Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
DUNIA tidak akan pernah berubah, kecuali dengan sejarah. Berbagai pergolakan yang kita alami sekarang dan usaha yang kita tempuh untuk lepas dari kekelaman masa lalu, tidak akan pernah tuntas tanpa melihat akar-akar dan sebab-sebab permasalahannya dalam rekaman sejarah. Demikian tulis Yusri Abdul Ghani Abdullah dalam buku Histografi Islam: Dari Klasik hingga Modern.
Berkaitan dengan kutipan di atas, bisa diartikan permasalahan yang hadir saat ini pasti berhubungan dengan permasalahan yang ada di masa lalu. Salah satu contohnya ialah permasalahan banjir yang kerap menemani warga Jakarta dan sekitarnya, dari beberapa tahun belakangan hingga akhir Februari tahun ini. Alih-alih pergi, banjir malah sempat merendam permukiman yang sebelumnya tidak pernah disinggahi.
Terlepas dari sistem drainase yang buruk, ruang terbuka hijau yang sedikit, hingga normalisasi sungai yang belum selesai, tidak ada salahnya apabila kita mengulik keadaan masa lalu yang menyebabkan mengapa banjir begitu setia dengan Ibu Kota.
Di sejumlah daerah di Jakarta sering kali ditemui penamaan tempat dengan awalan ci, seperti Cipayung, Cililitan, Cilincing, dan Cilangkap. Kata ci berasal dari bahasa Sunda (cai) yang berarti air. Mengapa memakai bahasa Sunda? Itu disebabkan wilayah Jakarta pada masa lalu masuk wilayah Kerajaan Pajajaran. Penamaan daerah itu dengan bahasa Sunda merupakan salah satu bentuk eksistensi kerajaan tersebut.
Di lain sisi, penggunaan kata ci bukan tanpa alasan. Hal itu disebabkan pada masa itu Jakarta dikelilingi banyak sungai dan sungai merupakan jalur utama dalam aktivitas masyarakat sehari-hari.
Misalnya, kata Cipayung. Pada suatu masa, di wilayah tersebut terjadi peristiwa air sungai meluap saat hujan besar. Peristiwa itu membuat banyak orang berdatangan untuk melihat sambil memakai payung. Oleh sebab itu, wilayah tersebut akhirnya dinamakan ‘Cipayung’. lain halnya dengan Cililitan. Cililitan diyakini berarti sungai yang ditumbuhi tumbuhan perdu lilitan kutu, berbahasa ilmiah Pipturus velutinus wedd.
Selain itu, kerap juga dijumpai nama tempat yang berawalan rawa, seperti Rawa Buaya, Rawa Terate, dan Rawamangun. Menurut KBBI, rawa berarti ‘tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air, biasanya banyak terdapat tumbuhan air’. Penyebutan daerah Rawa Buaya berasal dari keyakinan penduduk setempat bahwa daerah itu dahulu merupakan sebuah rawa yang didiami banyak buaya. Adapun Rawa Terate berarti rawa yang dipenuhi tanaman bunga teratai (disebut terate dalam dialek bahasa Betawi).
Daerah Rawamangun diyakini berasal dari rawa-rawa yang dibangun (mangun) menjadi perumahan. Dahulu wilayah tersebut merupakan hutan dan rawa, tapi setelah masa perang Mataram, hutan dan rawa itu diubah menjadi perumahan.
Penamaan tempat-tempat berdasarkan peristiwa sejarah, kekhasan yang ada di wilayah tersebut (misalnya tumbuhannya, dll) merupakan kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat masa lalu. Usaha untuk menyelidiki asal-usul nama sebuah tempat di suatu wilayah dikenal dengan sebutan toponimi. Dalam KBBI, toponimi adalah cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat.
Dari penelusuran asal-usul nama beberapa wilayah yang ada di Jakarta tadi, dapat dipahami bahwa ternyata Jakarta sejak dulu memang wilayah yang dikelilingi banyak tempat penampungan air (rawa) dan aliran sungai. Sayangnya di masa kini, tempat penampungan-penampungan air itu malah beralih fungsi menjadi wilayah permukiman. Akibatnya sudah jelas, wilayah permukiman bekas penampungan air tersebut akhirnya selalu mengalami banjir saat musim hujan tiba. Ini juga menjadi bukti, peradaban dapat merusak ekosistem yang ada jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang mengontrolnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved