Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SEBAGAI Kepala BPPT, Hammam Riza ternyata mengakui bahwa dirinya merupakan sosok yang bandel. Salah satu kebandelannya ketika ia berangkat ke Amerika Serikat tanpa persetujuan pihak pemberi beasiswa. Saat itu, ia memperoleh beasiswa Program Habibie untuk gelar master di University of Kentucky, Amerika Serikat.
"Memang bandel saya itu. Semangat saya itu," ujar sosok yang kerap tampil dengan kepala tak berambut itu. Bukan tanpa alasan, Hammam mengaku sudah diterima di University of Illinois Chicago pada 1989.
Ia memutuskan berangkat lebih dahulu sebab takut penerimaan itu terbatas waktu dan akan hangus. Alhasil, ia nekat meski sebenarnya belum diperbolehkan."Sampai saya dikasih peringatan, 'kamu harus kembali dulu'. Beasiswanya baru mulai Januari, sedangkan saya pergi Oktober tahun sebelumnya," kenangnya. Bandel dan nekat dalam hal positif ternyata membawa hasil memuaskan.
Ia mengantongi dua gelar master dari University of Kentucky dan University of Illinois. Berkenaan dengan tampilan ikonik, Hammam mengaku tidak punya alasan khusus dengan kepala yang selalu licin, jenggot, serta kumis. Namun, penampilannya itu tidak datang tiba-tiba.
Dahulu, Hammam mengaku sering tidak percaya diri dengan kondisi rambut yang tidak selebat orang lain. Mahkota kepalanya kian hari makin tipis. "Mungkin dulu saya malu, rambut saya hilang. Tipis, menipis, menipis," sambungnya.
Seusai menjalankan ibadah umrah, ia pulang dengan kepala plontos. Istrinya lantas malah menyarankan Hammam agar tetap dengan penampilan itu. Peristiwa itu terjadi sekitar 7 tahun lalu.
"Pulang umrah, kata istri 'sudah begitu saja, enggak usah dipanjangin lagi. Karena kalau tumbuh dipanjangin lagi, sebagian sudah botak'," ujarnya menirukan ucapan sang istri.
"Akhirnya saya teruskan," lanjutnya. Mulanya, Hammam mengaku sempat tidak nyaman dengan penampilan barunya. Ia merasa kegantengannya bakal berkurang. "Mula-mula saya agak grogi, malu, pasti tampangnya jadi aneh kan? Sudah enggak ganteng lagi, gitu kan?" selorohnya sembari tertawa.
Kini, ia terbiasa dengan penampilan itu, bahkan mengompensasinya dengan jenggot dan kumis yang bersambung jadi satu hingga seolah membentuk lingkaran di sekitar bibirnya.
"Dulu belum saya tumbuhkan ini, cuma kumis," ucapnya sembari menunjuk jenggotnya. Keterlibatannya dengan KA ternyata tidak muncul begitu saja. Pria lulusan ITB itu mengaku sudah mencintai KA jauh sebelum teknologi tersebut meraih momentum ketenarannya kini. "Jadi itu diawali pada saat saya kuliah di ITB, 1981 saya masuk ITB. Terus saya selesai 1986. Pada saat saya melaksanakan tugas akhir. Pada generasi saya itu pertama kali keluarnya personal computer," ujarnya.
Saat itu, ada dua komputer personal, yakni IBM PC dan Apple 2. Beruntung, ia sudah bersentuhan dan mengoperasikan salah satu teknologi yang di masa tersebut masih sangat terbatas.
"Pada saat itu ada IBM PC, selain itu Apple 2. Jadi komputer pertama yang saya miliki, tapi itu juga bukan asli Apple, kawe. Karena lebih murah, tapi fungsinya ini (sama)," ungkapnya.
Dukungan prosesor kala itu juga masih terbatas, Apple 2 dengan prosesor 6502, sedangkan IBM berbasis prosesor Intel 8080. Saat itu, ia ingin membangun program yang bisa dijalankan di kedua perangkat tersebut.
"Begitu yang saya pikirkan saat itu. Jadi sudah puluhan tahun saya berpikir mengenai itu. Di situlah saya melanjutkan terus AI saya dan masih membuat yang namanya sistem terjemahan, machine translation," pungkasnya. (Zuq/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved