Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
TEPIAN danau menjadi saksi bisu atas bakti seorang anak. Ia tak hendak memprotes keputusan ayahandanya, tetapi dengan rela menyerahkan segalanya untuk kebahagiaan sang bapak.
Tak hanya hak atas takhta, bahkan ia rela mengambil sumpah tak menikah dan tak berketurunan. Semua itu dilakukannya atas nama bakti seorang anak kepada orangtua. Ia hendak memenuhi keinginan sang ayah yang ingin mempersunting seorang perempuan.
Dewabrata adalah putra Prabu Sentanu yang tengah terpesona dengan kecantikan Dewi Setyowati. Sentanu hendak mempersuntingnya. Setyowati berucap syarat mutlak agar takhta diberikan kepada keturunannya. Ia bersedia dipersunting asalkan putranya kelak menjadi raja di Hastinapura.
Di tepi danau itu, atas kehendak sendiri, Dewabrata berucap sumpah berlandaskan jiwa bakti. Ia rela melepas haknya atas takhta Kerajaan Hastinapura. Ia juga bersumpah tidak menikah untuk meyakinkan Setyowati bahwa tidak akan ada keturunan Dewabrata yang mengusik takhta.
Begitu mula adegan Bhisma Mahawira oleh Wayang Orang Bharata. Pentas daring itu disiarkan langsung melalui kanal Youtube WO BHARATA Official pada Sabtu(1/8). ‘Tombo Kangen’ (obat kangen), begitu yang tampak dalam layar pembukaan pentas.
Memang tajuk itu begitu mengena. Bagi pencinta seni tradisi wayang orang, 4 bulan sudah terlalu lama untuk tidak menyaksikan pentas. Bagi mereka, tontonan itu juga sebagai tuntunan dalam hidup. Ada banyak pesan moral dalam sebuah lakon. Panggung selayaknya cermin besar dari tata laku hidup manusia.
Kembali pada jalan cerita, Dewabrata bertandang ke Kerajaan Kasipura. Prabu Kasendra tengah mengadakan sayembara perang untuk mencari pendamping bagi tiga putrinya; Amba, Ambika, dan Ambalika. Siapa pun yang bisa mengalahkan Wahmuko dan Arimuko berhak memboyong ketiga putri.
Para raja tidak ada satu pun yang bisa menandingi kesaktian Wahmuko dan Arimuko. Hingga Dewabrata hadir dan menang. Ia berhasil mengalahkan keduanya. Prabu Kasendra pun menyerahkan ketiga putrinya kepada Dewabrata. Dewabrata menjelaskan kepada Amba bahwa ketiga putri itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk adik tirinya. Dewi Amba sangat kecewa dengan penjelasan Dewabrata. Dewi Amba merasa terhina cintanya tertolak.
Dewi Amba tetap menunggu sampai kapan pun untuk tetap bersama Dewabrata. Dewi Amba pun membakar dirinya. Padahal, Dewabrata (Bisma) juga suka dengan Amba. Namun, ia berteguh pada sumpah untuk tidak beristri dengan segala risiko.
“Di situ menunjukkan Bisma adalah kesatria yang memegang teguh sumpah,” terang dalang Slameto.
Selain itu, menurut Slameto, Dewabrata adalah sosok yang berbakti kepada orangtua. Ia rela menyerahkan segalanya demi kebahagiaan sang ayah. Waktu berlalu, Perang Bharatayuda tiba. Dewabrata kini menyandang nama Resi Bisma. Ia bertindak sebagai Senopati Kurawa yang mengalahkan Raden Utoro dan Raden Wratsangko.
Sedemikian sakti, hingga Senopati Pandawa Resi Seta pun tak mampu menghadapi Resi Bisma. Akhirnya Dewi Srikandi didapuk menjadi Senopati Pandawa. Sebenarnya Srikandi bukan tandingan Resi Bisma. Namun, perang tanding berbincang lain kala bayangan Dewi Amba muncul.
Bisma gelisah hingga terbunuh di medan Kurusetra. Amba menjemput Resi Bisma. Mereka berdua hidup bahagia di alam baka. Berbincang tentang jalan cerita, ada beberapa versi yang berbeda.
Sebagai contoh ketika Wahmuko dan Arimuko dikalahkan Dewabrata. Keduanya digambarkan sebagai sosok sakti yang susah mati. Ketika salah satu mati maka ia bisa kembali hidup jika dilangkahi oleh saudaranya. Memang gambaran itu tidak muncul dalam pangadeganan tempur.
Dalang Slameto mengungkapkan hal itu tidak menjadi persoalan sebab ada beberapa versi yang dianut dalam cerita wayang. Yang terpenting tidak mengubah pakem, baku, ataupun garis besar cerita.
“Wayang itu tidak bisa diperdebatkan. Soalnya, sumbernya banyak,” ungkap Slameto.
Begitu pun dengan kematian Dewi Amba, ada versi yang mengungkap kematian Dewi Amba karena panah Dewabrata. Namun, dalam lakon itu, digambarkan Amba membakar diri. Beragam kesulitan juga dihadapi WO Bharata untuk mendaringkan pentas. Dalang, misalnya, menghadapi kesulitan penyesuaian durasi yang dibatasi hanya 1,5 jam.
Padahal biasanya, dalam pentas luring, pertunjukan hampir selalu 3 jam, bahkan lebih. Artinya ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Kesulitan
Terkait dengan covid-19, pimpinan produksi Kenthus Bharata menyebut ada dua kesulitan utama, yakni garapan panggung dan pendaringan. Jika dalam pertunjukan luring, tim WO Bharata sudah hampir hapal seluk-beluk panggung, tinggal eksplorasi saja.
Pentas daring sebaliknya, mereka harus mulai dari hal paling dasar. Sebut saja mereka menurunkan kadar kolosal dari sebuah pentas. Tidak ada lagi jumlah pemain masif dan penari banyak. Di atas panggung pun harus memperhatikan jarak. Belum lagi persoalan jaringan dan teknis pendaringan pentas.
“Jadi dua pekerjaan rumah (PR), garapan di panggung dan garapan untuk live streaming (siaran langsung). PR-nya jadi dua, dulu satu, sekarang jadi dua,” ujarnya.
Belum lagi soalan biaya produksi yang belum ketemu pangkalnya. Donasi yang masuk hanya mampu menutup separuh dari ongkos produksi. Padahal pentas itu melibatkan hampir 129 seniman dan kru.
“Separuh dari biaya kami live streaming, ada donasi itu bisa menutupi separuhnya. Tapi memang kita bertekad bahwa ini pelestarian. Kalau nggak begini, eksistensi kami akan mandek. Semangat teman-teman juga akan mandek kalau nggak saya adakan, paksakan, seperti ini,” ungkap
Kenthus.
Hampir empat bulan tak berkegiatan. Tak ayal membuat badan pegal-pegal plus meriang. Ada rasa rindu dan kangen dengan gemerlap lampu panggung. Sorak dan tawa penonton adalah energi yang tergantikan bagi para seniman panggung. Bagi mereka, berkesenian adalah kehidupan.
Panggung adalah rumah. Bagaimanapun proses pengkaderan dan regenerasi harus terus berlangsung. Gelombang covid-19 menyapu segalanya. Tidak hanya menghentikan aktivitas seni tradisi, tapi juga membuat hidup yang tadinya sulit menjadi lebih sulit.
Wabah tak hanya berdampak pada aktivitas WO Bharata, anggaran yang sebelumnya mengucur dari pemerintah juga dialihkan untuk penanganan covid-19.
Melalui pentas daring, mereka membuktikan sekali lagi jiwa dan semangat seni mereka tak pupus oleh wabah. Kini mereka berharap dari donasi dan monetifikasi video di Youtube sembari terus menghidupi seni tradisi secara mandiri. Mereka ada dan akan terus eksis. Wabah tak mampu mengubur kecintaan mereka kepada seni tradisi. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved