Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
AKHIR-AKHIR ini dunia sedang digemparkan dengan hadirnya virus korona baru atau covid-19. Virus yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok, itu menjadi ujian bagi berbagai negara, salah satunya Indonesia.
Merebaknya virus korona di Tanah Air membuat pemerintah terus melakukan berbagai upaya agar tidak semakin banyak korban yang berjatuhan. Ketimbang karantina wilayah (lockdown), pemerintah lebih memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai salah satu usaha pencegahan virus
PSBB pun terus dimaksimalkan di beberapa daerah yang sudah menerapkannya dengan cara mendirikan check point yang dijaga ketat sejumlah petugas, seperti Satpol PP, BPBD, TNI, dan Polri. Check point ialah titik untuk memastikan PSBB berlangsung sesuai aturan yang berlaku, termasuk bagi pengendara sepeda motor, mobil, serta angkutan umum agar berkendara sesuai regulasi selama PSBB.
Ada ketidak berterimaan di dalam diri saya mengenai check point. Saya bukan menentang adanya check point itu, tetapi menentang penggunaan bahasa Inggrisnya dalam penerapan PSBB. Bagaimana tidak? Penggunaan frasa check point sudah meluas di mana-mana. Misalnya, dalam judul berita Antisipasi
Gelombang Pemudik, Jateng Siapkan 83 Check Point (Kompas.com, 23/4) dan Larangan Mudik Berlaku, 6 Check Point di Perbatasan Malang Diperketat (Detik.com, 24/4).
Selain itu, saya juga pernah melihat foto lokasi check point di daerah Jakarta, Bogor, dan Tangerang yang bertebaran di media pemberitaan daring (online). Saya melihat adanya pelang pengumuman biru dan spanduk di jalan yang bertuliskan 'check point pengawasan pelaksanaan PSBB'.
Kenapa kita tidak menggunakan frasa titik pantau atau titik cek untuk menyatakan check point? Bukankah coronavirus yang berasal dari bahasa Inggris, sudah kita Indonesiakan menjadi virus korona? Pun sama halnya dengan frasa orang dalam pemantauan (ODP) yang berasal dari bahasa Inggris people under monitoring. Begitu pula, frasa pasien dalam pengawasan (PDP) yang berasal dari bahasa Ingggris patient under surveilance.
Penggunaan frasa virus korona, ODP, dan PDP lebih populer dipakai ketimbang pengertian bahasa Inggrisnya. Semuanya dalam bahasa Indonesia. Lantas, kenapa check point enggak? Padahal, bahasa Indonesia frasa itu sangat sederhana.
Selain check point, ada juga kasus frasa imported case. Imported case ialah sebutan kasus untuk orang yang diduga terjangkit virus korona dari luar negeri. Sejak kemunculan covid-19 di Indonesia, frasa imported case begitu nyaring terdengar di mana-mana. Padahal, bahasa Indonesia begitu simpel, yaitu kasus impor.
Istilah-istilah asing tersebut telah menjadi tren di antara para pengguna bahasa di sela-sela pandemi covid-19 ini. Apa jadinya jika masyarakat selalu dicekoki bahasa asing. Padahal, bahasa Indonesianya pun sangat sederhana.
Kondisi itu menggambarkan bahwa bahasa Indonesia yang merupakan jati diri bangsa masih belum sepenuhnya dimartabatkan di negeri sendiri. Bahasa Indonesia memang harus berjuang lebih keras lagi untuk menunjukkan eksistensinya di tengah gempuran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris
Bahasa asing memang penting untuk kita kuasai, tetapi bahasa Indonesia jauh lebih penting diutamakan karena merupakan jati diri dan citra bangsa. Sudah seharusnya bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved