Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
DI masa pandemi covid-19, pasar tradisional merupakan salah satu sentra aktivitas ekonomi yang terus ‘hidup’. Saat berbagai tempat dan fasilitas publik ditutup atau dibatasi, pasar tradisional yang menyangkut urusan perut diperkenankan tetap dibuka. Syaratnya, protokol kesehatan dijalankan dengan cermat.
Akan tetapi, faktanya, protokol kesehatan tak jarang diabaikan. Dengan begitu, pasar tradisional dikhawatirkan akan menjadi klaster penyebaran baru virus SARS-CoV-2 penyebab covid-19. Berdasarkan data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) per 19 Juni, terdapat 701 pedagang yang terinfeksi covid-19 dan 32 di antaranya meninggal dunia. Data tersebut dihimpun dari 110 pasar tradisional di Indonesia. DKI Jakarta merupakan daerah dengan jumlah kasus terbanyak, yaitu 148 pedagang.
Dalam perbincangan dengan Media Indonesia, Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri menilai protokol kesehatan yang ada sekarang bisa dibilang ‘tidak disimak’ para pedagang di pasar-pasar Ibu Kota.
Selain tidak melibatkan mereka dalam penetapan protocol kesehatan, sosialisasi yang dilakukan juga bukan dengan protokol ‘bahasa’ yang dipahami para pedagang.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan via telepon, Jumat (19/6).
Baru-baru ini, setelah swab dan rapid test dihelat di sejumlah pasar di Ibu Kota, diketahui banyak pedagang terinfeksi. Apakah protokol kesehatan di pasar tidak efektif?
Sistem (kios dibuka berdasarkan nomor) ganjil-genap yang disampaikan pemerintah provinsi, dalam hal ini Jakarta, akan efektif jika melibatkan peran pedagang dalam proses penataan dan pelaksanaannya.
Bukan hanya persoalan ganjil-genap, melainkan juga protokol kesehatan. Jika dilakukan bersama-sama dengan pedagang, kami yakin akan jauh lebih efektif ketimbang pemerintah daerah atau Pemprov DKI yang hanya bersua lewat media, tetapi tidak melakukan implementasi seb agaimana mestinya.
Maksudnya, harus turun ke lapangan?
Tidak hanya turun ke lapangan, tetapi juga melibatkan pedagang dalam proses pelaksanaan protokol kesehatan. Kalau hanya berupa instruksi, agak sulit dijalankan. Memang untuk mengatur lebih dari 200 ribu pedagang di DKI Jakarta tidak mudah. Maka itu, harus ada peran bersama antara pedagang pasar dan pengelola pasar, termasuk ketua-ketua paguyuban di setiap pasar serta ketua-ketua blok di dalam pasar.
Kalau itu dilakukan bersama-sama, kami meyakini akan lebih efektif daripada menjalankan protokol kesehatan yang disarankan pemprov, yaitu zonasi atau memaksa penutupan secara sepihak.
Jadi, kebijakan zonasi itu perlu direvisi?
Sekarang yang ada ialah koordinasi buntu antara pedagang dan Pemprov DKI atau Perumda PD Pasar Jaya. Itu, menurut kami, yang membuat kebijakan ini tidak efektif di lapangan. Maka itu, kami minta kepada Pemprov DKI atau PD Pasar Jaya mengkaji ulang zonasi kebijakan ganjil-genap sembari melibatkan para pedagang dalam proses kebijakan demi memotong mata rantai penularan covid-19 di pasar tradisional.
Bukan kami tidak setuju. Ada pasar yang mungkin boleh dilakukan itu. Namun, ada yang tidak bisa seluruhnya karena rata-rata pembangunan kios pasar itu semakin lama semakin menyempit ukurannya. Untuk menambah keuntungan, baik pengelola maupun kontraktor, itu menambah unit. Semakin banyak kiosnya, semakin sempit ruang yang ada.
Mengapa zonasi dianggap tidak berjalan baik?
Pertama, katakan jumlah pedagang ada 10, pembeli 10. Artinya, 10 pembeli ini didistribusi rata ke 10 pedagang. Satu pedagang melayani satu pembeli. Namun, kalau pedagangnya hanya lima, itu harus mendistribusikan 10 pembeli. Artinya, ada dua pembeli di setiap pedagang.
Bagaimana kalau ada 100 pembeli? Apalagi, pada Sabtu dan Minggu ketika biasanya terjadi penumpukan pembeli. Bayangkan, pasti akan terjadi penumpukan bila hanya beberapa kios saja yang buka. Lalu, pedagang sayur, daging, ayam, bawang merah, dan makanan yang mudah busuk tidak mungkin menjual dagangan di hari berikutnya hanya karena mereka harus tutup. Itu harus dibuang sayurnya. Berapa kerugian pedagang?
Kerugian ekonominya signifikan?
Pada penjual dengan jenis dagangan yang mudah busuk, pasti merugi. Dia harus memutar dan mengatur uang bagaimana ritme dagang yang efektif. Ini menyulitkan sekali.
Sisi ini yang sebenarnya kami ingin diskusikan dengan pemprov. Apa langkah yang lebih efektif dan lebih progresif yang bisa diterima semua pihak. Jalan tengah apa yang perlu kita lakukan bersama. Ini harus didiskusikan bersama dengan para pedagang. Bukan sekadar dari versi pemprov bahwa dengan jaga jarak, pasar pasti aman. Kalau jaga jarak, okelah pedagangnya aman. Namun, kalau pembeli semakin banyak menumpuk di tiap pedagang, itu juga tidak aman karena pembelinya juga tidak bisa dikendalikan.
Berapa kira-kira penurunan omzet pedagang?
Kalau ganjil-genap, mereka hanya akan berdagang beberapa hari dalam seminggu. Sementara itu, jenis barang dagangannya ialah yang tidak tahan lama. Otomatis dia akan kehilangan sekitar 50% omzet dari jualan biasa.
Kami sudah melewati masa PSBB dan Lebaran yang sulit. Kami sudah mengalami penurunan omzet yang cukup besar. Pedagang kami pada Mei kemarin omzetnya turun 65% jika dibandingkan dengan Lebaran tahun lalu. Karena daya beli masyarakat turun, ekonomi drop, orang-orang tidak belanja sebanyak biasanya. Padahal, biasanya Ramadan itu masa panennya pedagang.Makanya, kami minta kaji ulang dan ada solusi alternatif.
Ada rekomendasi dari Ikappi?
Contohnya, pedagang tetap buka semua, tapi diberi sekat plastik antara pedagang dan pembeli. Karena ada sekat plastik, interaksi antara pedagang dan pembeli bisa dibatasi sehingga bisa menghindari penularan.
Kemudian, bagaimana menyosialisasikan pemakaian masker di dalam pasar. Ini juga langkah yang harus dilakukan terusmenerus. Tidak hanya sekadar sekali edaran, sekali pemberitahuan. Pemberitahuannya juga harus dengan bahasa pedagang.
Bahasa seperti apa?
Orang pasar tidak mengerti bila disuruh physical distancing. Mungkin mereka akan menjawab ‘iya, iya’, tetapi tidak paham apa itu physical distancing. Lebih baik mengingatkan dengan bilang ‘Tolong jaga jarak ya, Bu’.
Berarti banyak pedagang belum paham bahwa covid-19 sebahaya itu?
Nah, apalagi pedagang kecil di level bawah, mereka tahunya covid-19 itu buatan manusia, konspirasi, tidak berbahaya, orang sakit batuk dibilang covid-19, orang sakit panas dibilang covid-19. Ada pemahaman simpang siur pada mereka.
Harus diedukasi ke mereka tentang bahayanya covid-19. Maka itu, ada dua hal penting yang ingin kami tawarkan kepada Pemprov DKI. Pertama, edukasi dan komunikasikan ke pedagang tentang pentingnya menggunakan masker karena masker itu paling tidak meminimalisasi penularan covid-19. Selain itu, juga jangan bersentuhan tangan. Kedua, sosialisasikan programnya.
Bagaimana komunikasi yang efektif?
Kebiasaan di pasar itu berbeda dengan retail. Pedagang kadang masih harus mengobrol dengan pembeli, bicara soal ekonomi, bahkan sampai soal keluarga dibicarakan. Ada proses yang interaksinya berbeda dengan retail modern karena kedekatannya berbeda. Pedagang pasar tradisional biasanya punya pelanggan yang cukup dekat.
Bahkan, kalau Lebaran, pedagang suka kasih THR ke pelanggan. Komunikasi seperti ini yang harusnya kita dorong bersama. Jumlah pedagang di DKI Jakarta itu cukup besar, yakni ada lebih dari 200 ribu pedagang. Kalau pemberitahuan hanya lewat surat edaran ataupun selebaran, tidak mungkin bisa. Asosiasi juga punya keterbatasan walaupun sosialisasi terus kami lakukan.
Apa pemahaman covid-19 yang simpang siur itu membuat banyak pedagang menolak rapid test?
Betul. Maka itu, yang jauh lebih penting ialah melibatkan langsung pedagang untuk seluruh proses protokol kesehatan dan seluruh kebijakannya. Panggil ketua-ketua kelompok, ketua blok, ajak diskusi dengan bahasa pedagang tentunya. Informasikan bila ada yang positif covid-19 di mana, ada yang meninggal di mana.
Kasih tahu kalau mereka positif covid-19, mereka tidak bisa berdagang. Kalau tidak bisa berdagang, ekonomi tidak akan tumbuh. Dari hati ke hati sampaikan kepada mereka. Setelah itu, ajak mereka bersama melawan covid-19 di dalam pasar.
Kalau rekomendasinya penyediaan sekat plastik, bagaimana pedagang lapakan?
Sebenarnya banyak cara, pola, dan strategi yang bisa dilakukan bersama. Bukan hanya rekomendasinya. Banyak metode yang justru menjaga agar itu jauh lebih aman ketimbang tidak sama sekali, ketimbang zonasi.
Di setiap pasar mungkin berbeda. Di Jakarta, jauh lebih padat. Saya mengusulkan agar para pedagang lapak jaraknya bisa diatur. Mereka ditempatkan di zona ruang terbuka, lapangan parkir pasar, misalnya. Kios relatif lebih aman karena pertama, antarkios bersekat dinding. Lalu, ulasannya juga 2 meter lebih. Kalau bagian depan diberi sekat plastik, itu akan efektif.
Nah, kalau kiosnya di zonasi ganjil-genap, sedangkan gang antarkios cukup sempit, akan terjadi penumpukan pembeli di area yang harus buka di hari itu. Itu jauh lebih berbahaya.
Untuk pasar-pasar di luar Jakarta, bagaimana kondisinya?
Pasar di Kota Salatiga bisa menjadi percontohan jarak antara pedagang dan pembeli. Di Pasar Raya Padang dan Pasar Rebo di Purwakarta juga bisa jadi contoh bahwa mereka terus kontinu melakukan swab test untuk meyakinkan publik bahwa pasar aman. Jika pasarnya relatif aman, dipasang stiker bahwa pedagang yang bersangkutan bebas dari covid-19 dan melakukan protokol sebagaimana mestinya.
Di Trenggalek, Jawa Timur, ada Pasar Bendo. Mereka menyiapkan sekat plastik, mengukur suhu pengunjung dan pedagang, serta menyiapkan sarung tangan. Di Surabaya, PD Pasar Jaya membagikan nampan kecil untuk pertukaran uang. Ini cara-cara efektif yang dilakukan, tinggal dielaborasi mana yang pas diterapkan di pasar masing-masing.
Inisiatornya siapa?
Inisiatornya paguyuban bersama-sama dengan pemerintah daerah. Kalau rapid test, kami mendorong kepada dinas kesehatan dan dinas perdagangan daerah untuk melakukan rapid test di pasar-pasar. Ada beberapa metode, yakni dilakukan bersama-sama (kolektif) atau bisa bertahap. Kami mendorong tes secara masif, bukan bertahap.
Apa pasar di Jakarta seharusnya meniru daerah?
Seharusnya. Itu karena memang metode yang sekarang masih kurang pas. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved