Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
SEONGGOK kayu tua tak bertuan terkumpul di lantai. Onggokan kayu itu sudah tidak utuh, hanya potongan. Namun, tampak jelas jika potonganpotongan itu berasal dari kayu atap rumah lawasan. Beberapa di antaranya masih menyisakan pola sambungan antarkayu atau lubang di ujung yang berfungsi sebagai satek ataupun pengunci kayu agar tidak lepas. Sisa-sisa paku pun masih ada yang menempel di sejumlah kayu.
Potongan-potongan itu beraneka bentuk dan warna, tapi semua ujungnya mengecil hampir pipih. Sebagian berwarna coklat, hitam, dan ada yang merah. Semua berdiri tegak, tertata melingkar memenuhi ubin sekitar 1 meter persegi.
Di atasnya, tepat berada di tengahtengah onggokan kayu lawasan tadi, terdapat satu kayu panjang yang bentuknya runcing. Kayu ini terikat rantai yang terbuat dari kayu juga. Namun, kayu lancip yang terantai ini masih baru, terlihat dari warna dan baunya. Begitu juga dengan rantai-rantainya. Beda dengan kayu yang teronggok di bawah, warna dan baunya pun sangat lawas.
Onggokan kayu itu tak bertuan. Mereka kehilangan jejak sejarahnya. Padahal, kayu-kayu punya cerita yang mungkin saja berasal dari kayu bekas bangunan rumah joglo atau tiang-tiang rumah yang sangat bersejarah pada masa peradaban kuno masyarakat Jawa.
Itulah pemandangan yang ada di Galeri Lorong, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam sebuah pameran seni bertajuk Kayu: Material dan Jejak Narasi. Memasuki Galeri Lorong, seonggok kayu-kayu tadi langsung menyambut. Mereka tepat berada di balik pintu galeri. Kayu-kayu itu bercerita tentang masa lalu mereka, kayu kuat yang menjadi atap rumahrumah kuno di daerah Jawa. Namun, mereka kini telah dipotong-potong; diperjualbelikan; dan terpisah dengan masa lalunya.
Cut Off, judul karya itu. Karya seni seorang seniman bernama Octo Cornelius. Sebuah karya seni yang lahir dari kegelisahannya akan maraknya penjualan kayu rumah-rumah tua di daerah Rembang, Jawa Tengah.
Menurut Octo, dulu di daerah Rembang banyak sekali berdiri rumah-rumah kayu khas Jawa, mirip dengan kisah yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer di bukunya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Namun, sekarang keberadaannya mulai menghilang dan hampir tidak berbekas sama sekali.
“Pada masa kanak-kanak sampai remaja, saya memiliki rekaman yang hampir sama (dengan novelnya Pram). Tapi sekarang hampir semua tidak berbekas,” kata Octo yang lahir di Rembang.
Benar. Karya Octo berjudul Cut Off berangkat dari kegelisahannya atas fenomena penjualan kayu rumahrumah lawasan di Rembang. Octo meresponsnya menggunakan potongan bekas konstruksi sambungan kayu dari beberapa rumah lawas di Rembang sebagai material atau objek karya.
Dari situ Octo mencoba meraba jejak narasi yang ada di dalamnya, sebelum jejak-jejak itu benar-benar hilang akibat aktivitas penjarahan kayu lawas dari bangunan-bangunan tua di kotanya. Sebenarnya, keresahan Octo juga terjadi di daerah lain, tak hanya Rembang. Tak sedikit kayu-kayu bangunan-bangunan tua, bahkan heritage diambil untuk dijual kembali.
Mereka biasanya mengambil bagian-bagian tertentu, memisahkan dan memotongnya. Tak jarang mereka, yang memotong kayu-kayu
itu, tidak memperhatikan detail potongan atau malah serampangan. Bagi Octo, aktivitas seperti itu bisa menghilangkan jejak sejarah pengetahuan dan kebudayaan yang sebenarnya masih dapat terbaca jikalau kayu tak dipotong-potong secara serampangan. Karena setiap benda menyimpan cerita, seperti kayukayu rumah yang dipreteli itu.
Sesuai temanya, pameran ini memang ingin menyuguhkan karya seni menggunakan material yang dekat dengan kebutuhan manusia, yakni kayu. Dengan menjadikan kayu sebagai material dan objek karya seni, menurut Arham Rahman, kurator pameran, di Indonesia banyak warisan pengetahuan memproses kayu melalui keterampilan tangan, teknik, penggunaan alat, dan pengetahuan bahannya.
‘Ia (kayu) tidak selesai sebagai benda fungsi saja, tetapi juga sebagai artefak: benda fi sik yang menandai jejak aktivitas manusia’, tulis Arham dalam catatan kuratorialnya.
Narasi kegetiran
Octo tak sendiri dalam menarasikan jejak-jejak sejarah kayu di pameran Kayu: Material dan Jejak Narasi. Seorang seniman asal Kediri, Jawa Timur, Wisnu Ajitama, turut memamerkan karya teranyarnya berjudul Plymorphic 1 dan Polymorphic 2.
Di dua karya ini, Wisnu mengeksplorasi kayu tripleks sebagai material karya seni. Idenya lahir dari sejarah masa lalunya yang kelam, ketika dia bertahun-tahun bersama keluarganya tinggal di rumah kayu lapis berukuran 6x6 meter.
Jejak narasi yang ingin Wisnu sampaikan melalui karyanya, tidak mengenakkannya tinggal di rumah kayu lapis: pengap, berisik, dan tak punya nilai lebih. Kayu lapis hanya berguna sekali pakai, lantas dibuang, dibakar, dan menjadi rumah bagi kadal dan tikus. Kayu lapis yang terbuang itu lantas menjadi polutan fisik yang memengaruhi tatanan lingkungan di sekitarnya. Seperti contoh yang paling mudah, bau tak
sedap.
“Seperti ketika kita makan. Makanan masuk perut, lalu keluar menjadi feses dan dimakan lagi oleh sel-sel yang lain,” katanya.
Dari jejak narasi itu, Wisnu ingin memutus penyebaran endemik dengan memanfaatkan kayu lapis sebagai medium artistiknya. Wisnu mengumpulkan limbah tripleks dari berbagai tempat di Yogyakarta. Dia lalu mengolahnya menjadi karya seni yang menyentil persoalan eksploitasi dan perusakan lingkungan.
Pameran ini berlangsung sampai 2 Mei nanti, tapi Galeri Lorong menerapkan pembatasan pengunjung dan harus membuat janji terlebih dahulu atau bisa langsung menikmati karya Octo dan Wisnu secara daring melalui media sosial galeri tersebut. Pembatasan ini dilakukan lantaran pagebluk covid-19. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved