Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
Mitos dan kelokalan memang jarang disentuh oleh jurnalistik. Itulah sebabnya, membaca buku Parade Hantu Siang Bolong: Kumpulan Reportase Jurnalistik Menyoal Mitos dan Lokalitas karya Titah AW bakal membuka cakrawala baru. Begitulah jurnalistik, seni bertutur dan mewarta yang bisa dijadikan penjelas, bahkan bagi hal yang paling absurd.
Buku itu berisi 16 reportase jurnalistik-sastrawi yang terkait peristiwa di seputar isu mitos dan lokalitas. Dua tema itu memang seolah berjarak, tapi kenyataannya begitu lekat di keseharian.
Titah menyusuri narasi dari puncak Gunung Langgeran yang sunyi hingga riuhnya pentas kesurupan massal di Banyumas, misalnya. Tak ketinggalan, ia juga turut dalam perburuan pusaka leluhur hingga konferensi alien tahunan.
Coba saja temukan sensasi pembacaan lewat Turangga Seta Mengungkap Peradaban Kuno Indonesia Lewat Petunjuk Leluhur. Di dalamnya, pembaca akan menemukan obsesi untuk membuktikan peradaban Nusantara tak kalah dari bangsa lain. Uniknya, pembuktian itu dilakukan komunitas Turangga Seta dengan menolak metode ilmiah. Sebagai gantinya, mereka memilih jalan klenik. Berhasilkah? Yang jelas, mereka mengklaim menemukan piramida, pusaka, hingga Atlantis di Samudra Hindia. Atlantis ternyata tak jauh, hanya 200 mil dari pantai selatan Pulau Jawa.
'Bersembunyi dalam sebuah kubah emas yang kelewat canggih untuk dideteksi ataupun ditembus teknologi masa kini' (hlm 84).
Pada satu bagian, penulis mengupas pemakaman seorang penghayat aliran keyakinan yang tak lain ialah bapaknya. Ia bertutur dengan gaya yang amat lentur sembari mengajak pembaca menjelajahi tiap peristiwa. Pemakaman ala agama untuk seorang penghayat kepercayaan tentu tak bisa dilepaskan dari cengkeraman lingkungan sekitar.
Bapaknya dimakamkan secara Islam sebab harus berkompromi dengan sekitar.
'Terima kasih Bapak, saya minta maaf belum punya kuasa untuk bernegosiasi dengan tetangga-tetangga dan memakamkan Bapak dalam cara Kapribaden, tapi saya yakin Bapak tidak keberatan. Dalam jalan kita masing-masing, kita semua satu. Rahayu!' (hlm 53).
Ia juga membahas Tinder ala Jawa. Dipaparkannya prosesi cari jodoh yang tidak sekadar geser jari ala aplikasi media sosial. Golek Garwo, demikian nama acara yang menjadi semacam Tinder di dunia nyata. Dilingkupi anggapan tabu dan dianggap tidak laku, ternyata ada saja peserta yang ikut. Prinsipnya, jodoh adalah kebutuhan dasar manusia.
Titah AW juga khusus menyorot teror klitih yang merajai jalanan malam Yogyakarta. Klitih, dalam bahasa Jawa, berarti keluyuran tak tentu arah. Maknanya jadi dekat dengan kekerasan karena dinamika permusuhan antargeng SMA di Yogyakarta. Hanya saja ada pergeseran pola klitih dari zaman dulu dengan sekarang. Jika dulu ada semacam aturan tak tertulis yang patut dipatuhi, sekarang tidak lagi. Dulu, klitih hanya menyasar target tertentu, kini semua orang bisa dijadikan sasaran.
'Karena hanya populer di Yogyakarta, klitih seperti telah menjadi kearifan lokal yang susah dihabisi' (hlm 215). (Zuk/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved