang karena mereka percaya di lahan kebun di rumah tersebut, konon terdapat banyak batu hias yang dapat diolah menjadi akik.

Mereka, para pemburu batu ini, malah ada yang nekat mendatangi berbagai tempat hingga pelosok terpencil, untuk mencari ‘batu bertuah’ yang diimpikan. Sesuai hukum pasar, batu-batu langka, seperti Kalimaya, Safir, dan Merah Delima pun akhirnya jadi primadona. Syahdan, harganya pun ikut berkilau, bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta.

Meski sempat booming serta masuk agenda liputan khas berbagai media, entah mengapa fenomena kilau akik itu akhirnya redup sendiri. Meski kini masih ada satu-dua penjual batu di pinggir jalan, kondisinya tidak sama seperti dulu. Jarang lagi terlihat orang berhimpun merubung mesin gerinda atau penjual batu cincin di pinggir jalan. Begitu pun pusat perkulakan batu akik, baik di mal menengah-bawah maupun pasar tradisional, seperti di Rawa Bening dan Jatinegara, kini sepi pembeli.

Namun, bagi seorang stone lovers (pencinta batu) sejati, apalagi punya sedikit naluri bisnis, kenyataan ini seharusnya tak perlu membuat kecil hati. Ingat, pasar selalu bisa dikreasi. Buktinya tanaman hias, sepeda, atau ikan cupang yang kini tengah digandrungi banyak orang.

Mereka pada dasarnya juga bukan ‘barang baru’ kok. Artinya, dari dulu yang memelihara janda bolong/Monstera adansonii, lidah mertua/Sansevieria, maupun aglonema (jenis-jenis tanaman hias yang kini populer), sudah ada. Begitu juga mereka yang bermain BMX, road bike, dan mountain bike. Namun, sekarang hobi itu ngetren lagi. Ditekuni orang biasa hingga pesohor.

Mengoleksi atau memoles bongkahan batu hingga memiliki nilai artistik tinggi, semestinya juga bisa kembali menjadi salah satu hobi alternatif pengisi waktu senggang. Syukur-syukur bisa menambah penghasilan di masa sulit ini. Asal, tentu saja, menggosok dan memolesnya di rumah, bukan lagi di tepi jalan. Menjualnya pun cukup lewat online sehingga dengan begitu, tidak memicu kekhawatiran munculnya klaster baru, klaster akik. Kasihan nanti Tim Satgas Penanganan Covid-19.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya