Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SEJAK pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, kegiatan bisnis dan ekonomi berangsur normal. Meski begitu, mobilitas pekerja, terutama yang menggunakan angkutan umum, membawa kekhawatiran tersendiri karena risiko besar penularan covid-19.
Di Jakarta, pemprov pun menerapkan aturan 50% jumlah pekerja dalam setiap hari operasional perusahaan. Dengan begitu, penerapan kerja dari rumah (work from home/WFH) atau semi-WFH sesungguhnya masih tetap dibutuhkan selama obat atau vaksin covid-19 belum ditemukan.
Lalu, bagaimanakah sebenarnya produktivitas pekerja selama WFH dan dapatkah konsep ini dilanjutkan dan diterapkan secara nasional? 'Survei dari peran teknologi dan produktivitas kerja dari rumah pada masa pandemi covid- 19' yang dilakukan tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 5-31 Mei 2020 telah memberikan sebagian jawaban dari pertanyaan tersebut.
Dari situ pula peneliti memberikan saran tersendiri bagi pemerintah untuk penerapan kerja fleksibel secara nasional. Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan ketua tim survei tersebut, Maulana Akbar, yang juga peneliti LIPI bidang kebijakan iptek dan SDM iptek, Jumat (19/6).
Bagaimana gambaran umum responden yang disasar dari survei ini?
Secara umum sebarannya 70% di Jawa Barat dan DKI Jakarta, yakni kebijakan PSBB menuntut perusahaan memperkerjakan pegawai dari rumah itu sangat besar. Responden total sebanyak 967 orang. Sebagian besar responden berusia 26 tahun ke atas dengan 43% merupakan pegawai swasta, 30% PNS, 15% pengajar dan dosen. Sisanya profesi lain-lain. Sektor bisnisnya sebagian besar pada jasa pendidikan, diikuti jasa profesional ilmiah, jasa keuangan dan asuransi, administrasi dan informasi komunikasi. Saya sempat follow up di industri pengolahan, mereka banyak yang mengisi, tetapi tidak sama seperti di rumah karena terutama untuk bagian teknisi dan operator, mereka lebih cenderung diberhentikan dari perusahaan. Jadi, memang WFH ini sedikit sekali diterapkan industri jasa pengolahan.
Apa yang dicari dari survei work from home ini?
Kami mencari bagaimana perbedaan bekerja dari kantor dan dari rumah. Salah satu hal yang bisa dibandingkan dari semua profesi yang umumnya bekerja lima hari dalam seminggu, Senin-Jumat. Ketika pandemi, bekerja dari rumah, kebanyakan dari profesi bekerja di bawah 8 jam. Kisaran durasinya 6-7 jam. Yang paling terlihat berkurang pegawai BUMN.
Untuk pengajar, survei menunjukkan jika jam mengajar mereka menunjukkan berkurang. Hanya sekitar dari 20% yang masih 8 jam. Jadi, secara jumlah, efektivitas bekerjanya berkurang, baik itu jumlah hari maupun jumlah jam.
Jadi kalau dari gambaran itu, penerapan WFH bisa dibilang tidak bagus bagi pekerjaan?
Namun, survei menunjukkan pekerja optimistis pada perencanaan kerja mandiri mereka akan menghasilkan output yang baik. Dari survei ini memperlihatkan ada optimisme terhadap para pekerja untuk bekerja di rumah.
Pekerja merasa puas dengan hasil yang mereka dapat dari perencanaan yang mereka susun selama bekerja dari rumah, hampir di semua profesi. Ada hal yang menarik, dari berkurangnya jumlah jam kerja dalam seminggu, mereka puas dengan hasil pekerjaan mereka dari rumah.
Bisa dikatakan pekerja menikmati bekerja dari rumah?
Sebagian besar dari mereka setuju bekerja di rumah menuntut mereka bekerja lebih keras daripada bekerja di kantor. Bekerja di rumah pun sebenarnya bagi mereka menuntut waktu ekstra untuk menyelesaikan pekerjaan. Walaupun pada faktanya mereka tidak bisa bekerja lebih panjang saat di rumah, mereka yakin akan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Loyalitas terhadap perusahaan juga besar. Namun, ada poin yang tidak begitu besar soal kesediaan untuk bekerja keras untuk institusi. Kesediaan pekerja untuk bekerja melebihi target, cenderung sedikit.
Bagaimana soal loyalitas pada pekerjaan, apakah WFH membuka peluang bagi para pekerja untuk kerja sambilan atau menerima tawaran lain?
Variabel ini kami ambil dari jurnal, 'Saya akan menolak pekerjaan lain di luar kantor walau bayaran tinggi'. Ternyata hasilnya banyak yang ragu-ragu dalam variabel itu. Separuh besar responden menyatakan akan tetap mengambil (pekerjaan lain), sementara separuhnya menyatakan tidak akan mengambil dan ragu-ragu. Pekerja yang memilih mengambil pekerjaan lain alasannya menyambung pada pertanyaan soal kompensasi. Sementara itu, yang menyatakan tidak mengambil pekerjaan tambahan, bisa jadi karena loyalitas tinggi.
Bagaimana dengan kendala selama bekerja dari rumah?
Kendala utama mereka selama kerja dari rumah itu distraksi lingkungan rumah, bisa dari pekerjaan domestik atau mengurus anak dan sebagainya. Lalu, ada kejenuhan dan isolasi sosial yang juga dominan di sini. Kegelisahan tentang berita covid-19 juga memengaruhi dan juga menjadi kendala selama bekerja di rumah.
Yang menarik, ternyata banyak yang berpendapat kalau infrastruktur tidak terlalu menjadi kendala. Ini bisa juga karena mayoritas responden berada di kota besar, di Jakarta dan Jawa Barat yang kita tahu infrastrukturnya baik.
Untuk teknologi, bagi mereka yang berusia di atas 40-50 tahun ada kesulitan. Bagi usia itu, berbagai managemen tools dan aplikasi yang ada tetap terasa sedikit membantu. Artinya, mereka perlu adaptasi lagi.
Jadi, model kerja seperti apa yang diinginkan pekerja saat pandemi masih berlangsung?
Pada akhirnya mereka lebih senang untuk memiliki fl exible time dalam bekerja. Ini salah satu output yang menarik, pengalaman bekerja akibat PSBB ini. Pekerja berharap dalam konteks new normal, pekerjaan dapat dilakukan dengan flexible time. Artinya, beberapa hari dalam seminggu mereka bekerja di rumah, beberapa hari lainnya mereka bersedia bekerja di kantor. Di beberapa negara, seperti di Jerman dan Belgia, bahkan sudah masuk ke peraturan pemerintahnya bahwa pegawainya diberi hak untuk merequest flexible time ketika dia masuk kerja. Mereka tidak setuju juga jika harus bekerja di rumah terus-menerus seminggu. Sebanyak 80% guru dan dosen juga menyetujui konsep flexible time ini. Sebenarnya ini bagi mereka seperti campuran antara kuliah jarak jauh dan tatap muka di kelas. Beberapa kampus di Indonesia pun sejak sebelum pandemi juga telah melakukan belajar jarak jauh ini. Jadi, bukan hal yang baru.
Pada pegawai swasta, mereka menganggap kerja dengan waktu fl eksibel itu penting. Mereka kurang setuju apabila WFH terus-menerus karena merasa memiliki tekanan yang lebih besar. Jadi, mungkin juga di Indonesia, pola bekerja dengan waktu fl eksibel ini akan menjadi konsep baru yang menarik, baik bagi perusahaan maupun bagi pegawai.
Kesiapan perusahaan sendiri bagaimana?
Survei ini melihat dari sisi pekerja. Para pekerja melihat perusahaannya siap dengan kebijakan ini dan menyiapkan pekerja agar bekerja di rumah ataupun bekerja dengan pola fl exible time. Perusahaannya pun memberikan komunikasi instruksi yang masih jelas bagaimana pola kerja dan apa yang harus diselesaikan ketika karyawan bekerja di rumah.
Dengan melihat hasil itu, apakah ke depan akan terjadi perubahan kebijakan kantor, seperti perekrutan pegawai, cuti, dan presensi?
Sepertinya akan seperti itu. Semua sistem akan beradaptasi, baik dari sisi organisasi maupun dari sisi pegawai. Untuk sementara ini survei yang kami lakukan baru dari sisi persepsinya pegawai. Mereka lebih memilih untuk fleksibel sehingga tidak jenuh di rumah, tapi juga tidak sepenuhnya kerja di kantor.
Persepsi seperti ini mungkin akan ditindaklanjuti institusi, seperti meningkatkan infrastruktur atau membuat reorganisasi bagi struktur perusahaan. Persepsi ini akan mengubah persepsi perusahaan untuk mempertimbangkan adanya pola kerja waktu fl leksibel sebab tren be kerja dari rumah sudah ada sejak 1980-an.
Kecenderungannya itu diterapkan negara maju dan proporsi perusahaan yang membuat pola kerja ini semakin meningkat. Pandemi ini seharusnya menjadi momentum bagus untuk perusahaan-perusahaan untuk mencoba konsep bekerja di rumah (work from home) yang ideal seperti apa.
Bagaimana semestinya pula pemerintah melihat dan merespons hal ini?
Kemungkinan pekerjaan rumah pemerintah ialah perbaikan infrastruktur. Bisa jadi pemerataan di seluruh wilayah karena ini menjadi suatu hal yang penting bagi perusahaan dan institusi, yakni adanya teknologi informasi.
Jadi, yang perlu dipertimbangkan apabila kebijakan fl exible time dilakukan dalam skala nasional dan semua sektor ialah pemerataan infrastruktur dan meningkatkan literasi digital. Pemerintah perlu membuka payung hukumnya melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kemenakertrans. Karena fl exible time juga menguntungkan, perusahaan lebih efi sien, juga mengatasi masalah urban seperti kemacetan. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved