Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEBAIT puisi mengiringi jejak langkah, setapak demi setapak, tapak seorang perempuan. Di dekapannya, jabang bayi perempuan yang baru bersua dengan dunia tidur tenang. Sang bayi tak hendak berontak walau sang ibu meninggalkannya di sebuah hutan, di tepi Sungai Malini.
Adegan itu menjadi pembuka pentas Wayang Bocor di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, Kamis (20/12) malam. Sebuah pertunjukan yang diberi judul Permata di Ujung Tanduk.
Jalan hidup sang bayi tidak selesai di situ. Ada takdir besar yang harus dijalaninya hingga ia selamat dari aneka binatang hutan. Ia berjodoh dengan burung Sakuni yang kemudian merawat dan membesarkannya hingga menjadi gadis yang jelita, yang kemudian bernama Sakuntala.
Nasib Sakuntala tidak jauh dari sang ibu. Percintaannya dengan Raja Dusyanta penuh liku. Sang raja meninggalkannya dan tak kunjung kembali hingga Sakuntala melahirkan seorang anak.
Sekitar 80 menit penonton diajak hanyut dalam cerita yang merupakan bagian dari epos Mahabarata ini. Dengan label kontemporer, pertunjukan Wayang Bocor terasa kaya ekspresi, dari puisi, tari, musik elekornik, dan tentu saja ekspresi wayang.
Adaptasi
Eko Nugroho, penggagas ide dan visual mengatakan, Permata di Ujung Tanduk merupakan hasil adaptasi dari buku puisi Gunawan Maryanto yang berjudul Sakuntala.
“Kita sadur dan beri judul baru sesuai karakter Wayang Bocor,” kata dia.
Wayang Bocor, yang lahir pada 2008, menjadi media kolaborasi seniman lintas genre. Dipilih wayang karena wayang merupakan kesenian yang paling dekat dan familiar di Yogyakarta.
Lakon-lakon yang ditampilkan pun dekat dengan masyarakat, misal, cerita wayang ataupun cerita rakyat. Penonton diajak merasakan emosi dan berimajinasi melalui wayang serta menangkap pesan moral tanpa menghardik.
Gunawan Maryanto, selaku penulis naskah dan sutradara mengungkapkan, Sakuntala merupakan tokoh yang penting dalam cerita Mahabarata, tetapi jarang diangkat. “Sakuntala adalah sosok yang menurunkan keturunan wangsa Bharata,” kata dia.
Naskah drama Permata di Ujung Tanduk diolah dari karya puisinya dengan judul Sakuntala. Pada beberapa bagian, puisi-puisinya pun ditampilkan lewat narator. Pada bagian yang lain, Gunawan memasukkan unsur komedi, termasuk adanya bagian Goro-goro yang menampilkan Gareng, Petruk, dan Bagong. (AT/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved