Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
IBARAT sebuah buku, sinopsis ialah keharusan. Biasanya sinopsis dicuplik di sampul belakang. Begitu pun kalimat penguat yang biasanya muncul di bawah sinopsis.
Umpamaan itu mungkin sedikit membantu untuk menyelami pameran tiga perupa muda pilihan Hanafi dalam QYV Prospectrum. Tajuk itu berkait dengan nama tiga seniman, yakni Vicky Saputra, Qiyam Krisna Aji, dan Yudha Optiffiny.
Pameran itu berlangsung 17–31 Agustus 2020 di Galerikertas-Studio Hanafi , Depok, Jawa Barat. Sinopsis itu muncul di sisi tembok yang berhadapan langsung dengan pintu masuk galeri. Ada delapan karya rupa yang terpajang. Sebelum menelaah lebih jauh karya yang lain, baiknya berhenti di depannya barang sebentar.
Empat gambar di sebelah kiri ialah karya Yudha. Beberapa di antaranya berjudul Selayang Pandang Merespon Ruang dan Tanpa Judul. Semuanya memakai media cat air di atas kertas. Yudha hadir dengan eksplorasi motif-motif batik lalu menuangkannya dalam bentuk yang teduh, tapi ceria.
Berada di tengah, ada dua gambar karya Qiyam. Berbeda dengan perupa sebelumnya, Qiyam menyelami kedalaman diri lalu membetotnya keluar dan dibingkai dalam kertas. Karya berjudul Badai Pasti Berlalu menggambarkan sebuah keadaan dan kondisi yang lekat dengan nuansa gelap dan kelam. Alih-alih menyerah pada kelam, terbesit keyakinan akan munculnya cahaya.
Begitu pun dengan karya berjudul Laa Haola Walaa Kuwwata Illa Billah. Uniknya, nuansa kelam itu digambarkan dengan gaya yang naif, sederhana, dan jujur. Dua karya di sebelah kanan ialah buah Vicky. Lain pula, seniman muda itu. Ia cenderung memotong-motong bagian tubuh lalu menampilkannya dalam bentuk distori.
“Yudha mencoba mengeksplorasi khazanah batik, tapi dengan corak dekorasi yang lebih bebas serta tidak selamanya dibebani semacam kesimetrisan, Qiyam mencoba mengeks plorasi gambar dengan gegaris naif, kotor, dan riuh. Sementara itu, Vicky mencoba menghadirkan gambaran manusia sebagai gumpalan daging yang tak utuh, antara lembut dan ngeri,” terang Kurator Galerikertas Heru Joni Putra.
Menarik untuk mencermati latar belakang gaya dan karakter gambar masing-masing. Vicky, misalnya, dia begitu setia dengan bentuk realis. Namun, perkembangan selanjutnya mengantarkannya pada bentuk distorsi dan abstraksi. Ia tidak lagi mengambar tubuh selayaknya tubuh.
Kadang ia memotong bagian tubuh tertentu lalu menyajikannya dalam bentuk yang cukup jauh dari aslinya, meski ia tetap menyisakan penanda aslinya.
“Sebenarnya dari karya awal sangat patuh pada bentuk realis walaupun enggak realis banget,” ujar Vicky.
Vicky dulunya tidak terlalu nyaman menggambar manusia. Ia lebih nyaman dengan bentuk rusuk, tengkorak, otot, hingga rahim. Sampai ketika pada pemahaman bahwa manusia tidak lepas dari manusia lain.
“Jadi, mulai ke visual seperti ini enggak terjadi begitu saja. Jadi bertahap, bertahap. Saya rasa visual, karya, bergaris lurus sama perkembangan diri, kedewasaan, pengetahuan, kebijaksanaan, cara pandang. Jadi pada akhirnya, jalan bareng saja,” lanjut Vicky.
Kembali pada soalan gaya. Qiyam justru lebih suka menggurat dengan naif nan sederhana. Baginya, itu ialah garis yang jujur. Seperti garis yang ditoreh anak-anak. Pengalaman dan masa lalu yang berselimut kabut dijadikannya energi dalam karya. Itulah pula mengapa
karyanya cenderung menarasikan perjuangan untuk hidup dan bertahan hidup. Baginya, seni ialah jalan pembebasan.
“The world is a crazy place and i just can’t take it some times,” begitu yang tertera di samping karya mural Qiyam berjudul A Virus Between Us.
Berawal dari kekaguman terhadap batik, Yudha tertarik eksplorasi motif batik. Semakin ia masuk, semakin ia terkesima dengan segala hal tentang batik, mulai ragam motif, makna, hingga laku spiritual para pembatik.
Baginya, batik punya corak yang rumit, tapi adem dilihat. Ia berusaha untuk tidak terpaku dengan batik, tetapi mencari bentuk imajinasi dari pola batik. Baginya, batik ialah pemantik untuk bentuk baru.
“Jadi, berusaha membuang kata batik itu sendiri dengan membuat bentuk-bentuk imajinatif baru dari benda-benda sekitar. Kayak tomat yang dipotong, ternyata bentuknya menarik,” ucapnya.
Bukan upaya mudah untuk memadukan tiga perupa dalam satu ruang pamer. Apalagi, ketiganya punya gaya dan karakter berbeda. Belum lagi, butuh keberanian besar untuk memberi panggung pada seniman muda. Istilah muda diperlawankan dengan perupa berpengalaman.
Bukan rahasia lagi, kebanyakan galeri seni gampang saja memberi ruang untuk seniman berpengalaman. Sebaliknya, sangat jarang galeri memberi kesempatan perupa muda yang masih berada dalam tahap belajar berpameran.
Sengaja tidak dipilih tajuk yang merujuk pada konsep, tema, ataupun isu. Pameran itu memang ditujukan untuk fokus pada identitas nama para perupa muda. Sebab itulah nama mereka bertiga yang dijadikan judul pameran, QYV.
Ketiganya tersaring dari 15 perupa muda dari Jabodetabek dan Bandung. Hanafi memilih tiga perupa itu dengan melihat potensi yang bisa dikembangkan dari setiap karya yang mereka presentasikan. Selanjutnya, mereka digodok selama dua minggu untuk menyiapkan pameran.
Hanafi mengajukan pantikanpantikan agar ketiganya bisa lebih mengeksplorasi gagasan, teknik, dan media. Hasilnya, mereka pun seolah terlahir kembali. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved