Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Belis, Tradisi Mas Kawin di Sumba

Argo Twikromo
02/8/2020 00:55
Belis, Tradisi Mas Kawin di Sumba
Hewan belis untuk keluarga calon pengantin perempuan(Dok. Argo Twikromo  )

TRADISI belis sangat lekat dengan masyarakat di Indonesia Timur, khususnya masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Dalam konteks Indonesia sebenarnya merupakan tradisi yang relatif umum, yakni pemberian mas kawin dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan.

Masing-masing mempunyai ciri khas, istilah, bentuk, serta warna sendiri-sendiri. Di masyarakat wilayah NTT, tradisi belis juga berbeda-beda sarana utamanya. Masyarakat Flores Timur (Lamaholot), misalnya, menggunakan gading gajah, masyarakat Alor dan Pantar menggunakan moko, masyarakat Sumba dan beberapa masyarakat lain menggunakan hewan.

Pada umumnya, tradisi belis adalah bentuk pemberian atau pertukaran timbal-balik (resiprositas) walaupun dalam praktiknya bentuk/sarana pemberian tersebut cenderung dilihat hanya dari pemberian pihak calon pengantin lakilaki.

Belis dalam masyarakat Sumba merupakan salah satu tradisi yang mempunyai pertautan erat dengan tradisi-tradisi lain terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan manusia, serta kondisi lingkungan alam setempat.

Banyak tradisi di Sumba mengacu pada tradisi lisan yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Sumba pertama kali tinggal di Kampung Wunga (Kecamatan Haharu), Sumba Timur, sesudah menempuh perjalanan dengan perahu dari Semenanjung Malaka. 

Setelah mengadakan kesepakatan-kesepakatan adat, terkait tata cara kehidupan dan pembagian kabihu/kabizu (semacam marga), mereka kemudian menyebar ke seluruh penjuru Sumba.

Tradisi ini sangat terkait erat dengan tradisi-tradisi lain di Sumba untuk menata dan mengelola kehidupan mereka dengan wilayah yang sebagian besar relatif tandus karena curah hujan relatif minim.

Pada umumnya, masyarakat yang hidup dalam lingkungan geografis yang relatif kurang didukung oleh sumber-sumber alam yang memadai mempunyai simpul-simpul kuat dalam pengelolaan tradisi mereka untuk bersama-sama dapat bertahan hidup sampai ke anak keturunan mereka.

Sebagai salah satu rangkaian dari upacara perkawinan, tradisi belis menjadi langkah awal dalam menentukan posisi dalam relasi selanjutnya ketika kabihu/kabizu yang terlibat di dalamnya belum jelas posisinya apakah sebagai pengambil atau pemberi perempuan. 

Adapun bagi kabihu/kabizu yang sudah jelas posisinya, tradisi belis merupakan langkah mempertegas kembali posisi masing-masing. Dalam konteks ini, kabihu/kabizu di Sumba akan menjadi jelas mana pihak pengambil perempuan dan mana pihak pemberi perempuan. 

Kejelasan hubungan ini akan menentukan hak dan kewajiban masing-masing dalam tradisi-tradisi yang lain atau dalam pengelolaan kehidupan bersama selanjutnya.

Apabila dilihat secara sepintas atau dengan kacamata ‘orang luar’, tradisi belis merupakan acara pemberian atau penyerahan hewan (biasanya kerbau dan kuda) dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan. Namun, apabila dilihat lebih dalam lagi, pihak calon pengantin laki-lagi juga menyerahkan Kanataru dan Mamuli (seperti simbol Lingga dan Yoni).

Kanataru adalah hiasan yang merupakan simbol alat kelamin laki-laki, sedangkan Mamuli adalah hiasan yang merupakan simbol rahim atau alat kelamin perempuan, terbuat dari emas, perak, atau tembaga.  Selain itu, pihak calon pengantin perempuan juga memberikan sejumlah kain tenun dengan jenis dan motif tertentu, serta ketika strata sosialnya tinggi juga ata (hamba) perempuan yang harus ikut menemani calon pengantin perempuan.

Ketika telah terjadi kesepakatan, dilanjutkan dengan penyembelihan babi atau kerbau tertentu yang separuh dagingnya untuk jamuan makan bersama dan separuh yang lain untuk dibawa pulang oleh pihak calon pengantin laki-laki.


Tiga tahap

Ada tiga tahapan dalam tradisi belis, yaitu perkenalan dari keluarga calon pengantin laki-laki, masuk-minta, dan pergi-ambil. Dalam tradisi ini
dilakukan negosiasi antara pihak calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki melalui utusan atau wunang masing-masing.

Negosiasi sering kali berjalan alot dalam mencapai kesepakatan berapa jumlah dan jenis hewan yang harus diberikan (beserta mamuli) oleh pihak calon pengantin laki-laki dan berapa jumlah dan jenis/motif kain yang harus diberikan (beserta ata perempuan sesuai strata sosialnya) oleh pihak calon pengantin perempuan.

Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang ‘dimateraikan’ dengan darah babi dan dagingnya untuk jamuan para tamunya. 

Jumlah hewan yang diminta oleh pihak calon pengantin perempuan biasanya menyesuaikan strata sosialnya, bisa 30 ekor, 50 ekor, atau bahkan ada juga yang mencapai ratusan ekor. Sekarang ini, jumlah hewan yang diminta juga menyesuaikan status pendidikan atau jabatan calon pengantin perempuan.
 
Besar-kecilnya babi atau kerbau (bisa juga diukur dari panjang taring atau tanduknya) tergantung strata sosial pihak tuan rumah dan tamunya. Apabila belum terjadi kesepakatan, para tamu tidak diberi jamuan (makanan) apa-apa.

Hewan lain yang digunakan untuk adat di Sumba ialah kerbau dan kuda oleh pihak calon pengantin laki-laki serta babi oleh pihak calon pengantin perempuan. Namun, dalam perkembangannya saat ini, sapi juga terkadang digunakan untuk adat. 

Sapi masih jarang digunakan sebagai hewan adat karena sapi dianggap hewan yang relatif ‘baru’ dalam konteks Sumba. Tradisi belis sebenarnya merupakan simbol penghargaan yang relatif tinggi terhadap perempuan. 

Karena itu, kurang dikenal istilah perceraian di Sumba. Selain itu, perempuan hanya bisa diberi belis satu kali selama hidupnya. Ketika masyarakat Sumba hanya mengenal belis satu kali pada seorang perempuan, maka perempuan dari golongan ata yang telah di belis (istilah setempat saat ini ‘dibeli’) untuk masuk/membantu dalam keluarga bangsawan tertentu tidak bisa dibelis lagi. 

Biasanya yang akan memperistri ata tersebut ialah ata laki-laki dari tuan laki-laki, dan bukan/jarang dari orang luar, terlebih-lebih keluarga bangsawan. Orang di luar Sumba mungkin melihat tradisi belis dan kaitannya dengan tradisitradisi yang lain maupun prasyarat-prasyarat yang melingkupinya sangat rumit.

Namun, apabila dilihat dari konteks Sumba dengan kondisi geografis yang relatif gersang, tradisi belis menjadi salah satu bagian yang terkait erat dengan tradisi-tradisi lain untuk menata dan mengelola kehidupan setempat.

Afiliasi dua kabihu/kabizu pihak calon pengantin perempuan dan pihak calon pengantin laki-laki nantinya menjadi kabihu/kabizu pemberi perempuan dan pengambil perempuan. Relasi ini akan terus berlanjut karena tidak mungkin lagi terjadi pihak pemberi perempuan akan mengambil perempuan pada pihak pengambil perempuan.

Artinya, hewan sebagai properti akan terus berputar yang nantinya kembali lagi ke arah semula. Di samping itu, berafiliasinya antar-kabihu/kabizu melalui tradisi belis juga memperkuat kerja sama dalam melakukan aktivitas-aktivitas seperti penyelenggaraan upacara adat, penggembalaan hewan, tenaga kerja, ekonomi, dan sebagainya. 

Dengan melihat konteks Sumba, pengerahan tenaga kerja secara maksimal sangat diperlukan. Untuk itu, ketika seorang ata perempuan sudah dibelis oleh tuannya, laki-laki (orang luar) yang tertarik kepadanya harus kawin masuk dan tinggal bersama tuannya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya