Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Strategi Korea

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
20/9/2020 03:30
Strategi Korea
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

AWAL September lalu, Dynamite, lagu milik boyband Korea, BTS, menempati posisi teratas Billboard Hot 100 Amerika. Selain mereka, Ice Cream, tembang riang yang dilantunkan gadis-gadis energik Korea, Blackpink, berada di peringkat delapan tangga lagu tersebut.

Berkat prestasi itu, para Army (sebutan untuk fan BTS) membandingkan musikus idola mereka dengan band legendaris Inggris, The Beatles. Netizen pun geger. Pro-kontra muncul, terutama di kalangan Beatlemania.

Mungkin harapan para Army itu terdengar berlebihan meski bukan pula sesuatu yang mustahil. Itu karena sepanjang karier mereka, The Beatles telah menempatkan 21 lagunya di puncak tangga lagu tersebut.

Belum di chart-chart lainnya di sejumlah negara. Artinya, meminjam lagu The Beatles, The Long And Winding Road, perjalanan BTS masih panjang dan berliku untuk menyamai prestasi John Lennon dkk.

Bagi saya, apa yang diraih BTS dan dedek-dedek gemas Blackpink tidaklah mengejutkan. Seperti juga apa yang dicapai film produksi Korea, Parasite, yang awal tahun ini menyabet sejumlah penghargaan, termasuk best picture, di ajang Piala Oscar. Itu karena bersama sejumlah drama televisi yang menghipnotis para istri dan anak remaja kita saat ini, mereka merupakan produk industri kreatif yang telah lama dipersiapkan pemerintah Korea (Selatan, tentu saja) untuk menginvasi dunia.

Tidak seperti saudara mereka di utara yang mengandalkan bedil dan misil, pemerintah Korsel lebih mengandalkan kekuatan tak kasatmata atau soft power. Kekuatan tak terlihat yang dimiliki suatu negara melalui citranya ketimbang kekuatan (senjata). Langkah ini telah lebih dulu dipilih Amerika melalui film-film Hollywood serta berbagai produk budaya pop lainnya sebagai salah satu strategi hegemoni di bidang sosial-ekonomi.

Pertanyaannya, mengapa Korea menggunakan cara yang telah lebih dari lima dekade digunakan dan didominasi AS ini? Nekatkah mereka? Bisa dibilang iya. Namun, bukan bondo nekat, tanpa perhitungan. Mereka telah lama mengamati negara dunia ketiga di Asia, Eropa Timur, Afrika, serta Timur Tengah sebagai pasar potensial yang ketika itu dianggap masih tidur. Soal mereka kini mampu menembus industri musik Amerika, menurut saya, itu hanya bonus.

Langkah ini bermula sejak munculnya era world wide web pada awal 1990-an. Pemerintah Korsel mulai membangun jaringan internet berkecepatan tinggi sebagai infrastruktur penunjang untuk mewujudkan mimpi tersebut. Euny Hong, jurnalis berkebangsaan Korea yang menetap di Amerika dalam bukunya, Korean Cool: Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya Pop Korea, menyebut pemerintah Korea merasa penyebaran budaya mereka ke penjuru dunia tergantung pada kehadiran internet.

Mereka pun rela menyubsidi akses internet untuk warga miskin, orang tua, dan kaum disabilitas. Mereka berpendapat, produk-produk budaya ini, tidak ada gunanya jika cuma segelintir yang menikmati. Mereka mulai dari dalam negeri, sebelum mengekspor semua produk budaya tersebut ke luar.

Hebatnya, strategi ini juga didukung swasta. Seperti halnya pemerintah Korsel, mereka pun punya strategi lima tahunan. Dalam artikelnya di Asian Venture Capital Journal, South Korea VC: State Subsides, Adrew Woodman menyebut, pada 2012 pemerintah mengucurkan lebih dari 25% dari keseluruhan modal perusahaan yang dipakai perusahaan di Korea. Uniknya, sepertiganya dihabiskan untuk menopang industri hiburan.

Ketika industri rekaman Korsel rugi karena unduhan musik ilegal pada 2009, pemerintah pun menyuntikkan US$91 juta (sekitar Rp1 triliun) sebagai dana bail out.

Empat tahun silam, bersama beberapa jurnalis ASEAN lainnya, saya ikut menyaksikan keberpihakan pemerintah Korsel pada industri kreatif ini. Ketika itu, kami mengunjungi sebuah gedung mewah di Seoul, yang bernama K-Style Hub. Di gedung ini diperlihatkan berbagai peralatan canggih yang dipersiapkan untuk menopang industri hiburan, seperti virtual reality dan hologram.

Selain itu, di sana juga dipamerkan berbagai produk budaya Korea, termasuk busana tradisional serta kuliner. Di sebuah ruangan khusus makanan yang serbadigital, misalnya, mereka pertontonkan berbagai penganan khas negeri tersebut. Berbagai bumbu masakan diletakkan dalam toples dan meja berlapis kaca, berikut asal-usul serta cara meraciknya.

Bangsa Korea begitu bangga pada produk budaya mereka. Terus terang saya iri. Negara yang di era 1950-an masih di amuk perang saudara itu, kini bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Sementara itu, di negeri ini, sebagian elitenya malah sibuk berlomba jadi seleb di dunia maya, di tengah jeritan para guru dan murid yang kehabisan kuota.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
  • Politik Beras

    03/3/2024 05:00

    Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.

  • Dunia yang tidak Baik-Baik Saja

    25/2/2024 05:00

    Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.

  • Kedaulatan Pangan

    18/2/2024 05:00

    ISTRI saya mengeluhkan harga beras mahal.

  • Orkestrasi Moral

    04/2/2024 05:00

    WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari

  • Katakan dengan Masker

    18/6/2023 05:00

    Seperti halnya virus korona, bentuk patologi sosial semacam itu kini juga masih ada dan bergentayangan. Mereka cuma bermutasi menjadi bentuk lain, dari yang kelas teri hingga kakap.

  • El Nino

    11/6/2023 05:00

    Ditambah dampak fenomena El Nino, bisa dibayangkan bagaimana ‘kerasnya’ hidup di Ibu Kota dalam beberapa hari ke depan.