Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SUATU hari, cuaca begitu cerah. Birunya langit terlihat jelas dengan gumpalan awan putih yang tak begitu tebal sehingga mata bisa menembusnya.
Area sawah di perbukitan yang ijo royo-royo dengan model pertanian terasering mengundang mata untuk terus menikmatinya. Indah. Hari itu, sebutan Nusantara laksana zamrud khatulistiwa nyata adanya.
Pemandangan yang indah itu unik. Tidak membentang dari selatan ke utara atau dari barat ke timur. Tapi melingkar. Titik awal sawah bertemu dengan titik akhir. Begitu juga dengan birunya langit. Hijaunya sawah melingkari birunya langit. Seolah berputar. Bagaikan foto 360 derajat yang belakangan sedang tren.
Tapi itu bukan foto, bukan pula gambar citra satelit. Itu adalah lukisan karya Dadi Setiyadi, seorang seniman asal Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sekarang tinggal di Bantul, DI Yogyakarta. Re Fresh, kata Dadi, menyebut judul karyanya.
Karya Dadi berukuran 150x150 cm dengan media acrylic on canvas bertarikh 2020 itu adalah lanskap 360 derajat yang terilhami dari pandemi covid-19 yang sekarang sedang terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Katanya, alam semesta sedang me-refresh dirinya untuk
kembali normal.
Seperti komputer, kalau kita sedang me-refresh sistem, maka kursor terlihat berputar, sama dengan yang terjadi pada alam semesta. Alam akan berputar lantaran sedang refresh. “Itu sebuah pengandaian,” katanya.
Re Fresh karya Dadi itu dipamerkan berbarengan dengan dua karyanya yang lain. Semuanya tentang alam semesta. Yakni, 1 karya lukis berjudul Membumi (After Monalisa) dan 1 karya instalasi berjudul Daun to Earth.
Adalah Jogja Gallery, ruang pameran karya seni yang memajang karya-karya Dadi Setiyadi. Karyanya tak sendirian, ada puluhan karya lain dari belasan seniman yang ikut dalam pameran bertajuk Du-Wow.
Ada dua kelompok seniman yang bertemu dalam pameran itu. Kelompok Tenggara yang beranggotakan Agus Baqul Purnomo, Dadi Setiadi, Heri Purwanto, Luddy Astaqgis, Sumbul Pranov, Saftari, Suryadi Suyamtina, dan Yaksa Agus, serta kelompok seniman dari Liquid Colour yang beranggotakan Endro Banyu, Muji Harjo , Roadyn Choerudin, dan Sigit Raharjo.
Keduanya memiliki ciri khas tersendiri. Kelompok Tenggara yang sering mengetengahkan pesanpesan dalam jejak tradisi tutur dan kearifan lokal sebagai karya visual. Adapun Liquid Colour adalah kelompok seniman yang anggotanya memiliki kecenderungan berkarya dengan pendekatan realistik.
“Kami mempertemukannya,” kata Daru Artono, pengelola Jogja Gallery.
Meski punya ciri khas masingmasing, keduanya bisa berkolaborasi dan saling mengisi dalam pameran Du-Wow yang berlangsung sejak awal sampai 25 Agustus nanti.
“Jadinya menarik,” imbuh Daru. Gotong royong Tak ada tema khusus dalam pameran bertajuk Du-Wow yang digelar pada 1-25 Agustus ini. Kedua kelompok masing-masing menampilkan karya yang wow serta merespons situasi yang sedang terjadi.
Masuk ke Jogja Gallery, karya instalasi Dadi Setiyadi berjudul Daun to Earth sudah menunggu di ruang depan. Sebuah pohon dengan dedaunan yang terbuat dari aksara Jawa. “Dedaunan itu dari huruf aksara Jawa baris ketiga,” kata Dadi yang juga ketua Kelompok Tenggara.
Masuk ke ruang bagian dalam, belok kanan, di tembok paling selatan, ada sebuah karya lukis berukuran paling besar. Ukurannya 580x200 cm, bertarikh 2019, dengan judul Power of Jawa. Sebuah karya kolaborasi dari kelompok Liquid Colour.
Sebuah lukisan yang menceritakan spirit kegotongroyongan semua penghuni alam semesta dalam proses pembangunan Borobudur. Dalam lukisan dengan warna dominan cokelat itu, sekilas lukisannya memang terlihat menyatu. Tapi jika diamati lebih jeli, terlihat 4 panel. Masing-masing memiliki gambaran sendiri.
Di panel paling kanan atau pertama terlihat sejumlah orang sedang meriung dalam gubuk. Mereka beristirahat dan menikmati makanan. Ada juga yang sedang mengobrologobrol asyik. Sementara di panel kedua terlihat sejumlah orang sedang menata dan memahat batu.
Sebagai latar belakang dua panel itu, bangunan Candi Borobudur terlihat megah berdiri. Di panel ketiga, sejumlah orang sedang menyelesaikan ukiran dengan latar belakang kosong, seperti tanah lapang.
Adapun di panel terakhir terlihat orang-orang sedang meriung dengan latar belakang orang-orang yang berjalan berbarengan dengan gajah. Mereka seperti sedang menggotong batu.
Namun, keempat panel itu saling menyambung sehingga gambarnya terlihat utuh dan bisa menunjukkan masyarakat dan hewan bergotong royong membangun Candi Borobudur. (FU/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved