Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SUDAH sejak lama bersisian, tapi kedekatan dan korelasi momentum Hari Kartini (21 April) dan Hari Bumi (22 April) tahun ini terasa lebih kuat. Pandemi covid-19 tampaknya mendorong perhatian banyak pihak akan peran perempuan dalam menjaga alam dan juga memperjuangkan kehidupannya di tengah krisis ini.
Berbagai potret kehidupan perempuan di tengah krisis alam ataupun wabah ini pula menjadi perhatian penulis dan jurnalis lepas, Mardiyah Chamim. Mantan Direktur Tempo Institute yang tengah menyelesaikan buku terbarunya, Menjaga Rimba Terakhir, ini melihat jika di berbagai daerah, perempuan amat berperan dalam menentukan kualitas lingkungan.
Begitu pula di saat krisis, perempuan sangat menentukan ketahanan kehidupan keluarganya. Berikut cuplikan perbincangan pendiri Puan Indonesia dengan Media Indonesia via telepon pada Kamis (23/4) .
Seberapa krusial peran perempuan sebagai pelestari lingkungan dan dalam pencegahan penularan wabah saat ini?
Perempuan dalam menjaga lingkungan punya peran sangat penting. Di berbagai kebudayaan, komunitas, perempuan berkebun, bertani, dan sekaligus mengatur logistik, menyediakan makanan di meja makan untuk keluarga. Artinya, pilihan-pilihan yang diambil perempuan akan menentukan kualitas lingkungan.
Pilihan apakah bertani secara organik, apakah prosesnya melibatkan komunitas, juga sejauh mana gizi dicukupi, itu menentukan kualitas lingkungan. Dalam menghadapi pandemi, yang aku lihat perempuan itu lebih cepat berjejaring. Seperti di permukiman kumuh di daerah Tanah Kusir, para ibulangsung berkumpul membuat masker dari kain perca, fundraising (penggalangan dana) bareng, yang kayak gitu
banyak. Di level ibu-ibu rumah tangga, solidaritas dan kemauan untuk bersamanya itu lebih besar.
Aku enggak tahu apakah aku berlebihan atau enggak, tapi kelihatannya kalau beberapa temanku yang begitu, ya perempuan. Laki-laki mungkin modelnya beda. Aku harus cek juga. Perempuan lebih fleksibel dalam menghadapi krisis, lebih tahan dalam krisis. Mungkin karena selama ini juga terbiasa begitu ya dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam bidang kelestarian lingkungan, adakah contoh daerah atau budaya yang kelestarian alamnya bergantung pada perempuan?
Jadi, ada beberapa suku di Papua yang memang betul-betul perempuan yang leading (memimpin), yang menggerakkan. Laki-lakinya sibuk membuat patung untuk ritual-ritual, selain berburu. Jadi, kalau berburu bisa berhari-hari, membuat patung juga butuh konsentrasi, keseluruhan aktivitas berkebun, ke hutan, dan mengambil ikan di pesisir selalu perempuan. Padahal, seperti mengolah sagu itu butuh aktivitas fisik yang luar biasa, untuk menebang pohon, menokok sagu dari pohonnya itu. Di tempat-tempat yang lain itu laki-laki, tapi di suku-suku pesisir di Papua itu perempuan.
Seperti apa peran perempuan dalam menjaga rimba atau ling kungan dalam buku yang sebentar lagi terbit?
Sebetulnya dalam praktiknya, mereka (perempuan) itu terlibat aktif, baik mencangkul maupun memilih bibit. Dua-duanya, laki-laki dan perempuan. Tapi tidak dalam pengambilan keputusan strategis karena rapat desa itu pukul 21.00 baru dimulai. Baru bisa berakhir sampai setelah tengah malam, maka perempuan jarang ikut di situ.
Itu problemnya, tapi ketika kerja real (nyata), mereka ada setiap hari. Malah lebih intens. Jadi, persoalannya karena ritme rapat dan kultur sosial. Kita kan, sudah bapaknya saja ngomong, bukan ibu. Itu membuat peran perempuan tidak kelihatan secara strategis, padahal dia penentu.
Cuma dalam perjalananku, sesekali ada perempuan yang cukup fenomenal, misalnya, kemarin aku cerita Simancuang (Desa di Solok). Itu motornya adalah Anduang (Ibu) Kartini. Umurnya sudah hampir 70, tapi dia yang justru menggerakkan penduduk untuk sama-sama mengolah hutan dan sawah dengan baik sehingga jadi pertanian organik yang cukup bagus di situ. Di situ kulturnya matrilineal, perempuan juga punya posisi penentu. Ya sesekali muncul fi gur seperti Anduang Kartini. Tergantung individunya.
Bagaimana dengan tantangan bagi perempuan di perkotaan dan bagaimana kesadaran lingkungan mereka?
Di kota, sebetulnya mirip. Sebetulnya tantangannya lebih berat karena biaya hidup di kota lebih tinggi. Seperti ibuibu di Tanah Kusir itu kan juga kota, urban yang miskin. Kalau yang level menengah, sudah memulai urban farming di pekarangan, di apartemen. Ada juga gerakan benih, misalnya sawi dan tomat. Benih ini dikirim dari perempuan yang konsen dengan pengadaan benih. Silakan yang mau menanam minta benih.
Selain itu, di kalangan ibu-ibu perkotaan sedang banyak kelas Whatsapp untuk mengolah sampah sehingga hasilnya adalah pupuk kompos dan bagaimana sampah plastik itu betulbetul dicuci, dikeringkan, dan ditumpuk sehingga bisa disetor ke pihak pendaur ulang. Itu sudah ada jaringannya dan sedang banyak tumbuh.
Apa yang melatari Anda membuat Puan Indonesia?
Itu kan sebetulnya begini, profil perempuan, soal cerita sosok perempuan itu, aku lihat dua kutub. Satu, yang high-class banget, misalnya kesuksesan seseorang yang tidak terjangkau orang biasa. Kedua adalah yang mengeksploitasi objek seksualitas.
Publikasi profil perempuan biasanya tersaji dalam entertainment banget, yang hanya memandang perempuan sebagai objek atau yang elitis banget, yang berprestasi dan memang sudah keren. Perempuan biasa susah untuk relate, padahal perempuan biasa juga punya story, struggle, dan pergulatan sendiri. Itu sebabnya aku mau bikin cerita para perempuan ini.
Selama bergelut dengan persoalan perempuan dan lingkungan, adakah hal yang sangat berkesan?
Banyak sih, banyak yang membuat terenyuh. Yang kemarin di Orang Rimba, kita jadi berubah pandangan. Di Jambi, ada perempuan tinggal di kampung kumuh yang semuanya penjual narkoba dan pengguna. Anak-anak kecil di sana jadi kurir.
Ibu ini berniat mengubah dengan cara mengumpulkan perempuan di situ untuk sama-sama bikin batik, kerajinan anyaman, dan kemudian dicariin market-nya. Tujuannya, supaya anakanak berkumpul di tempat pelatihan itu sehingga enggak mudah dipengaruhi untuk dijadikan kurir atau user.
Itu tantangannya enggak main-main. Bahkan, dia musuhi keluarganya yang juga pengedar, malah rumahnya dibakar adiknya. Tapi rumahnya sudah hangus pun dia tetap jalan.
Keberpihakan negara terhadap hak-hak perempuan bagaimana? Apakah UU yang ada sudah cukup?
Aku belum terlalu intens amati di situ, tapi sebetulnya kalau dari segi perempuannya di kabinet, instansi, jabatan, juga sudah banyak. Akan tetapi, apakah hanya dengan komposisi perempuan di dalam posisi strategis sudah bisa memunculkan kebijakan yang inklusif, yang memihak perempuan dan kelompok marginal? Itu kayaknya dua hal berbeda. Boleh jadi menteri perempuan, tapi ternyata kebijakannya tidak inklusif. Kayaknya harus dilihat lebih dalam.
Misalnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Di masa pandemi ini harusnya lebih bersuara karena perempuan berada di pihak yang paling rentan. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved